Kliping koran ini berjudul “Keemasan Kerajaan Sunda di Bawah Pemerintahan Sri Baduga“, guntingan atau pemotongan artikel atau berita ini diambil dari Surat Kabar Kompas terbitan tanggal 25 Agustus 2002. Kegiatan pemotongan kliping koran yang diambil dari berita dan artikel tentang tinggalan cagar budaya merupakan salah satu kegiatan yang dilaksanakan kelompok kerja Pelindungan Balai Pelestarian Cagar Jambi.

BPCB Jambi

Secara faktual, berda­sarkan sumber naskah Carita Parahyangan (CP), tidak semua raja Sunda berha­sil membawa kerajaan itu hingga mencapai kondisi yang tenteram dan sejahtera, atau yang secara jelas tersurat da­lam naskah CP disebut turunna kretayuga (mengalami za­man keemasan). Dari urut- urutan raja yang memerintah Kerajaan Sunda, sejak Rahiyang Banga, tercatat empat raja yang membawa kerajaan itu mencapai zaman keemasan.

Keempat raja Sunda itu ada­lah Sang Lumahing Kreta yang memerintah selama 92 tahun, Rakeyan Darmasiksa yang me­merintah 150 tahun, Prabu Niskala Wastu Kancana yang memerintah 104 tahun (1371- 1475 Masehi), dan Sri Baduga Maharaja yang memerintah 39 tahun (1482-1521 Masehi).

Keberhasilan Sang Lumahing Kreta dimungkinkan karena ra­ja ini dianggap senantiasa ber­pegang teguh kepada perbuatan utama, maksudnya menyeleng­garakan atau menjalankan roda pemerintahan sesuai dengan ajaran atau aturan dan hukum kerajaan yang berlaku. Rakeyan Darmasiksa berhasil membawa kerajaannya ke masa kejayaan karena berpegang teguh kepada Sanghiyang Darma dan meng­amalkan Sanghyang Siksa hing­ga terpenuhilah kebutuhan yang harus mendapat perhatian uta­ma raja: sandang-pangan yang disimbolkan dengan Sang Ra­ma, agama, dan tradisi leluhur yang disimbolkan dengan Sang Resi, kesehatan yang disim­bolkan dengan Sang Disri. dan pelayaran atau perdagangan yang disimbolkan dengan Sang Tarahan.

Rupanya keberhasilan suatu pemerintahan pada masa itu diukur dari sejauh mana raja atau pemerintah dapat meme­nuhi kebutuhan rakyat akan keempat aspek kehidupan itu secara seimbang. Dapat di­maklumi bahwa keempat as­pek tersebut merupakan sum­ber-sumber ulama bagi kese­jahteraan dan ketenteraman kerajaan vang meliputi seluruh rakyat banyak

Sebagai mana keberhasilan Rakevan Darmasiksa. Prabu Niskala Wastu Kancana pun berhasil memenuhi dan me­ngendalikan empat aspek kehi­dupan (sandang-pangan, aga­ma dan tradisi leluhur, kese­hatan, dan perdagangan) se­cara seimbang. Dari berita pra­sasti Kawali (Ciamis) diketahui pula. Prabu Niskala Wastu Kancana memperindah Kera­ton (Surawisesa) serta membangun parit di sekeliling kota.

Masa keemasan terakhir Ke­rajaan Sunda adalah masa pe­merintahan Sri Baduga yang berpusat di Pakuan Pajajaran. Menurut naskah CP, pada masa pemerintahan Sang Ratu Jayadewata atau Sri Baduga Maharaja itu tercapai keadaan kerajaan yang tata lentram kertaraharja karena raja ini se­tia kepada kebiasaan dan ke­aslian leluhur, tidak sampai ke­datangan musuh halus dan musuh kasar, melainkan sejah­tera dan tenteram di seluruh negara (Atja, 1981).

Menurut prasasti Kebantenan, Sri Baduga Maharaja, yang dalam prasasti disebut dengan Susuhunan di Pakuan, membe­baskan beberapa desa dari ber­bagai kewajiban membayar pajak atas dasar pertimbangan desa-desa tersebut diperun­tukkan bagi kepentingan ke­agamaan. Jadi, semacam desa perdikan dalam tradisi sejarah kuno di Jawa, sedangkan dalam tradisi sejarah kuno, Kerajaan Sunda desa semacam itu disebut kabuyutan.

Langkah kebijakan Sri Ba­duga ini jelas mencerminkan perhatiannya yang besar ter­hadap kehidupan keagamaan dan tradisi leluhur. Kepenting­an agama dan tradisi leluhur itu mendapat tempat yang uta­ma dalam garis-garis kebijak­an pemerintahannya. Hal seru­pa dilakukan pula oleh raja-ra­ja besar Sunda sebelumnya.

Prasasti Batutulis juga mengungkapkan upaya-upaya Sri Baduga Maharaja melaksa­nakan pembangunan di ibu ko­ta Kerajaan Pakuan Pajajaran, yang jejak-jejaknya hingga saat ini masih dapat dilacak. Disebutkan bahwa Sri Baduga Maharaja adalah yang membuat  parit di sekeliling Pakuan Pajajaran. Dia juga mendiri­kan gunung-gunungan, menge­raskan jalan-jalan dengan batu, membuat hutan-hutan lindung (samida), serta membuat sebuah telaga yang diberi nama Telaga Rena Mahawijaya.

Menurut Saleh Danasasmita (1984), parit yang dibuat oleh Sri Baduga Maharaja meling­kari sebagian Kota Pakuan Pa­jajaran sejauh empat kilometer, yang terbentang sepanjang te­bing Sungai Cisadane di Bogor mulai dari gerbang Pakuan Pajajaran pada lokasi jembat­an Bondongan sekarang hingga ke lokasi stasiun kereta api Ba­tu Tulis sekarang. Di lokasi ter­sebut terdapat gerbang kedua vang bersambung dengan jalan dari ibu kota (Pakuan Pajaja­ran) ke Rancamaya. Gerbang ketiga terdapat pada lokasi ja­lan Siliwangi di perbatasan Kota Bogor sekarang yang me­nuju ke arah Cianjur.

Gunung-gunung yang juga dibangun oleh Sri Baduga Maha­raja kemungkinan hanya me­rupakan gunung magis tiruan gunung kosmis Mahameru. Saleh Danasasmita memperki­rakan gugunungan yang diba­ngun dan disebut dalam Prasasti Batutulis adalah bukit Badigul yang terletak di Ranamaya, ki­ra-kira tujuh kilometer sebelah tenggara kota Bogor sekarang. Diterangkan pula bahwa kaki bukit itu bersambung dengan tepi Telaga Rena Mahawijaya, yang juga diperkirakan terletak di Rancamaya.

Sisa-sisa jalan yang diperkeras dongan batu (balay) sebagai bagian dan hasil pembangunan pada masa pemerintahan Sri Baduga pernah ditemukan oleh regu ekspedisi Scipio pada tahun 1687 di antara kota Bogor dan Rancamaya. Begitu pula Adolf Winkler dalam ekspedisi tahun 1690 pernah menemukan jalan berbatu yang sangat rapi, tidak jauh dari lokasi prasasti Batu tulis. Jalan itu menuju bekas paseban yang ditandai dengan tujuh batang pohon beringin. Di sebelah jalan itu, menurut pen­gantar Winkler, dahulu terletak keraton Pakuan Pajajaran (Da- nasasrnita. 1984).

Mengenai samida yang juga disebut dalam prasasti Batu tulis. sebagai salah satu karya pembangunan di masa peme­rintahan Sri Baduga, adalah sebuah hutan buatan yang ka­yu-kayunya di peruntukan bagi kepentingan upacara pemba­karan mayat. Kayu samida adalah semacam kayu cemara yang mengandung teipentin. jadi mudah terbakar (Danasasmita, 1984; Sutaarga, 1984).

Menurut catatan perjalanan Tome Pires di tahun 1513 (Cortesao, 1994), Kerajaan Sunda diperintah dengan adil, pendu­duknya menarik, ramah-ta­mah, sehat-sehat, dan jujur. Ibu kota kerajaan yang disebutnya dayo (dayeuh) terletak sejauh dua hari perjalanan dari pela­buhan Kalapa (Jakarta). Rumah-rumah di ibukota serba indah dan besar, umumnya ter­buat dari kayu dan palem. Ista­na raja dikelilingi oleh 330 buah pilar yang masing-ma­sing sebesar tong anggur dan tingginya kira-kira sembilan meter. Setiap pilar pada pun­caknya diberi ukiran.

Tome Pires juga menyebut Kerajaan Sunda sebagai negeri kesatria dan pahlawan laut. Para pelaut Sunda berlayar ke berbagai negeri hingga ke Kepu­lauan Maladewa. Komoditas perdagangan yang paling utama adalah beras, yang mencapai jumlah 10 jung dalam setahun, lada 1.000 bahar setahun, kain tenun diekspor ke Malaka. Dise­butkan pula sayuran dan daging sangat melimpah di pasar dan tamarin (asam), menurut penu­turannya,, cukup untuk mengisi “seribu kapal”.

Komoditas impor yang terutama adalah tekstil halus dari Cambay dan kuda dari Pariaman, yang mencapai jum­lah 4.000 ekor per tahun. Kuda diperuntukkan sebagai alat memenuhi keperluan angkutan umum. angkatan perang, dan berburu yang merupakan ke­gemaran kaum bangsawan.

Dari uraian Tome Pires je­laslah dapat dipahami bahwa Kerajaan Sunda merupakan perpaduan kerajaan agraris dan maritim yang terkesan su­bur, makmur, serta berjaya. Ji­ka dihitung menurut tahun kunjungannya (1513 Masehi), kiranya gambaran keadaan Kerajaan Sunda itu memang berlaku pada waktu sekitar pe­merintahan Sri Baduga Maha­raja (1482-1521 Masehi).

W ANWAR FALLAH Anggota Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia