Kliping koran ini berjudul “Nasib Arkeologi dan Arsitektur“, guntingan atau pemotongan artikel atau berita ini diambil dari Surat Kabar Kompas terbitan tanggal 24 Maret 1996. Kegiatan pemotongan kliping koran yang diambil dari berita dan artikel tentang tinggalan cagar budaya merupakan salah satu kegiatan yang dilaksanakan kelompok kerja Pelindungan Balai Pelestarian Cagar Jambi.

BPCB Jambi

BPCB Jambi

Oleh Eko Budihardjo

SEBAGAI seorang yang berlatar belakang pendi­dikan arsitektur, saya merasa ikut tersentuh dan bersim­pati dengan para arkeolog yang menghadapi berbagai “gugat­an”, baik dari luar maupun dari dalam kalangan mereka sen­diri- Soalnya, arsitektur sering juga dipahami sebagai arkeolo­gi masa depan. “Architecture is archeology of the future“, begi­tu kalimat gagahnya.

Kebetulan bulan yang lalu sa­ya baru saja dikirim oleh Dirjen Kebudayaan Depdikbud untuk menghadiri Penataran dan Lokakarya Historis Heritage Cities in Asia and the Pacific ke Viet­nam dan Thailand. Gugatan yang paling telak da­tang dari mereka yang memper­tanyakan tentang apa perlunya arkeologi yang hanya berkutat seputar masa lalu dan tak ada sumbangannya bagi pembangunan bangsa dan negara. Ba­gi mereka, yang saya duga masih kurang memahami arti warisan budaya, disiplin ilmu arkeologi dianggap sebagai suatu ‘keme­wahan’ (Kompas, 14 Maret 1996).

Dalam forum yang disponsori oleh UNESCO itu, tiga puluh pakar (kebanyakan arkeolog dan beberapa arsitek) dari dua puluh negara, saling bertukar gagasan tentang kiat-kiat me­nangkal punahnya warisan bu­daya berupa bangunan kuno, lansekap bersejarah dan kota- kota tua di segenap pelosok du­nia. Khususnya di kawasan Asia Pasifik yang pertumbuhannya sangat cepat.

Rupa-rupanya keprihatinan yang melanda para peserta kongres dan Pertemuan Ilmiah Arkeologi (PIA) VII diidap juga oleh negara-negara di Asia Pa­sifik

Sebetulnya sudah semenjak tahun 1972 UNESCO menun­jukkan kepeduliannya untuk mengidentifikasi, melindungi dan melestarikan monumen dan situs purbakala yang bernilai tinggi ditilik dari kacamata per­adaban manusia. Dalam kon­vensi Protection of the World Cultural and Natural Heritage yang diselenggarakan UNESCO saat itu, dirumuskan pengertian baku tentang warisan budaya dan warisan alam. Secara ring­kas, warisan budaya diartikan dengan monumen, kelompok bangunan dan situs yang memi­liki makna, nilai dan relevansi sejarah, estetis, ilmiah, etnologis atau antropologis. Sedangkan yang dimaksud dengan warisan alam adalah tapak atau ling­kungan yang memiliki keindah­an alam yang menawan, formasi fisik dan biologis yang istimewa, atau merupakan habitat dari satwa dan flora yang termasuk kategori langka, atau yang ter­ancam kelestariannya. (World Heritage: Ours Forever, UN­ESCO, 1995).

Yang menyangkut perlin­dungan terhadap warisan alam nampaknya sudah sangat disa­dari dan dipahami oleh segenap lapisan masyarakat tanpa kecuali. Namun yang berkaitan dengan pelestarian warisan budaya, khususnya peninggalan arkeologis dan arsitektonis, ma­sih agak terabaikan dan butuh kampanye besar-besaran secara terus menerus. Miskonsepsi yang naif bahwa konservasi ba­ngunan, lansekap dan kota ber­sejarah adalah semata-mata urusan para arkeolog dan arsi­tek, hanya menyangkut masa lampau belaka, dan tak ada manfaatnya dalam pembangun­an. perlu diluruskan segera.

Obsesi para petinggi pemerin­tahan (baik di pusat maupun di daerah) terhadap modernisasi dan tekanan pembangunan eko­nomi yang amat gencar, telah menimbulkan apa yang lazim dikenal dengan architectural suicide. Bangunan-bangunan bersejarah seperti Gedung Pro­klamasi di Jakarta, Penjara Banceuy di Bandung (tempat Bung Karno ditahan oleh Belan­da), setasiun kereta api Jurnatan di Semarang (konon yang perta­ma di Indonesia) dan lain-lain dibantai dan satu demi satu ber­guguran. Sayang sekali tidak ada kuburan bagi bangunan yang sudah ‘almarhum’ itu, se­hingga kita semua tidak bisa berziarah untuk mengenang atau menangisi kematian mere­ka

Prasangka negatif

Kadang-kadang peristiwa tragis bunuh diri arsitektural’ itu terjadi hanya karena yang bersangkutan memiliki pra­sangka negatif yang tidak sewa­jarnya.

Prof Haryati Subadio meng­ungkap tentang munculnya pra­sangka akan dikembangkannya agama Buddha di Indonesia, tat­kala dilaksanakan kegiatan pe­mugaran Candi Borobudur, yang notabene malah masuk da­lam World Heritage Li.?t. Ada pula sekelompok orang yang antipati terhadap upaya konser­vasi bangunan peninggalan ko­lonial, karena dinilai akan me­rendahkan martabat bangsa, mengingatkan bahwa bangsa kita pernah dijajah Belanda. Pa­dahal mestinya kita justru mera­sa bangga. Kendati memang be­tul pernah jadi jajahan, namun berkat perjuangan para pah­lawan beserta .«genap rakyat, kita berhasil meraih kemerde­kaan. Kelompok lain menyaran­kan dihancurkannya kawasan Pecinan, termasuk misalnya kompleks Sam Poo Kong (Ge- dong Batu) di Semarang, dilan­dasi kekhawatiran merebaknya kegiatan eksklusif etnis terten­tu. Apakah tidak sudah saatnya kita sebagai bangsa melihat se­mua peninggalan tersebut seba­gai bagian dari sejarah kita yang sebenar-benarnya. Bukankah akan lebih baik melihat history yang penuh kejujuran secara vi­sual, ketimbang history yang serba verbal dan terkadang me­nyesatkan?

Dalam era yang sarat dengan slogan, tak ada salahnya kita kumandangkan slogan-slogan konservasi yang menyengat. Misalnya bahwa kota tanpa ba­ngunan tua ibarat manusia tan­pa ingatan, alias gila. Kaidah Old is Gold juga layak dikibar­kan. Nenek moyang kita pun se­cara arif telah menyatakan yen wis kliwat separo abad jiwa kongsi binabat. Artinya, ba­ngunan kuno yang sudah ber­umur lebih dari 50 tahun, ja­ngan sampai dihancurkan begi­tu saja.

Sampah dan pomo

Para arkeolog, arsitek, peren­cana kota dan segenap pemer­hati warisan jpudaya kiranya su­dah saatnya untuk menggalang kekuatan untuk menyadarkan segenap pihak, termasuk ma­syarakat luas, bahwa pemba­ngunan masa depan dan pelesta­rian warisan budaya masa silam merupakan dua muka dari ke­ping uang yang sama.

Karya arsitektur baru hasil impor yang menjamur di kota besar, yang tidak mengacau pa­da kultur, iklim dan seni-kriya setempat, sudah sering dileceh­kan sebagai arsitektur sampah (junk-architecture). Ada pula yang bahkan tega menamakan bangunan kotak kaca yang ser­ba polos, tunggal-rupa dan sera­gam itu sebagai arsitektur cabul (pornographic architecture), ka­rena ketelanj angannya yang vulgar. Tidak tersisa sedikit pun peluang bagi para pengguna dan pengamatnya untuk berimaji­nasi. Karya-kaOrya semacam itu

tidak layak menyandang pre­dikat sebagai karya arsitektur, melainkan sekadar pantas ber­label bangunan saja. Bila dicer­mati sebetulnya, monumen, ba­ngunan kuno, situs dan kota lama merupakan sumber ilham bagi perencanaan dan peran­cangan di masa depan yang ber­pribadi, memiliki karakter atau jati diri yang khas, dan serasi de­ngan lingkungan.

Harus diakui, disiplin arkeo­logi dan juga arsitektur di Indo­nesia masih sama-sama berna­sib malang, kurang dipahami arti pentingnya bagi perkem­bangan peradaban bangsa kiia. Masih cenderung dianggap se­bagai pergulatan ilmu dan pro­fesi yang elitis. Kurang merak­yat. Yang merisaukan juga ada­lah karena terbatasnya peneli­tian, publikasi dan jurnal ten­tang arsitektur dan arkeologi yang dilakukan oleh pakar- pakar dan ilmuwan Indonesia sendiri.

Kendati begitu, dengan rintis­an kiprah dari Ikatan Ahli Ar­keologi Indonesia (IAAI) yang telah selesai menyelenggarakan kongres, dan diikuti dengan Ikatan Arsitek Indonesia (IAI) yang akan menyelenggarakan Rapat Kerja Dewan Pimpinan Nasionalnya pada bulan April 1996, diharapkan citra dan per­sepsi yang menceng itu akan da­pat sedikit demi sedikit

dilurus­kan. Merupakan tugas kita ber­sama untuk mengubah nasib ar­keologi dan arsitektur yang di­sebutkan sebagai “berada di persimpangan jalan” agar men­jadi lebih baik, bila kita semua masih ingin dihargai sebagai bangsa yang beradab dan ber­budaya tinggi

* Eko Budjhardjo, Dekan FT Undip, anggota Dewan Riset Nasional dan Ketua Kehormat­an IAI Cabang Jateng.