Raib Selama Delapan Dekade
Berdasarkan gambar yang terekam dalam foto pada masa tahun 1933, menunjukkan satu sisi permukaan batu yang diukir. Relief di mana benda nekara digambarkan secara dangkal dan menunjukkan dua pria dengan telinga runcing membawa (atau mungkin bersengketa kepemilikan) dari sebuah gendang tipe Heger I. Profil gambar yang terggores pada batu terlihat begitu jelas, dengan menggambarkan dua sosok tokoh yang sedang memegang sebuah benda yang menyerupai nekara. Gambar ukir ini dilengkapi dengan ilustrasi beberapa profil hewan yang berada disekitar kedua sosok tokoh tersebut.
Melalui media social facebook muncul berita tentang penemuan sebongkah batu bergambar, batu itu dicurigai sebagai batu megalitik Pasemah. Berita itu diupload pada bulan Maret 2016 oleh salah seorang staf Balai Pelestarian Cagar Budaya Jambi, saat itu sedang melakukan pendataan purbakala di wilayah Lahat dan sekitarnya. Karena curiga dan penasaran, sepertinya temuan itu pernah tersimpan dalam benak, sangat mirip, tetapi samar dan entah dimana pernah terbaca, buku apa, tetapi tetap blank sama sekali. Dua minggu setelah diberitakan, kami pun sudah berada di lokasi tempat penemuan batu bergambar tersebut. Penduduk setempat menyebutnya “batu tatahan”. Berkat jasa kepala dusun yang bersedia mengantar kami menemui batu tatahan itu, walau medan menuju lokasi penemuan cukup sulit dijangkau, karena harus melewati perbukitan dan menyeberangi sebuah aliran sungai, airnya cukup deras tapi sejuk dan bening. Namun masih harus berjalan kaki dengan menerobos semak belukar, sesekali kaki terpeleset disebabkan oleh kondisi tanah yang licin.
Akhirnya sampai juga di TKP dengan nafas tersengal-sengal. Semua bagian dan sudut dari bongkahan batu tatahan itu direkam habis, termasuk lingkungan sekitarnya didokumentasikan selengkap mungkin. Kondisinya masih sangat baik, tidak terganggu sedikit pun, mungkin karena tersimpan dalam lingkungan kebun kopi penduduk, maka terhindar dari tangan-tangan usil dan jahil yang seringkali dilukai dan dirusak oleh para vandalism. Walau secara alamiah terkonservasi dengan baik, tetapi hati terasa miris dan gundah menyaksikan artefak batu bergambar itu, tergeletak diam membisu, terabaikan dan seolah dicampakkan dan tersia-sia oleh UU Cagar Budaya.
Temuan batu bergambar ini seharusnya tidak disepelekan dan mestinya segera diperlakukan dengan bijak untuk mendapatkan perlindungan dan tindakan penyelamatan. Sebab batu andesit ini memiliki nilai sejarah yang amat penting bagi arkeologi. Sekalipun mata awam yang melihat, seketika akan terperanjat dan terkesima menyaksikan suatu goresan seni rupa di atas permukaan batu, apalagi seorang arkeolog. Pada batu itu tergores suatu dokumen dan catatan persitiwa masa lalu, berupa imaji dua tokoh manusia yang saling berhadapan dan seolah memperebutkan sebuah benda menyerupai “nekara”. Selain adegan dua tokoh manusia dengan ekspresi wajah marah, mata melotot dan mulut terbuka seolah mengucapkan kata-kata “ini milikku”, lalu dibalas oleh lawannya “bukan, saya yang pertama menemukan, maka akulah yang berhak memilikinya”. Semakin diperhatikan guratan-guratan setiap garis, maka tampak gambar kepala seekor anjing sambil menggonggong diantara kedua tokoh tersebut, dengan sigap melerai keduanya. Penyebutan masyarakat setempat dengan “batu tatahan” memang bukan tanpa sebab, tetapi tersimpan dan tersurat berbagai arti yang dapat diungkapkan melalui analisis bahasa rupa.
(artikel ini ditulis oleh Nasruddin, disadur dari tulisan yang berjudul “BATU TATAHAN AIR POEAR RAIB”, yang telah dipublikasikan dalam buku “Megalitik Pasemah, Warisan Budaya Penanda Zaman”)