Gambar-gambar yang terpendam di dalam bilik-bilik batu situs Kotaraya Lembak, selain sangat unik, juga paling terindah dari seluruh lukisan yang pernah dipamerkan dalam bilik-bilik batu di Lahat. Satu diantara lukisan itu pernah diperdebatkan para ahli mengenai identifikasi gambar. Ahli lain menyebutkan dengan gambar seekor burung hantu, tetapi Teguh Asmar ketika masih hidup tetap pada pendapatnya bahwa gambar itu adalah “harimau”. Kedua pendapat itu memang berbeda penafsiran atas satu gambar, namun gambar-gambar lainnya pun sangat misterius dan sulit untuk diterjemahkan.
Keistimewaan dan keunikan rumah “bilik batu” itu terletak pada lukisan-lukisan yang dituangkan di atas kanvas batu dan seolah tidak untuk dipamerkan bagi orang lain, begitu misterius. Karya lukis ini sangat mengagumkan dengan beragam gaya, pemaduan warna dalam garis, sehingga menghasilkan karya seni yang begitu simbolik. Pelukisnya pastilah seorang maestro yang sangat piawai dan sarat dengan ide dan gagasan dibaliknya. Walau perpaduan warna yang serba terbatas, namun berani melahirkan suatu karya seni rupa penuh makna di era prasejarah.
Karena sangat misterius dan penuh tanda tanya, maka muncul berbagai pertanyaan mengenai arti dan makna atas bentuk-bentuk lukisan bilik batu ini. Salah seorang pakar mencoba menafsirkannya, dia adalah Jakob Sumardjo dalam bukunya “Arkeologi Budaya Indonesia”. Dikajinya dari pendekatan Hermeunetik-Historis bahwa warna-warna yang digunakan melukis seperti warna hitam, putih dan merah memiliki arti tertentu. Putih merupakan warna paling popular di semua suku di Indonesia yang melambangkan dunia Atas. Warna ini diartikan juga sebagai warna spiritual dan rohaniah. Warna hitam adalah berarti tanah, bumi tempat kehidupan nyata manusia termasuk fauna dan tumbuhan. Sedangkan warna merah diartikan juga sebagai bumi, tetapi ditekankan pada kategori perempuan. Jadi lukisan-lukisan itu ingin mengisahkan upacara pengorbanan antara Dunia Atas dan Dunia Manusia. Lukisan itu merupakan medium antara manusia dengan dunia Atas. Lebih dalam arti lukisan itu menurut Jakob “adalah ingin menyampaikan peristiwa mitologi bahwa keselamatan, kehidupan, kesejahteraan masyarakat, dicapai dengan pengorbanan, dan kematian.
Lukisan-lukisan kuno yang tersimpan dalam sejumlah bilik kamar batu di daerah Lahat, kini kondisinya sangat memperihatinkan. Sebagian dari peninggalan itu mengalami kerusakan, sehingga sulit diamati kembali wujud dan bentuknya. Penyebab utama kerusakan disebabkan adanya aksi corat-coret yang melukai warisan gambar megalitis tersebut. Dan siapapun yang sempat menyaksikan perbuatan itu akan menjadi berang dan marah. Diperparah lagi dengan factor klinis yang secara alamiah seperti penyakit jamur yang muncul dari kelembaban udara dalam ruang bilik batu di bawah tanah, karena kurangnya perawatan dan pemeliharaan.
Peninggalan bilik batu baik bergambar maupun tanpa gambar dapat dijumpai dan dikunjungi di beberapa tempat di Lahat dan Pagar Alam seperti terdapat di Desa Tanjung Aro, Tegur Wangi, Kotaraya Lembak, dan Jarai. Menurut catatan para peneliti terdahulu, bahwa sebaran bilik batu ini sangat banyak, terutama sekali ditemukan di daratan tinggi, baik di ladang-ladang kopi, persawahan, dan bahkan di sekitar pemukiman penduduk.
Istilah “stone cist” adalah penamaan terhadap suatu susunan papan-papan batu berbentuk segi empat dan masing-masing papan itu sebagai dinding, penutup dan lantai (dasar) yang dipendam dalam tanah. Letak lukisan-lukisan purba tersebut diterakan di balik bilik batu yang sekaligus sebagai dinding dalam rumah-rumah batu ini. Menurut catatan para peneliti terdahulu, sebaran bangunan “rumah batu”, demikian masyarakat setempat menyebutnya, tersebar di berbagai tempat baik di lereng-lereng bukit, di ladang-ladang kopi, persawahan hingga ditemukan di dalam dan sekitar pemukiman penduduk.
Rumah batu ini sebagian menganggapnya sebagai kubur termasuk Vander der Hoop dengan istilan (Stone chumber graves). Tetapi beberapa peneliti belum berani menyimpulkan sebagai kubur karena data yang tersedia belum cukup kuat. Walaupun pernah dilaporkan adanya temuan yang mengindikasikan ke arah benda bekal kubur seperti sisa-sisa pecahan tembikar, manik-manik kaca4, gigi manusia dan pecahan benda keramik (Haris Sukendar, 2003; 72). Karena itu, masih memungkinkan adanya penelitian yang lebih sistematis untuk mengungkapkan secara kongkrit fungsi dan peranan rumah batu itu pada masa lampau, karena sebagian kalangan dari pemerhati budaya megalit Besemah, masih sulit menerima pendapat bahwa rumah batu itu fungsinya sebagai kubur.
Bahan baku yang dipergunakan sebagai bagunan rumah bilik batu di atas, terdiri dari lempengan-lempengan batuan metamorf yang alamiah tanpa adanya jejak pengerjaan dan pembentukan terlebih dahulu. Tetapi tampaknya lempengan batu itu merupakan hasil pilihan dan seleksi, karena papan-papan batu itu mempunyai kecenderungan permukaan yang rata dan lebar.