Dialektika Pandangan Para Ahli
Apabila kita telusuri kembali pendapat para peneliti terdahulu, maka terdapat hasil-hasil kajian dan interpretasi yang saling berbeda satu dengan lainnya. Peneliti terdahulu tersebut antara lain: L. Ullman, pada tahun 1850, E.P. Tombrink (1872), dan L.C. Westenenk pada tahun 1922 menyatakan bahwa arca-arca yang ada di wilayah Pasemah adalah merupakan peninggalan dari masa Hindu. Pendapat ini kemudiaan ditentang oleh Van der Hoop yang melakukan penelitian pada tahun 1932. Hasil penelitiannya menyatakan bahwa tinggalan tersebut berasal dari masa yang lebih tua, dan penemuan arca megalitik yang digambarkan seperti prajurit, orang naik kerbau atau orang naik gajah, dengan ciri mata bulat melotot, dahi menonjol, hidung besar dan pesek, bibir lebar dan tebal adalah suatu karya yang diperuntukkan untuk pemujaan kepada nenek moyang. Lebih lanjut dikemukakan oleh Van deer Hoop disebutkan: bahwa lukisan batu yang bergambar kepala naga, burung hantu, sulur-sulur yang distilir di dalam bilik batu serta terdapat pula temuan manik-manik, dinyatakan sebagai penggambaran nenek moyang yang merupakan pengaruh dari budaya Dong Son (Van Der Hoop, 1932).
Pendapat van der Hoop diperkuat oleh de Bie yang juga melakukan penelitian atas situs bilik batu di Tanjung Arau, bahwa lukisan atau gambar yang tertera dalam biliki batu yang di lukis dengan warna-warna hitam, putih, merah, kuning, dan kelabu, serta menggambarkan manusia dan binatang yang distilir. Antara lain tampak gambar tangan dengan tiga jari, kepala kerbau dengan tanduknya, dan mata kerbau, memiliki arti sebagai lambang-lambang yang mempunyai hubungan dengan konsep pemujaan kepada leluhur atau kepada nenek moyang (dalam van der Hoop, 1932).
Pendapat lain disampaikan pula oleh Von Heine Geldern (1945) bahwa tinggalan arkeologi di Pasemah disebutnya sebagai “strongly dynamic agitated”. Istilah ini muncul mungkin dipengaruhi oleh bentuk-bentuk arca batu Pasemah yang dipahatkan dengan angota tubuh yang mengandung gerak dinamis serta ukuran yang juga besar serta berbeda dari arca megalit yang lazimnya bersifat statis.
Ahli prasejarah Indonesia lainnya, R.P Soejono, Teguh Asmar, Haris Sukendar pada tahun 1980- an, menyatakan bahwa arca-arca megalit yang terdapat di wilayah ini adalah bentuk pemujaan kepada arwah nenek moyang ataupun para leluhur. Dan kubur batu yang terdapat disana adalah kubur dari seorang tokoh yang istimewa. Sukendar juga menyatakan bahwa masyarakat megalitik pasemah khsusnya di situs Tinggihari telah memiliki sistem organisasi kepercayaan kepada arwah nenek moyang, domestikasi hewan (peternakan), teknik pembuatan gerabah, teknik pemahatan (Sukendar, 1993) dan juga teknik lukis dengan diberi warna merah, hitam dan kuning, putih yang diterakan pada bilik, peti kubur batu. Teguh Asmar dalam penelitiannya atas Pasemah menyatakan bahwa bentuk fisik pendukung megaliti Pasemah tidak jauh dengan bentuk-bentuk manusia yang ada pada peninggalan megalit tersebut.
Prasetyo, pada tahun 2007-2009 bahwa secara keruangan daerah Pagar Alam dan Kabupaten Lahat adalah merupakan satu kesatuan wilayah budaya. Pola sebaran tinggalan megalitik di Pasemah adalah mengelompok yang wilayahnya meliputi dataran tinggi Pasemah. Situs-situs teridentifaksi terdiri atas 45 situs yang berisi 362 peninggalan megaltik. Dari peninggalan tersebut yang paling dominan adalah dolmen (158) meliputi 30 situs, selanjutan nomor dua yang dominan adalah arca megalitik meliputi 28 Situs. Peringkat terakhir jumlahnya adalah batu berelief. Selain peninggalan megalitik yang diperuntukkan sebagai sarana pemujaan ada juga peninggalan yang diperuntukan bagi keperluan profan yang diwakili olen batu-batu tegak yang disusun, lumpang batu dan lesung batu. Dengan analisis perhitungan tetangga terdekat Bagyo Prasetyo menyimpulkan bahwa sebaran tinggalan budaya megalitik di Pasemah adalah cenderung mengelompok yang wilayahnya meliputi dataran tinggi Pasemah. Berdasarkan keletakan tinggalannya Prasetyo membagi menjadi 8 karekater, misalnya situs dengan temuan dolmen, lumpang batu dan arca sebagai satu karakter, dst. Jumlah yang paling dominan terdapat di Pasemah adalah situs dengan satu karakter. Misalnya satu arca, satu dolmen, dst.
Suryanegara, pada tahun 2006, membahas 18 arca megalitik yang ada dari aspek seni rupa yang menyatakan bahwa ungkapan rupa yang digambarkan pada arca megalitik Pasemah adalah arca persembahan untuk nenek moyang, dengan penggambaran dinamis. Adapun situs-situs tersebut antara lain adalah situs Batu Ringkih, Baru Pajar Bulan, Gunung Megang, Sawah Jemaring, Rindu Hati , Tinggi Hari, Tanjung Sirih, Pagaralam, Geramat, Tanjung Bringin, Tanjung Menang, Tebat Sibentur, Belumai , Tegurwangi, Tebat Gunung, dan Mingkik.
Kajian-kajian yang telah dilakukan oleh para peneliti di atas terhadap peninggalan arkeologi Pasemah masih menunjukkan pandangan yang sama yaitu mengarah pada konsep religi bahwa himpunan bangunan bilik batu, dolmen, lukisan dalam bilik batu, arca-arca batu dan temuan relief maupun artefak lainnya adalah terkait dengan tujuan upacara ritual untuk pemujaan nenek moyang. Sejauh ini, belum ada perspektif yang baru dan berbeda diantara peneliti arkeologi yang dapat menjelaskan secara konstruktif sebaran peninggalan Pasemah tersebut, sehingga sulit ditarik suatu kesimpulan untuk membuka tabir misteri terhadap warisan budaya yang tersebar di Kota Pagar Alam, Kabupaten Lahat hingga wilayah Kabupaten Empat Lawang.
(artikel ini ditulis oleh Nasruddin, disadur dari tulisan yang berjudul “Potensi Data Prasejarah Dari Lahat Hingga ke Empat Lawang”, yang telah dipublikasikan dalam buku “Megalitik Pasemah, Warisan Budaya Penanda Zaman”)