You are currently viewing Peranan Air Dalam Kehidupan Masa Prasejarah

Peranan Air Dalam Kehidupan Masa Prasejarah

Lingkungan merupakan faktor penentu manusia memilih tempat untuk hidup. Oleh karena itu, manusia memperhatikan kondisi lingkungan dan penguasaan teknologi. Jika kondisi lingkungan tidak sesuai dengan yang mereka harapkan, mereka tidak akan mau bertempat tinggal di lokasi tersebut. Manusia selalu berusaha untuk menjadikan sesuatu menjadi lebih baik. Termasuk dalam hal tempat tinggal.

Pada masyarakat food gathering, mereka sangat menggantungkan diri pada alam. Dimana daerah yang mereka tempati harus dapat memberikan persediaan yang cukup untuk kelangsungan hidup. Oleh karena itu mereka selalu berpindah-pindah.

Sedangkan pada masyarakat food producing, mereka sudah sedenter (pola hidup menetap), yaitu pola kehidupan dimana manusia sudah terorganisir dan berkelompok serta menetap di suatu tempat. Mata pencahariannya bercocok tanam serta sudah mulai mengenal norma dan adat yang bersumber pada kebiasaan-kebiasaan.

Dari dua pola hunian masyarakat prasejarah baik yang masih nomaden maupun sedenter pola hunian masyarakat prasejarah memiliki dua karakter khas, yaitu :

  1. Kedekatan dengan Sumber Air

Air merupakan kebutuhan pokok mahkluk hidup terutama manusia. Keberadaan air pada suatu lingkungan mengundang hadirnya berbagai binatang untuk hidup di sekitarnya. Begitu pula dengan tumbuhan. Air memberikan kesuburan pada tanaman.

  1. Kehidupan di Alam Terbuka

Masyarakat prasejarah mempunyai kecendrungan hidup untuk menghuni sekitar aliran sungai. Mereka beristirahat misalnya di bawah pohon besar dan juga membuat atap dan sekat tempat istirahat itu dari daun-daun. Kehidupan di sekitar sungai itu menunjukkan pola hidup manusia purba di alam terbuka. Manusia purba juga memanfaatkan berbagai sumber daya lingkungan yang tersedia, termasuk tinggal di gua-gua. Mobilitas manusia purba yang tinggi tidak memungkin untuk menghuni gua secara menetap. Keberadaan gua-gua yang dekat dengan sumber air dan bahan makanan mungkin saja dimanfaatkan sebagai tempat tinggal sementara.

Pola hunian itu dapat dilihat dari letak geografisnya situs-situs serta kondisi lingkungannya. Beberapa contoh yang menunjukkan pola hunian seperti itu adalah situs-situs purba disepanjang aliran sungai bengawan solo (sangiran, sambung macan, trinil , ngawi, dan ngandon), merupakan contoh dari adanya kecendrungan hidup dipinggir sungai. Manusia purba pada zaman berburu dan mengumpulkan makanan selalu berpindah-pindah mencari daerah baru yang dapat memberikan makanan yang cukup.

Pada umumnya mereka bergerak tidak terlalu jauh dari sungai, danau, atau sumber air yang lain, karena binatang buruan biasa berkumpul di dekat sumber air. Ditempat-tempat itu kelompok manusia praaksara menantikan binatang buruan mereka. Selain itu, sungai dan danau merupakan sumber makanan, karena terdapat banyak ikan di dalamnya. Lagi pula di sekitar sungai biasanya tanahnya subur dan ditumbuhi tanaman yang buah atau umbinya dapat dimakan

Pada masa berburu dan mengumpulkan makanan, mereka telah mulai lebih lama tinggal di suatu tempat. Ada kelompok-kelompok yang bertempat tinggal di pedalaman, ada pula yang tinggal di daerah pantai. Mereka yang bertempat tinggal di pedalaman, biasanya bertempat tinggal di dalam gua-gua atau ceruk peneduh (rock shelter) yang suatu saat akan ditinggalkan apabila sumber makanan di sekitarnya habis.

Pada tahun 1928 sampai 1931, Von Stein Callenfels melakukan penelitian di Gua Lawa dekat Sampung, Ponorogo. Di situ ditemukan kebudayaan abris sous roche, yaitu merupakan hasil dari kebudayaan yang ditemukan di gua-gua. Beberapa hasil teknologi bebatuan yang ditemukan adalah ujung panah, flake, batu penggiling. Selain itu juga ditemukan alat-alat dari tanduk rusa. Kebudayaan Abris sous roche ini banyak ditemukan di Besuki, Bojonegoro, juga di daerah Sulawesi Selatan seperti di Lamoncong.

Mereka yang tinggal di daerah pantai makanan utamanya berupa kerang, siput dan ikan. Bekas tempat tinggal mereka dapat ditemukan kembali, karena dapat dijumpai sejumlah besar sampah kulit-kulit kerang serta alat yang mereka gunakan.

Di sepanjang pantai Sumatra Timur antara Langsa di Aceh sampai Medan, terdapat tumpukan atau timbunan sampah kulit kerang dan siput yang disebut kjokkenmoddinger (kjokken = dapur , modding = sampah) . Tahun 1925 Von Stein Callenfels melakukan penelitian di tumpukan sampah itu. Ia menemukan jenis kapak genggam yang disebut pebble (Kapak Sumatra) . Selain itu, ditemukan juga berupa anak panah atau mata tombak yang diguankan untuk menangkap ikan.

Dari uraian dua karakter khas pola hunian pada masyarakat prasejarah, baik yang sudah pola hidup menetap dan nomaden sudah dipastikan akan selalu berdekatan dengan sumber air, hal ini berkaitan dengan sumber makanan. Begitu pun dengan pembangunan tempat-tempat ritual masa prasejarah, yang pada tulisan ini dikhususkan pada bangunan monumental yang berasal dari masa megalitik. Bangunan masa megalitik adalah salah satu bentuk ciptaan manusia yang dicirikan oleh benda-benda megalit berupa bangunan dari batu. Istilah megalitik berasal dari kata mega yang berarti besar, dan lithos yang berarti batu. Pendirian bangunan megaltik selalu berdasarkan pada kepercayaan akan adanya hubungan antara yang hidup dan yang sudah meninggal. Kepercayaan ini menganggap bahwa roh seseorang tidak lenyap pada saat orang meninggal. Roh dianggap mempunyai kehidupan di alamnya tersendiri sesudah orang meninggal. Kemudian munculah kepercayaan bahwa roh-roh tersebut masih selalu berhubungan dengan orang yang masih hidup, dan dianggap mempunyai pengaruh yang kuat terhadap kesejahteraan masyarakat.

Pola hidup menetap dengan mata pencaharian bercocok tanam dan beternak dalam masyarakat agraris adalah salah satu ciri dari masyarakat pendukung tradisi Megalitik. Dalam pola kehidupan masyarakat agraris, terdapat hubungan antar manusia yang saling membutuhkan. Sebagai contoh ada orang yang bekerja di ladang atau persawahan, ada yang mengatur orang yang bekerja tersebut, yang membimbing masyarakatnya, dan ada pula yang memperbaiki kerusakan kerusakan ladang/sawah. Sistem sosial masyarakat seperti ini selalu dijaga agar tetap harmonis. Mereka yang bekerja di ladang mengolah lahan untuk menghasilkan panen yang akan dimakan oleh seluruh anggota masyarakat. Selain kepada seluruh anggota masyarakat, ada pula pemberian “makan” atau ucapan terimakasih yang diberikan kepada “pemberi” hasil panen yang mereka anggap sebagai dewa-dewi atau arwah para leluhur. Semua ini dilakukan sebagai bentuk penghormatan kepada yang memberikan hasil panen agar panen berikutnya dapat berhasil dan kesuburan tanaman selalu terjaga. Apa yang mereka persembahkan kepada dewa-dewi dan arwah leluhur itu dikaitkan dengan sumber kehidupan dan mereka meyakini akan diberikan kembali untuk menjaga kelestarian siklus kesuburan dalam tatanan alam (Dillistone, 2002: 45-47).

Salah satu tinggalan megalitik yang sangat berdekatan dengan sumber air adalah Situs Batu Goong-Citaman yang terletak di Desa Sukasari, Kecamatan Menes, Kabupaten Pandeglang terdapat kompleks megalitik yang disebut situs Batu Goong-Citaman.  Situs Batu Goong-Citaman terdiri dari dua lokasi yang menjadi satu kawasan di lereng barat Gunung Pulosari atau di lembah perbukitan Kaduguling (Fadillah, 2002). Di situs ini terdapat: (1) Batu Goong yaitu sebuah menhir sebagai pusat yang dikelilingi oleh batu-batu berbentuk gamelan atau gong dan batu pelinggih dalam formasi temu gelang; (2) Citaman, yaitu sebuah kolam megalitik berukuran lebih dari 350 m². Di dalam kolam ditemukan batu-batu berlubang, batu lumpang, batu bergores, batu dakon, pecahan batu pipisan, pecahan alu dan pecahan keramik asing.

Kolam Citaman terbagi menjadi dua bagian. Menurut penuturan masyarakat setempat satu bagian digunakan untuk kaum pria dan lainnya untuk kaum wanita. Dalam tradisi megalitik, kolam Citaman diduga dipakai sebagai tempat awal mengsucikan diri sebelum upacara berlangsung. Pusat ritual dilakukan di atas bukit di tempat Batu Goong berada (Djaenuderadjat, 2001: 25-26).

Contoh lainnya yaitu situs Lebak Kosala yang terletak Di sekitar pegunungan Kendeng, Kampung Lebak Sangka, Desa Lebak Gedong, Kecamatan Cipanas, Kabupaten Lebak terdapat situs yang memiliki ikatan dengan masyarakat Baduy, dikenal dengan nama situs Lebak Kosala. Karakter situs Lebak Kosala tampaknya sama dengan Situs Batu Goong-Citaman. Penelitian permukaan yang dilakukan oleh Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Serang tahun 2001 mengungkap situs Lebak Kosala adalah sebuah situs dari tradisi megalitik yaitu, punden berundak dengan lima undakan, berorientasi timur-barat dengan arah utama menghadap puncak Gunung Kosala. Tidak jauh dari situs terdapat kolam yang diduga sebagai tempat mereka mengsucikan diri sebelum melakukan aktivitas ritual.

Kesimpulan

karakter khas pola hunian pada masyarakat prasejarah, baik yang sudah pola hidup menetap dan nomaden sudah dipastikan akan selalu berdekatan dengan sumber air, hal ini berkaitan dengan sumber makanan. Dengan sudahnya hidup dengan pola menetap, masyarakat prasejarah mulai mengenal adanya system bercocok tanam dan beternak. Dengan mulainya pola hidup bercocok tanam maka muncullah suatu kepercayaan antara manusia dengan alam lain yaitu dengan pemberian “makan” atau ucapan terimakasih yang diberikan kepada “pemberi” hasil panen yang mereka anggap sebagai dewa-dewi atau arwah para leluhur. Semua ini dilakukan sebagai bentuk penghormatan kepada yang memberikan hasil panen agar panen berikutnya dapat berhasil dan kesuburan tanaman selalu terjaga. Apa yang mereka persembahkan kepada dewa-dewi dan arwah leluhur itu dikaitkan dengan sumber kehidupan dan mereka meyakini akan diberikan kembali untuk menjaga kelestarian siklus kesuburan dalam tatanan alam. Dari kepercayaan itulah masyarakat mulai membangun tempat-tempat ritual untuk para dewa ataupun roh nenek moyang.

Pada pembangunan tempat-tempat ritual untuk pemujaan juga tidak lepas dari dekatnya sumber air yang dimaksudkan untuk mensucikan diri dahulu sebelum melaksanakan aktivitas upacara ritual keagamaan/pemujaan para dewa ataupun roh nenek moyang.

DAFTAR PUSTAKA

Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala. 2005   Ragam Pustaka Banten. Balai Pelestarian Peningalan Purbakala Serang.

Soejono, R. P (ed). 1984   “Jaman Prasejarah”. Sejarah Nasional Indonesia I edisi ke-4. Departeman Pendidikan dan Kebudayaa. Balai Pustaka: Jakarta.

Website: