Penataan Candi Blandongan dari Pandangan Arkeologis

Oleh: Bayu Aryanto*

Kajian terhadap rencana pengembangan dan pemanfaatan Situs Candi Blandongan dalam bentuk kajian pertamanan yang dilakukan Balai Pelestarian Cagar Budaya Serang merupakan bagian dari rencana besar penataan kawasan Situs Purbakala Batujaya. Bagaimana memberikan nilai tambah untuk tujuan pariwisata adalah hal yang menjadi perhatian utama dalam kajian pertamanan Candi Blandongan. Selain itu, perhatian utama perencanaan yang dibuat haruslah tidak melupakan konteks sejarah dan nilai arkeologis obyek bangunan Candi Blandongan sendiri. Taman dalam pengertian arkeologi adalah sebagai taman asli yang ada pada masa lalu, ataupun taman yang dibuat pada masa kini dengan memilih situs sebagai lokasi. Pada masa kini pembuatan taman purbakala bertujuan selain untuk mempertahankan nilai keaslian tinggalan arkeologi juga digunakan untuk kepentingan ilmu pengetahuan, pariwisata, sarana pengembangan pendidikan, dan penelitian arkeologi murni (Mundardjito, 1984; Dradjat, 1992).

Hal yang paling mendasar dan menjadi tujuan dalam kajian adalah bagaimana menata lingkungan dalam lahan Candi Blandongan yang difungsikan untuk:
– Memberikan perlindungan yang bersifat permanen pada situs dari bahaya alamiah;
– Memberikan perlindungan terhadap tinggalan purbakala yang mungkin masih tersimpan di dalam tanah;
– Memberikan fasilitas untuk kenyamanan wisatawan.

Candi Blandongan Dan Arsitektural Keagamaannya
Perbedaan ketinggian dari gambaran umum wilayah Batujaya bukan saja rekayasa lingkungan yang berhubungan dengan mengatasi kondisi alami lingkungan dan teknis semata yang berhubungan dengan pendirian bangunan. Masyarakat masa lalu hampir pada setiap aspek kehidupannya didasarkan pada aspek religi, sehingga tentunya kondisi tersebut juga harus dilihat dan dipahami dari sudut religi. Pemahaman akan konsep religi akan sangat membantu dalam memahami dan merancang satu konsep penataan yang dapat memberikan makna dari simbol-simbol yang berbentuk arsitektural ataupun lingkungan Candi Blandongan.

Candi Blandongan
Candi Blandongan

Bentuk lingkungan alam selalu berubah seiring waktu yang berjalan dengan perlahan tapi pasti. Adapun bagian yang tidak atau kecil perubahannya adalah air dan fitur fisik yang berada di permukaan. Berbeda dengan vegetasinya yang merupakan bagian paling mudah mengalami perubahan. Karena itu, lingkungan akan terlihat berbeda dari tiap generasi ke generasi. Generasi berikutnya akan melihat satu lingkungan berbeda dengan yang dilihat oleh pendahulunya. Bilamana lingkungan itu adalah lingkungan hasil rekayasa, tentunya perubahan-perubahan alam juga akan merubah persepsi dan interpretasi terhadap obyek dalam satu lingkungan tertentu.

Sebagai bangunan berlatar agama Buddha, saat ini Candi Blandongan adalah salah satu bangunan dalam Percandian Batujaya yang diketahui dan dapat ditampilkan sebagai bangunan yang memiliki proses pembangunan kembali pada masa lalunya. Melihat Candi Blandongan dan lingkungannya, haruslah bersama dengan aspek-aspek kehidupan masyarakat pendukungnya yang memiliki keterkaitan dengan religi, termasuk juga dalam pembangunan satu bangunan, apalagi satu bangunan peribadatan. Ada sejumlah aturan yang harus dipenuhi dalam pembangunan bangunan ibadah dalam agama Buddha, dimana bangunan dan lingkungannya adalah simbol-simbol keagamaan yang memiliki karakter berbeda-beda.

Bangunan Candi Blandongan memiliki denah dasar berbentuk empat persegi (bujur sangkar). Dalam arsitektur India, bentuk bujur sangkar adalah sesuatu yang sangat syarat nilai dan merupakan bentuk yang melambangkan kesempurnaan (Ferdinandus, 2002). Pada dasarnya, Candi Blandongan memiliki konsep dasar arsitektur yang menggambarkan alam mikrokosmos dan makrokosmos Hindu-Buddha, yang dibangun di atas mandala.

Bangunan beserta halaman di sekitarnya sesuai dengan arsitektur yang didasarkan pada konsep mikrokosmos-makrokosmos dibagi menjadi empat bagian, yaitu: 1) Brahma sebagai pencipta alam semesta disimbolkan oleh garbha grha, 2) alam kedewataan, disimbolkan oleh selasar di sisi luar garbha grha yang digunakan untuk ritual pradaksinapatha, 3) alam manusia, disimbolkan oleh dinding pagar langkan, 4) alam gaib atau alam makhluk-makhluk demonis adalah halaman candi pada batas tertentu, sesuai dengan mandala yang digunakan sebagai konsep dasar pembangunan Candi Blandongan.

Banyak pendapat mengenai batu-batu besar dengan permukaan datar yang berada di permukaan selasar dan di halaman Candi Blandongan. Banyak argumen didasarkan pada fungsi teknis, sedangkan dari sudut pandang religi lebih banyak dugaan-dugaan. Keberadaan batuan tersebut sesungguhnya tidak terlepas dari konsep mandala dalam keletakannya. Begitu juga keletakan pintu dan bagian yang diduga sebagai jendela, semua ditempatkan sesuai konsep mandala. Batu sendiri, selain berfungsi teknis sebagian lainnya adalah alat bantu sebagai penanda keberadaan bagian-bagian mandala dimana satu bagian bangunan harus diposisikan. Dengan demikian, Candi Blandongan bukan semata satu bangunan teknis arsitektural namun sesuatu yang memiliki ‘roh’.

Keberadaan struktur bangunan di halaman barat laut dan barat daya, artefak menhir di halaman tenggara, serta unur kecil di sisi timur laut tidak terlepas pula dari konsep mandala. Meskipun dalam penempatannya mandala yang digunakan berbeda dengan mandala arsitektur bangunan Candi Blandongan, sehingga ada perbedaan antara mandala arsitektur bangunan dengan konsep penempatan bangunan lain di sekitar bangunan inti. Konsep mandala pada arsitektur bangunan Candi Blandongan juga menentukan dalam menempatkan arah hadap bangunan dan keletakan pintu utamanya. Hal tersebut berhubungan dengan fungsi dan alur ritual keagamaan yang dilakukan pada bangunan Candi Blandongan.

Temuan menhir di Candi Blandongan
Temuan menhir di Candi Blandongan

Permasalahannya adalah bagaimana melakukan penataan yang dapat mempertahankan obyek dalam konteks sejarahnya namun tetap tidak melupakan estetika. Proses pekerjaan menata suatu obyek purbakala adalah sesuatu yang sangat menyesuaikan dengan keadaan. Interpretasi dan persepsi terhadap satu keadaan dipengaruhi oleh perubahan fisik, sosial dan ekonomi, dan perubahan opini publik yang akan berlangsung seiring waktu berjalan. Permasalahan yang hampir selalu terjadi adalah pada rekonstruksi atau restorasi yang terkadang memberikan bentuk baru, berbeda dengan aslinya. Proses adaptasi satu taman pada bentuk baru yang digunakan secara tetap meliputi perubahan–perubahan substansial seperti sebagai berikut:
a. Perubahan radikal yang dengan sengaja merubah bentuk atau komposisi
b. Gangguan oleh pendirian bangunan baru di dalam situs
c. Perubahan oleh pembangunan jalan dan pembuatan sarana publik
d. Perubahan yang dipengaruhi oleh pertambahan jumlah pengunjung.

Upaya mengatasi dan menjembatani permasalahan antara teori dan praktek pelestarian cagar budaya, keperluan masa kini dan masa depan, maka karakter perubahan pada bentuk aslinya diusahakan memberikan solusi pelestarian sumber daya yang dilakukan melalui analisa terhadap sejarah masa lalu (kondisi masa lalu) dengan kondisi saat ini yang masih tersisa. Didasarkan pada konsep mandala yang menjadi dasar pembangunan Candi Blandongan dan pembentukan lingkungan yang masuk dalam halamannya, dapat dikatakan bahwa penataan lingkungan Candi Blandongan semestinya dapat dibuat mendekati kondisi asli didasarkan pada konsep mandalanya. Hal ini dikarenakan satu obyek purbakala dan lingkungannya dari tiap masa memiliki gaya dalam sejarah arsitekturnya dan disesuaikan dengan ruang yang digunakannya, yang dapat memberikan gambaran umum lingkungan pada masa tersebut.

Fungsi Taman Purbakala Situs Candi Blandongan
Dipandang secara ekologi, Situs Candi Blandongan dan lingkungannya dianggap sebagai satu ekosistem. Masing-masing komponen penyusunnya berhubungan secara timbal balik. Pemanfaatan sumber daya alam telah dilakukan manusia sejak masa lampau. Manusia sebagai komponen utama dalam ekosistem telah memanfaatkan komponen-komponen lainnya guna kelangsungan hidupnya. Situs Candi Blandongan merupakan tinggalan dari bentuk ekosistem masa lampau dan contoh pemanfaatan sumber daya alam oleh manusia pada masanya yang masih tersisa dan dapat bertahan hingga saat ini.

Keseluruhan fungsi dari taman purbakala dan penataan lingkungan Situs Candi Blandongan adalah architectural landscape yang ditujukan sebagai cultural landscape dengan beberapa bagiannya ditampilkan sebagai archaeological landscape, yaitu suatu cakupan lingkungan fisik dan budaya yang dapat mencerminkan suasana kehidupan manusia dalam satu zaman tertentu.

Penataan Situs Candi Blandongan: Gambaran Masa Lalu Untuk Masa Yang Akan Datang
Penataan yang sementara dapat dilakukan adalah semi mikro yang terbatas pada luasan tertentu dengan cakupan satu situs, yaitu Situs Candi Blandongan. Terlepas dari lingkungan masa lalu, mandala lingkungan candi pada dasarnya memberikan gambaran luasan yang dibutuhkan dalam penataan sehingga tidak melepaskan konteks arkeologi, sejarah dan arsitektur Candi Blandongan sendiri. Dampak lanjutan lainnya akan berkenaan dengan pemahaman lingkungan dan konsep penataan situs lainnya. Pelestarian Situs Candi Blandongan yang berada dalam Kawasan Percandian Batujaya merupakan pelestarian dalam satu sistem yang tidak dapat hanya melestarikan sebagian dari sistem dan mengabaikan komponen yang lain, atau menghilangkan inti dari sistem.

Nilai pelestarian satu situs atau kawasan yang merupakan satu sistem yang terkait akan menjadi berkurang bahkan ada kemungkinan tidak memiliki makna lagi, kecuali untuk tujuan atau kepentingan tertentu saja. Ruang adalah konteks yang tidak dapat terlepas dari konsep mandala lingkungan Candi Blandongan. Tata ruang dan keletakan artefak merupakan dasar dari penetapan cakupan lahan dan setting taman purbakala Candi Blandongan sebagai bagian dari usaha pelestarian situs dan nilai yang terkandung di dalamnya. Permasalahan yang ada adalah: 1) lahan direncana tertata tidak cukup untuk memberikan gambaran konsep dasar mandala lingkungan Candi Blandongan sesungguhnya karena bentuknya yang tidak simetris sesuai dengan mandalanya; 2) artefak berupa struktur yang secara teknis kecil kemungkinannya untuk ditampilkan.

Pengenalan terhadap konsep dasar bangunan dan lingkungan Candi Blandongan membantu dalam pemahaman akan arah pandang bangunan dan setting ritual yang didasarkan pada kepercayaan pendukung kebudayaan pada masanya. Perbedaan kondisi lingkungan saat ini yang berbeda dengan masa lalu dan ketersediaan sarana yang telah ada menjadi permasalahan tersendiri dalam mengatasi setting yang disesuaikan dengan kondisi lingkungan, lahan, dan keperluan masa kini dan juga masa depan dalam mengarahkan aliran pengunjung.

Keberadaan obyek purbakala yang berada lebih rendah dibandingkan dengan permukaan tanah sekelilingnya memerlukan setting yang tetap dapat menampilkan obyek sebagai bangunan yang megah dan tidak terkesan tenggelam dan dikecilkan oleh lingkungannya. Mengusahakan setting yang memberikan jarak pandang luas bagi pengunjung untuk melihat obyek sebagai bangunan yang memiliki nilai keagungan. Mengintegrasikan potensi lahan, lingkungan, dan prasarana yang telah ada adalah salah satu tujuan yang ingin dicapai dalam kajian pertamanan Candi Blandongan.

Bagaimana merencanakan taman Candi Blandongan yang sesuai dengan konsep dasarnya, lingkungan dan mempertahankan keterkaitan dengan situs lain dalam kawasan tersebut sebagai satu sistem adalah tantangan tersendiri. Berangkat dari permasalahan yang ada, hal yang paling penting dalam rencana penataan Candi Blandongan adalah dalam memaksimalkan fungsi lahan, baik untuk keperluan teknis pelestarian, pelestarian nilai, dan akomodasi keperluan pengunjung. Dengan demikian dianggap perlu untuk melakukan pemintakatan lahan dalam satuan ruang terbatas sesuai dengan konsep penataan sistem sel.

Analisa arkeologis terhadap bangunan dan lingkungan yang didasarkan pada konsep mandala, lahan Situs Blandongan adalah 12.747 m2. Keletakan obyek inti dan penyerta disesuaikan pada pembagian berdasarkan konsep mandalanya. Didasarkan pada potensi lahan dan kondisi lingkungan sekitar situs, serta analisa arkeologis lingkungan berdasarkan konsep mandala sesungguhnya dari Situs Candi Blandongan, pemintakatan di dalam lahan Situs Candi Blandongan dapat dilakukan secara ideal karena seluruh luasan tanah yang direncana ditata seluas 20.891 m2, namun kearena bentuk lahan yang ada tidak sesuai dengan mandalanya hal tersebut tidak dapat dilakukan. Mandala Candi Blandongan dimana terdapat obyek bangunan induk beserta obyek penyerta lain di sekelilingnya masuk dalam luasan lahan tertata.

1. Mintakat inti
Luas mintakat inti adalah 1.585 m2. Dalam mintakat inti terdapat obyek bangunan inti dan lahan terbuka di sekeliling bangunan yang memiliki fungsi teknis dan estetika, dan konsep arkeologis. Fungsi teknis dengan menjadikan permukaan tanah di mintakat ini memiliki daya serap air yang tinggi terhadap curah air hujan, dan melengkapinya dengan lapisan tanah mudah menyerap air, jaringan penyerap, penyaring dan pembuang air yang tergenang, sedangkan fungsi estetika dihadirkan melalui permukaan yang datar menampilkan sosok bangunan yang proporsional secara teknis.

2. Mintakat Penyangga
Mintakat penyangga dalam lahan Situs Candi Blandongan adalah seluruh bagian di luar mintakat inti. Adanya lahan penyangga ditujukan untuk dapat memberikan fungsi menyejukkan, pengamanan, dan memberi keindahan panorama hijau kepada pengunjung, serta melindungi bangunan cagar budaya dan situsnya dari pengaruh alam. Penataan mintakat penyangga dilakukan dalam usaha tetap menjaga nilai hubungan situs dengan lingkungan alam sekitarnya yang berada dalam kawasan percandian Batujaya, bukan sekedar ruang. Hal tersebut dimaksudkan sebagai usaha memberikan gambaran akan kearifan lingkungan masyarakat masa lalu dalam hal penempatan situs. Dengan kata lain, lahan penyangga juga merupakan lahan preservasi dan konservasi lingkungan.

Latar arkeologis berupa konsep mandala lingkungan Candi Blandongan masih terliput di dalam lahan penyangga. Adapun permasalahan bahwa konsep tersebut tidak ditampilkan secara utuh karena kebutuhan teknis yang memerlukan adaptasi dan juga untuk keperluan mengakomodasi keperluan pengunjung.

Konsep pertamanan untuk penataan Candi Blandongan disesuaikan dengan luas lahan, sebaran obyek artefaktual yang memiliki konteks dengan bangunan inti dan lingkungannya di dalam lahan situs, serta alokasi ruang dan kontrol pengunjung. Kondisi lingkungan alam dan sebaran obyek artefaktual sebagai bangunan atau obyek penyerta di lahan situs menjadikan penanganannya disesuaikan dengan teknis pelestarian yang memungkinnya. Sebaran yang relatif terpisah dalam rentang jarak relatif cukup jauh, ± 25 m, cukup memberi ruang untuk penanganan teknis dan mempertahankan setting obyek penyerta sesuai data arkeologis yang ada. Bagaimana pengunjung dapat memahami dan menikmati obyek penyerta secara bersamaan adalah hal lain yang memerlukan solusi tersendiri.

Terlepas dari keterbatasan lahan yang bentuknya tidak simetris menyulitkan dalam menghadirkan konsep arkeologis lingkungan yang berhubungan dengan mandala bangunan dan lingkungannya, lahan situs yang relatif terbuka memudahkan dalam rencana penataan tanaman. Solusi untuk mengatasi permasalahan teknis pelestarian bangunan berkenaan dengan ancaman alam, kondisi lingkungan dan keperluan pemanfaatannya dilakukan dengan memaksimalkan tataguna lahan dan pemanfaatan ruang dalam lahan situs, serta menyesuaikan jenis tanaman yang akan ditata sesuai setting situs yang terfokus pada obyek cagar budaya beserta nilai-nilai yang dikandungnya. Secara sederhana, penyesuaian antara nilai-nilai yang dikandung situs dengan keperluan sekarang dan masa yang akan datang dilakukan dengan penyediaan sarana dan prasarana yang ditujukan untuk menunjang usaha pengalokasian dan kontrol pengunjung serta mendukung pula usaha dan konservasi lingkungan.

Tanaman pada taman Candi Blandongan direncana dengan mempertimbangkan bahwa taman yang dibuat adalah bagian dari lingkungan yang ditata sebagai taman purbakala dengan melihat pada aspek lingkungan fisik situs, klimatologi, dan budaya setempat. Lingkungan fisik Situs Candi Blandongan yang berada pada dataran rendah yang tidak jauh dari pesisir pantai memiliki ciri alamiah tertentu yang hingga saat ini di tengah perubahan alam dan lingkungannya masih dapat dilihat jejaknya. Ciri tersebut dapat dilihat dari tanaman yang khas berada pada wilayah tersebut, seperti putat, sepat, serut, kendal, kawista, pandan, dan kelapa.

Putat, serut, kendal, kawista dan pandan merupakan tanaman yang hidup di habitat yang dekat dengan air dan dapat beradaptasi terhadap garam yang tinggi, khas sebagai tanaman di lingkungan dataran rendah, rawa, berperairan payau. Bahkan persebaran bibitnya pun seringkali melalui perantaraan air. Sedangkan kelapa adalah tanaman yang umum di dataran rendah. Tanaman berupa pohon yang tampaknya bukan merupakan tanaman asli wilayah tersebut, namun memiliki kekhasan yang konteks dengan obyek kepurbakalaan Batujaya adalah kosambi.

Menghadirkan karakter khas lingkungan berupa tanaman maka cara yang dapat dilakukan adalah menanam pohon-pohon tersebut pada posisi dan keletakan yang disesuaikan dengan peruntukan lahan dan konteksnya dengan obyek inti berupa bangunan purbakala. Letak situs yang berada di tengah pesawahan menjadikan situs perlu dilindungi dari terpaan angin. Untuk tujuan tersebut maka pada tepian situs ditanami pohon yang dianggap kokoh dan memiliki tajuk yang cukup luas.

Pengertian taman tentunya menggambarkan adanya tanaman yang memberikan nilai estetika, sehingga di dalam lahan taman juga ditanam beberapa tanaman hias dengan jenis yang disesuaikan dengan fungsinya. Tanaman yang berupa pohon, perdu, dan semak tersebut dapat dipilih sesuai keperluan dan fungsinya pada lahan Candi Blandongan.

Jalan Setapak
Pembuatan jalan setapak dalam taman Situs Candi Blandongan dimaksudkan sebagai satu jaringan yang dapat mengarahkan pengunjung memahami nilai kepurbakalaan obyek bangunan dan lingkungannya serta menikmati seluruh lingkungan lahan dan alam sekitarnya. Selain itu dimaksudkan dengan tujuan untuk menghindari adanya pemusatan pengunjung pada satu lokasi di dalam lahan situs. Jalan setapak yang dibuat juga menjadi batas mintakat lahan antara inti dengan penyangga. Didasarkan pada tujuan tersebut dalam perencanaan dibuat dua jalan setapak yang berbentuk seperti ‘ring’.

Jalan setapak yang terdekat dengan obyek bangunan (ring 1) dibuat mengelilingi obyek bangunan. Jalan setapak ini mendekati ukuran sesungguhnya dari mandala bangunan dan halamannya yang pada beberapa bagian hanya selisih 0,74 m sampai 1,50 m di luar tanggul penahan tanah halaman inti obyek. Menjembatani antara konsep arkeologis, keperluan teknis pelestarian, dan keperluan lain untuk masa sekarang dan masa mendatang, jalan setapak dibuat sedikit bergeser ke luar sejarak 4,7 m dari bibir tanggul yang tidak menjorok ke luar.

Jalan setapak kedua (ring 2) berada di sisi luar jalan setapak pertama. Meskipun dasarnya adalah mandala lingkungan Candi Blandongan, namun perencanaan jalan setapak ini lebih dimaksudkan untuk mengatur sirkulasi pengunjung dan mengakomodasi kebutuhan pengunjung untuk menikmati lingkungan dalam lahan Situs Candi Blandongan dan penghubung titik ruang terbuka dimana pengunjung dapat menikmati lingkungan sekitar situs.

Embung Air Sebagai Taman Air
Berdasarkan pada analisa lingkungannya, pemilihan lokasi pembangunan Candi Blandongan pada masa lalu tidak lepas dari nilai penting air sebagai sumber kehidupan dan juga kepercayaan masyarakat pendukungnya. Meskipun berdasarkan pada analisa lingkungannya pula air menjadi permasalahan dalam kelestarian bangunan dan lingkungan Candi Blandongan dari masa ke masa. Maka penataan lahan dan lingkungan Situs Candi Blandongan haruslah ikut melestarikan alam dan lingkungan situs didasarkan pada data arkeologi dan keperluan masa sekarang serta masa mendatang.

Adaptasi yang akan terlihat radikal dalam penataan dan rencana desain Taman Situs Candi Blandongan adalah adanya prasarana berupa embung air di sisi tenggara mengarah selatan dan timur laut mengarah timur. Didasarkan pada konsep mandala dan lingkungan Candi Blandongan keberadaan embung dapat disesuaikan pada data dan interpretasi arkeologis, serta keperluan teknis pelestarian obyek beserta lingkungannya.

Dengan demikian penataan taman dalam lahan Candi Blandongan dapat memiliki hubungan dengan lingkungan sekitar dan memberikan sinergi dalam pemanfaatan lahannya. Hubungan dengan alam sekitar dapat diperlihatkan dengan penanaman tanaman yang sesuai dengan perkiraan vegetasi lingkungan masa lalunya. Selain itu dimaksudkan untuk memberikan nilai tambah estetika dalam penataan lahan dan lingkungan situs serta pemanfaatannya bagi masyarakat sekitar yang bermatapencaharian utama sebagai petani.

Secara teknis, drainase pada lahan situs adalah tergenang akibat kondisi alamnya. Diperlukan bantuan mekanis untuk menggerakkan air mengalir menjauh dari lahan inti situs. Permasalahannya, air tidak selamanya dapat langsung dialirkan ke luar situs, karena sawah di sekitar situs pada musim tertentu tidak boleh diairi. Embung adalah wadah sementara untuk menampung air sebelum kemudian tentunya juga harus dialirkan keluar. Adapun sangat bagus bila air yang dikeluarkan dari embung langsung terhubung dengan saluran irigasi.

Pembuatan embung dilakukan dengan melihat pada penataan lahan dalam skala yang lebih luas, yaitu kawasan. Bila itu dilakukan maka embung yang dibuat tidak harus berada dalam lahan Candi Blandongan, ditempatkan pada lokasi yang memungkinkan untuk tetap dapat mefungsikan saluran irigasi yang ada dan sekaligus menampung buangan air dari beberapa lokasi situs yang tentunya juga didasarkan pada kajian arekologis dan teknis dalam penentuan lokasinya. Dengan terangkai melalui saluran irigasi, pompa mekanis langsung membuang air ke saluran irigasi yang mengalir ke embung. Dalam artian, embung air yang dibuat berfungsi utama sebagai kantong air pada saluran irigasi yang ada.

Penutup
Pada akhirnya, penataan lahan dan lingkungan Situs Candi Blandongan harus melihat pada latar belakang lingkungan, kepercayaan dan aspek sosial ekonomi. Penataan lahan situs dan lingkungannya, termasuk air bukan hanya dimaksudkan sebagai bagian dari latar sejarah, namun menjadikannya bagian dalam menjaga keseimbangan alam, preservasi dan konservasi lingkungan dalam usaha pemanfaatan situs yang bersentuhan dengan masyarakat dan pelestarian lingkungan alam secara langsung.

Rencana desain yang dihasilkan dari kajian pertamanan yang dilakukan Balai Pelestarian Cagar Budaya Serang diusahakan sebaik mungkin, seperti ungkapan yang menyatakan bahwa desain taman situs purbakala yang baik adalah yang dapat memberikan bentuk cerminan dari satu produk berwawasan seni dan lingkungan tanpa keluar dari konteks sejarahnya yang juga menjadi taman arsitektural, taman rasional, taman yang natural, taman tiruan yang indah. Hal tersebut akan menghasilkan tindakan-tindakan obyektif dalam memperlakukan alam dan hubungan yang harmonis antara alam dengan manusia. Ini juga akan menjadikan pembuatan satu taman purbakala sebagai satu proses pembangunan yang permanen dan berkesinambungan, tidak hanya berorientasi untuk masa sekarang tapi juga untuk masa depan. Setiap perubahan dapat dilihat sebagai hasil dari hal-hal baru di tiap peristiwa sejarah hubungan manusia dengan alam lingkungannya (Micoulina, 1993).

Daftar Pustaka
Ferdinandus, Peter. 2002. “Recent Archaeologycal Excavations In Blandongan Site, Batujaya, Karawang, West Java” dalam Aspek-Aspek Arkeologi Indonesia (Aspects of Indonesian Archaeology), Nomor 25. Jakarta: Badan Pengembangan Kebudayaan dan Pariwisata, Deputi Bidang Pelestarian dan Pengembangan Kebudayaan, Bagian Proyek Penelitian dan Pengembangan Arkeologi.

Heriyanti, Untoro Drajat. 1986. “Aspek Ekologi Dalam Penelitian Arkeologi”, dalam Pertemuan Ilmiah Arkeologi IV, jilid IV hlm 17-26. Jakarta: Puslitarkenas.

Micoulina, Elena. 1993. “The History of Gardens and The Evolutions of The Environment”, dalam Historic Garden And Sites, hlm. 71-79 . ICOMOS International Committe On Historic Gardens And Sites. Sri Lanka: State Printing Coorporations Panaluwa.

Moendardjito. 1993. Pertimbangan Ekologi dalam Penempatan Situs Hindu-Buddha di daerah Yogyakarta: Kajian Arkeologi Ruang Skala Makro. Disertasi Universitas Indonesia.

 

 

*Penulis adalah staf BPCB Serang