Polemik di Bukit Badeto Ratu: Kasus Bunker Jepang, Pangandaran dalam Perspektif Antropologi

Oleh: Padma Indranila*

 

Pendahuluan
Berdasarkan amanat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, pemerintah mempunyai kewajiban melaksanakan kebijakan untuk memajukan kebudayaan secara utuh untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Sehubungan dengan itu, maka seluruh hasil karya bangsa Indonesia, baik masa lalu, masa kini, maupun yang akan datang, perlu dimanfaatkan sebagai modal pembangunan, sehingga diperlukan kebijakan yang tegas dari pemerintah untuk menjamin eksistensinya. Selanjutnya, penanganan Cagar Budaya diatur dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2010 Tentang Cagar Budaya.

Sebagai warisan budaya masa lalu, Cagar Budaya perlu dipertahankan keberadaannya karena memiliki nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan, agama, dan kebudayaan. Seperti yang diungkapkan oleh Herry Yogaswara (2014) dalam “Pengelolaan Sumber Daya Kebudayaan: Pengalaman Banten Lama”, bahwa suatu situs Cagar Budaya maupun kawasan situs, tidak hanya berfungsi untuk kepentingan ilmu pengetahuan dan kelestarian semata, tetapi juga untuk kepentingan kesejahteraan masyarakat, sehingga perlu dipertahankan keberadaannya.

Benda Cagar Budaya mempunyai hubungan erat dengan kebudayaan dan sejarah perkembangan manusia. Untuk itu, benda Cagar Budaya tidak hanya penting bagi disiplin ilmu arkeologi saja, tetapi juga bagi disiplin ilmu lainnya yang dapat melakukan analisis terhadapnya, seperti Antropologi yang dapat melihat keterkaitan antara benda Cagar Budaya dengan aspek sosio-cultural masyarakat. Tulisan ini mencoba melihat interelasi ancaman kelestarian Cagar Budaya yakni situs bunker Jepang oleh pengusaha dalam rangka pendirian hotel di kawasan Badeto Ratu, Pangandaran, dan kondisi sosial masyarakat dalam perspektif Antropologi. Seperti apa respon masyarakat dalam menanggapi ancaman kelestarian situs Cagar Budaya di lingkungannya? Bagaimana upaya pemerintah dalam hal ini BPCB Serang, untuk mengantisipasi ancaman kelestarian Cagar Budaya? Apakah selama ini masyarakat turut dilibatkan sebagai mitra pemerintah dalam penanggulangan ancaman kelestarian Cagar Budaya? Dengan melihat relasi yang ada, kita dapat menemukan beberapa factor penyebab dan solusi yang tepat dalam menangani persoalan ini.

Potensi Pariwisata di Pangandaran
Kabupaten Pangandaran yang tak lain merupakan hasil pemekaran wilayah dari Kabupaten Ciamis, memiliki banyak potensi wisata. Selain keindahan pantainya, Pangandaran juga memiliki kekayaan flora, fauna, dan keindahan alamnya. Dengan beragam flora, kawasan Cagar Alam di Pangandaran merupakan habitat yang cocok bagi kehidupan satwa liar seperti monyet, banteng, tando, rusa, landak, dan lain sebagainya. Tak hanya itu, Pangandaran juga mempunyai daya tarik lainnya seperti Batu Kalde, salah satu peninggalan sejarah zaman Hindu. Selain itu, banyak terdapat gua alam dan gua buatan yang dahulu sering dimanfaatkan oleh tentara Jepang sebagai tempat pertahanan, persembunyian, perlindungan, dan juga tempat penyimpanan senjata semasa Perang Dunia ke II.

Sayangnya, objek wisata sejarah ini kurang mendapat perhatian dari masyarakat sekitar. Para wisatawan pun mengaku tidak berminat untuk melakukan kunjungan/ wisata sejarah.

“Kalau diranking, tempat wisata menarik di Pangandaran, pertama yang jelas pantai, tempat berenang ya, yang kedua mungkin Cagar Alam, yang ketiga Grand Canyon… Kalau situs… kurang ada minat sebetulnya, hanya orang-orang tertentu saja.” (petikan wawancara dengan Bp. Arif, Bandung)

“Yang saya tau dari Pangandaran ya Pasir Putih, Cagar Alam, sama Grand Canyon…” (petikan wawancara dengan Ibu Rina, Bandung)

“About Pangandaran… I know nothing, hahaha. Well, my wife said, actually it is nice place, and we’re back to Bandung tonight, so we want to go to see the beach. I don’t have a time, but I will come back later, longer stay, and explore the nature, and the area…” (petikan wawancara dengan turis asing, Dave, Norway)

Beberapa petikan wawancara dengan para wisatawan di atas, memperlihatkan kurangnya minat para wisatawan, baik turis domestik maupun mancanegara untuk mengunjungi situs-situs bersejarah yang ada di sekitar Pangandaran. Beberapa di antara mereka bahkan tidak mengetahui bahwa Pangandaran juga memiliki potensi wisata sejarah.

Ancaman terhadap Kelestarian Situs Bunker Jepang di Kawasan Badeto Ratu
Minimnya kepedulian masyarakat terhadap keberadaan Cagar Budaya di lingkungannya, menjadi salah satu factor penyebab terjadinya ancaman pembongkaran situs di kawasan Badeto Ratu, Pangandaran. Perlu diakui pula bahwa terjadinya kasus ini juga akibat dari lemahnya pengawasan/ monitoring keberadaan situs yang dilakukan oleh pemerintah, dalam hal ini Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Serang.

“Kalo pendapat saya (tentang kasus Badeto Ratu), kenapa dulu ngga dibeli (dibebaskan) dari pemerintah! Dijualnya kan udah lama itu dijual! Kenapa ngga dibeli kalo pemerintah membutuhkan itu? Ada peninggalan Jepangnya, itu mah terserah yang punya uang… Kalo sejarahnya Ibu mah ngga tau, cuma denger ‘di sini ada goa Jepang’, katanya dari jaman Jepang, udah aja… Kalo hotel itu jadi dibangun, ya seneng sih seneng, nanti rame ke sana.”(petikan wawancara dengan Ibu Nur warga Pangandaran)

“Tentang sejarahnya, pernah sih dengar, tapi… lupa lah! Banyak ceritanya, tapi kurang paham lah… Tentang hotel yang mau dibangun, ada bunker Jepang kan, dulu mah dari pihak pemerintah teh ngga peduli dulu mah, peduli-peduli sekarang, waktu ini dibeli sama itu, ini kan tanah pribadi. Waktu udah dibeli sama C*na, grup itu mah, bukan perorangan, baru (pemerintah) pada dateng ke sini gitu. Ngga tau dibongkar, ngga tau engga, kan ada tiga itu (bunker). Kalo pendapat saya, kenapa ngga dari dulu gitu, itu diurusin, diberesin gimana gitu buat anak-anak cucu kita lah, bukan sekarang udah dibeli baru muncul dari pemerintah, kepolisian. Kan deket ini yang punya hotel, sering ngobrol di sini, akrab gitu. Ada bunker jepang katanya, ya dari pihak pemerintah ngga peduli gitu, baru sekarang ini, pas udah dibeli sama C*na. Kalo saya sih pengennya hotel itu tetep dibangun, tapi itunya (situs) jangan dimusnahkan, kan ada pengunjung bisa liat ke situ. Mudah-mudahan tambah rame di sini karena banyak pengunjung yang nginep di situ.” (petikan wawancara dengan Ibu Yati warga Pangandaran)

“Kalo hotel (di kawasan Badeto Ratu) dibangun, ya pasti (dampaknya) positif (ke bisnis hotel kami) masalahnya bakal lebih rame kan ke sananya gitu. Ya pasti jalur ini rame Bu! Masalahnya ini kan belum bisa dibuka… mubazir kan. Pastinya lebih menguntungkan (kalau hotel itu dibangun). Untuk pedagang-pedagang mungkin ada pemasukannya… Kalo untuk kasus itu, mungkin saya ngga bisa kasih pendapat, tergantung yang di atasnya (pejabat yang berkepentingan) gitu… tapi… lebih baik dibangun jadi rame, tambah rame. Jadi ini, jalan ini hidup nantinya gitu. Kalo masalah bunker-bunker itu mah… hahaha… kalo sebelah sini kan dataran, kalo mau bikin hotel ya udah jadi rame, kalo itu (kasus bunker) mah… biarin aja, itu urusan yang punya dengan yang ngurus di atasnya (pemerintah) gitu.” (petikan wawancara dengan Bp. Dodi pengurus salah satu hotel di kawasan Badeto Ratu)

Sungguh ironis, masyarakat pun terkesan apatis dalam menanggapi keberadaan benda peninggalan sejarah di lingkungannya. Saat ditanya pendapat mereka tentang kasus pendirian hotel di kawasan Badeto Ratu yang notabene merupakan kawasan Cagar Budaya, mereka nampak tidak peduli pada keberadaan situs Bunker Jepang. Pengetahuan mereka tentang nilai sejarah Bunker Jepang pun nihil. Maka, tidak heran jika agenda pembongkaran situs Bunker Jepang oleh para pengusaha hotel yang sekaligus menjadi ancaman bagi kelestarian benda peninggalan bersejarah di kawasan tersebut, justru diacuhkan oleh masyarakat. Hal ini terjadi karena hilangnya “sense of belonging” antaramasyarakat dengan lingkungannya. Selain itu, faktor ekonomi juga menjadi alasan ketidakpedulian masyarakat terhadap situs peninggalan sejarah di lingkungannya.

Di lain sisi, perhatian justru datang dari kelompok pemuda yang menamakan dirinya “Paguyuban Pemandu Wisata Pangandaran.”

“Secara tidak langsung, kita sebagai pemandu, yang pertama, yang kita jual dulu kan pasti alam, nah setelah alam, peninggalan-peninggalan sejarah. Nah peninggalan sejarah di Cagar Alam kan tidak hanya satu, ada beberapa peninggalan, salah satunya Gua Jepang, Batu Kalde, terus ada lagi situs petilasan Syekh Mahsen Muhammad, sambil guiding, sambil bawa tamu, terus ketika kita berhubungan dengan masyarakat bahwa ini peninggalan yang potensi untuk kita manfaatkan, dan kita juga punya kewajiban untuk menjaga. Secara tidak langsung kita harus menjaganya, karena kalau Gua Jepangnya rusak, Batu Kaldenya ngga ada, apa yang mau kita sampaikan? Apa yang mau kita jual?” (Petikan wawancara dengan Asep, ketua Paguyuban Pemandu Wisata Pangandaran)

Seperti yang diakui Asep, bahwa segala bentuk aktivitas berupa pengelolaan organisasi, pengumpulan data/ materi, promosi pariwisata, sampai saat ini masih dilakukan secara swadaya. Bahkan, inisiatif pembuatan papan informasi berupa objek wisata unggulan yang di antaranya juga termasuk situs Cagar Budaya, justru dilakukan oleh Paguyuban, bukan lah Pemda/ instansi terkait.

Eksistensi organisasi ini otomatis turut mendukung pula kelestarian objek-objek pariwisata Pangandaran, baik Cagar Alam maupun Cagar Budaya. Terlebih lagi, keprihatinan atas terungkapnya kasus pembongkaran situs Bunker Jepang di kawasan Badeto Ratu oleh pengusaha hotel, pada awalnya justru datang dari komunitas ini.

“Selama satu bulan, saya berusaha secara persuasive dengan pemilik lahan (untuk menghentikan aktivitas) tapi memang nggak digubris, (kemudian) saya bikin berita, kebetulan saya freelance di Radar (Pangandaran) karena saya kalo ngandalin di sini kan lumayan bingung, dari BPCB (Serang) nggak ada dateng-dateng. Kebetulan ada yang nawarin freelance di Radar, ya udah saya ambil aja… Saya tulis langsung (kasus ini). Dua bulan kemudian saya bikin e-mail, ke Dirjen, sama foto-fotonya saya kirimin. Saya punya tanggung jawab! Di sini saya sebagai ketua pemandu, saya yang berjuang, yang nge-bentuk, yah… sempat kontra juga dengan masyarakat… Uh.. saya dimusuhin satu RW, kan (aparat) memutar balik. Jadi gini, isu yang dihembuskan ke masyarakat bahwa nanti kalau dibangun hotel di sini, masyarakat ekonominya bisa terbantu, bisa keangkat, bisa wah… segala rupa… terus… beliau kan ngasih (?) ke lingkungan, jadi masyarakat kan… wah… dukung semua. Awalnya masyarakat kan focus ini semua, saya kan ngelawan, tapi saya gini, saya lapor Sekda, ngga mempan, saya bawa Bupati ke sini! Saya bawa juga ormas! Saya komporin ormas, ayo! Jadi, kelompok masyarakat yang kontra itu diluar (komunitas) guide ini, di luar pemandu, karena mereka ngga paham bahwa nilai sejarah itu penting. Mereka ngga paham bahwa peninggalan sejarah harus dilindungi itu sangat penting. Jadi ketika saya bilang, ini peninggalan sejarah, kita harus menjaganya. Mereka jawab, ‘ya kan udah jaman dulu!’ wah susah! Karena awalnya memang mereka sudah terdoktrin, jadi ketika ada hotel di sini masyarakat bisa… padahal yang sudah-sudah juga, masyarakat mah… ditinggalin.” (Petikan wawancara dengan Asep, ketua Paguyuban Pemandu Wisata Pangandaran)

Bersama komunitasnya, Asep berjuang untuk melakukan upaya penyelamatan situs dari ancaman kerusakan. Tindakan ini tentu mendapat respon pro dan kontra dari masyarakat. Sebagian besar kelompok masyarakat justru malah mendukung dilakukannya pembangunan hotel di kawasan Badeto Ratu. Banyaknya tekanan dan intimidasi dari pihak pengusaha serta masyarakat, akhirnya membuat Asep memutuskan untuk melakukan ‘perlawanan’ melalui media. Cara ini dianggap sebagai ‘senjata’ paling ampuh dalam memobilisasi publik untuk mendukung kepentingannya. Melalui media, kasus ini lantas menjadi ‘booming’ seketika di kalangan masyarakat, pemerhati sosial, sejarah dan budaya, serta pemerintah. Sejak saat itu, baru lah muncul perhatian dari kalangan masyarakat luas dan pemerintah terhadap keberadaan situs di Pangandaran, khususnya kawasan Badeto Ratu.

“Untuk masalah situs, memang kita menyadari bahwa (persoalan) situs itu baru terbuka pencerahan (dari) kita baru kemarin-kemarin lah, sejak kasus ini (ancaman kelestarian situs Badeto Ratu). Kita baru terbuka bahwa di sana memang ada situs yang merupakan tanggung jawab kita. Selama ini kan situs itu ada di Hutan Lindung, kita tidak concern ke sana karena memang sudah ada yang menanganinya. Tapi setelah sekarang terbuka gitu, ada informasi baru kita ngeh, bahwa di sana ternyata ada situs yang tentu juga harus menjadi perhatian pemerintahan desa. Karena pengetahuan kita tentang ini baru sekarang ini lah, mungkin itu salah satu kekurangan kita semua, karena informasinya kan baru kita terima sekarang. Ya kalau misalnya perhatian ke depan, berarti ini salah satu perhatian kita juga. Sebelumnya memang belum ada (program desa) khusus untuk situs.” (Petikan wawancara dengan Drs. Iwan Herdiawan, Kepala Desa Pangandaran).

Perlu dipahami bahwa tumbuhnya kesadaran masyarakat untuk terlibat langsung dalam upaya pelestarian Cagar Budaya, tidak lahir secara instan. Dibutuhkan tahapan-tahapan yang dapat diawali dengan melakukan agenda sosialisasi kepada masyarakat, untuk menumbuhkan semangat kepedulian, yang mungkin dapat dilanjutkan dengan mobilisasi melalui pembentukan forum komunitas pelestarian situs Cagar Budaya. Beberapa langkah ini sekiranya dapat memberikan persepsi baru bagi masyarakat agar masyarakat mau terlibat secara aktif dalam upaya penyelamatan dan pelestarian situs Cagar Budaya di lingkungannya.

Model Pengelolaan Biota Cagar Alam vs Situs Cagar Budaya
Lemahnya pengawasan serta kontrol terhadap pengelolaan situs Cagar Budaya oleh BPCB Serang, menjadi alasan utama terjadinya ancaman pembongkaran situs di kawasan Badeto Ratu, Pangandaran. Hal ini tidak hanya disampaikan oleh masyarakat sekitar, tetapi juga aparat keamanan di Hutan Lindung, kawasan Cagar Alam milik Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA). Jika dibandingkan, sistem pengawasan dan pengelolaan biota Cagar Alam sudah selangkah lebih maju daripada sistem pengawasan dan pengelolaan situs Cagar Budaya yang ada selama ini.

“Pengelolaan kawasan itu, beratnya adalah, dalam hal pengamanan. Sebagus apapun potensinya, kalau pengamanan lengah, rusak. Di sini tugas pokoknya pengamanan kawasan, di samping pelayanan. Kalau ada ini (ancaman) ada Satuan Polisi Kehutanan Reaksi Cepat, itu diturunkan langsung dari Jakarta. Jadi itu… tempat mana yang rawan, ‘disikat’! Jadi kan gini, kalau (ada ancaman) hutan, banyak (elemen masyarakat) yang bereaksi… seharusnya Cagar Budaya seperti itu juga. Pokoknya jangan khawatir, selama (situs) ada di dalam kawasan (Cagar Alam), itu pasti aman, karena itu di dalam kawasan… Kalau di luar kawasan… itu kan bukan ranah kita untuk ke arah situsnya, walau pun berbatasan dengan (kawasan) kita. Batas-batas kawasan juga harus jelas! Untuk menghindari terjadinya konflik (dengan masyarakat). Kayak (persoalan) kita nih, ada perahu masuk kawasan, itu tadinya ada pembiaran! Harusnya ngga boleh. Itu salah satunya, dari rekan-rekan yang dulu dibiarkan. Seharusnya tidak boleh, karena perahu itu kan merusak karang-karang. Jadi kalau surut, perahunya digitukan (didorong) karang-karang kan mati, karena itu tempat tumbuhnya ikan. Saya sudah melakukan pembebasan di depan kali (sungai) situ sudah dibebaskan dari perahu, cuman yang ini nanti kalau dua bulan jadi, Insya Allah (akan dibebaskan), karena kita sudah berkoordinasi… Persoalan (tantangan) pelestarian situs yang ada di tengah-tengah lingkungan masyarakat memang itu hal yang berat, mendingan dikeramatkan saja. Kalau dikeramatkan itu pasti aman karena masyarakat takut (merusak). Sama dengan (yang dilakukan dalam pelestarian) hutan juga, kalau hutan dikeramatkan, pasti masyarakat takut.” (Wawancara dengan Bp. Yana, Kepala BKSDA Kab. Pangandaran).

Berbagai cara ditempuh oleh BKSDA untuk melakukan monitoring/ pengawasan dan pengamanan biota yang ada di dalam kawasan Cagar Alam, baik melalui penerjunan pasukan keamanan yakni Satuan Polisi Kehutanan Reaksi Cepat jika terjadi ancaman di suatu kawasan; negosiasi dan koordinasi secara intensif dengan masyarakat lokal untuk melakukan pembebasan kawasan yang rawan dengan tindak perusakan; bahkan BKSDA tidak segan menempuh jalur negosiasi dengan masyarakat secara kultural, yakni dengan cara mengubah paradigma masyarakat tentang konsep lingkungan ‘keramat’. Dalam hal ini, konsep ‘keramat’ merupakan salah satu bentuk kearifan lokal masyarakat yang memiliki dampak bagi kelestarian kawasan secara tidak langsung. Jika BKSDA berani melakukan pendekatan budaya sebagai sistem pengelolaan Cagar Alam, mengapa BPCB tidak?

Beberapa langkah yang telah ditempuh BKSDA tersebut setidaknya dapat menjadi contoh bagi BPCB untuk melakukan pengawasan dan pengamanan situs Cagar Budaya.

Mekanisme Kerjasama Antarlembaga Pemerintah
Pengelolaan suatu kawasan akan berjalan dengan baik apabila diawali dengan menejemen perencanaan yang baik pula, apalagi jika di suatu kawasan tersebut terdapat sejumlah objek yang menjadi kewenangan beberapa instansi/ lembaga. Oleh karena itu, nota kesepahaman atau yang biasa disebut Memorandum of Understanding (MoU) sangat lah penting untuk dilakukan agar tercipta keamanan, ketertiban kerjasama yang dilakukan antarlembaga, serta kejelasan atas pembagian tanggungjawab dalam pengelolaan kawasan. Hal ini juga disampaikan oleh Bapak Yana selaku Kepala BKSDA Kab. Pangandaran.

“Antara BKSDA (Pangandaran) dengan BPCB (Serang), satu sama lain saling tahu, belum ada MoU. Kita mempunyai tujuan yang sama, untuk pelestarian dan dimanfaatkan (sebagai sarana) penelitian (dan) pendidikan, namun kendalanya beda aturan. Menurut aturan BKSDA, ada aturan yang melarang tentang pemotongan kayu, akar… Semacam (pembicaraan) tadi, tumbuhnya akar yang ada di area situs, dikhawatirkan akan merusak situs, sehingga harus di tebang, tapi menurut aturan kita kan (akar itu) tidak boleh ditebang. Ya harus ada (MoU) lah, jadi kita bisa mengatakan ke rekan petugas ‘ini sudah ada MoU’, kita harus sama-sama berkoordinasi. Saya kan orang lapangan, tidak bisa ambil kebijakan begitu saja. MoU harus dilakukan supaya ada kejelasan di antara kita. Karena kita punya tujuan yang sama, tapi aturan yang berbeda. Ya itu tadi contohnya, tumbuhnya akar yang ada di area situs, menurut BPCB harus ditebang karena merusak situs, tapi menurut kami, itu tidak boleh ditebang, itu yang harus disamakan persepsi dalam MoU. Hutan kita itu Hutan Pelestarian, tidak bisa diperbarui. Walaupun kita mengalami longsor di Cagar Alam, biarkan saja! Nanti bisa tumbuh dengan sendirinya. Jadi dibiarkan saja.” (Wawancara dengan Bp. Yana, Kepala BKSDA Kab. Pangandaran)

Seperti yang disampaikan oleh Bapak Yana di atas, bahwa MoU merupakan langkah penting untuk menjalankan kerjasama antarlembaga yang bertujuan untuk menyamakan persepsi tentang pengelolaan kawasan. Dalam kesepakatan ini, sebaiknya rambu-rambu juga harus diterapkan dalam setiap kerjasama, sebagai dasar untuk menentukan pilihan kebijakan yang menguntungkan bagi keduabelah pihak.

Dengan adanya MoU, maka kerjasama yang terjalin antara BPCB Serang dengan BKSDA Kab. Pangandaran/ instansi pemerintah lainnya, diharapkan dapat berjalan sesuai dengan dasar hukum yang ada.

Penutup
Partisipasi masyarakat sangat diperlukan dalam upaya pelestarian Cagar Budaya. Hal ini juga disebutkan dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 Tentang Cagar Budaya, pasal 2 huruf h, bahwa di samping kewenangan pemerintah, pengelolaan Cagar Budaya juga memerlukan partisipasi masyarakat bagi kepentingan yang luas, dengan kata lain paradigma pengelolaan Cagar Budaya saat ini telah diarahkan pada pelibatan masyarakat secara aktif (Mulyadi, 2011). Namun dalam prakteknya, belum ada kerjasama yang terjalin secara sinergis antara pemerintah (BPCB Serang) dan masyarakat, sebab selama ini pendekatan ‘top-down’ (implementasi kebijakan dari level atas) lebih sering digunakan dalam pengelolaan Cagar Budaya. Padahal, penanganan spasial kawasan bersejarah yang berada di tengah-tengah masyarakat juga memerlukan upaya pendekatan ‘bottom-up’, yang artinya perencanaan pengelolaan Cagar Budaya sebaiknya dimulai pada tataran masyarakat untuk selanjutnya disusun sebagai rencana pengelolaan di tingkat pusat.

Ancaman terhadap kelestarian benda Cagar Budaya hanya dapat dicegah jika berbagai pihak seperti pemerintah, masyarakat, LSM, dan para pemangku kepentingan (stakeholder) bisa berkoordinasi dengan baik dan saling bahu-membahu untuk mencapai tujuan bersama yakni pelestarian aset budaya agar dapat berfungsi optimal untuk peningkatan pemahaman peradaban dan kesejahteraan masyarakat.

*Beberapa nama informan dalam tulisan ini telah disamarkan sebagai bentuk proteksi.

 

Referensi

Mulyadi, Yadi. 2011. “Optimalisasi Peran Komunitas dalam Pengelolaan Cagar Budaya Kompleks Benteng Otanaha di Gorontalo” dalam Buletin Umulolo Vol. 1 No.1. Gorontalo: Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala.

Rachman, Maman. 2012. “Konservasi Nilai dan Warisan Budaya”. Indonesian Journal of Conservation Vol.1 No.1 – June 2012.

Siswanto. 2007. “Pariwisata dan Pelestarian Budaya”. Berkala Arkeologi Tahun XXVII Edisi No.1 Mei 2007.

Yogaswara, Herry. 2014. “Perspektif Politik-Ekonomi dalam Pengelolaan Sumber Daya Kebudayaan: Pengalaman Banten Lama” dalam Buletin Kalatirta Vol. 2. Serang: Balai Pelestarian Cagar Budaya Serang.

Undang-Undang Republik Indonesia No.11 Tahun 2010 Tentang Cagar Budaya. Jakarta: Kementeria Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia.

*Penulis merupakan staf di BPCB Serang