Tulisan ini bukanlah sesuatu yang serius, karena hanya berasal dari seorang pecinta hal-hal yang “berbau” kuna. Sebagai orang awam, timbul keingintahuan saya terhadap Undang-undang Nomor 11 Tahun 2010 Tentang Cagar Budaya. Tentang isi perundangan tersebut, saya jelas mengalami kesulitan memahami dari sisi bahasa hukumnya. Dari ratusan jiwa penduduk Indonesia, mungkin hanya sekian persen yang mengetahui keberadaan undang-undang tersebut. Saya tidak bermain data, tapi tentunya saya juga tidak bisa disalahkan dengan pernyataan tersebut. Kita bisa melihat sendiri kenyataannya.
Indonesia sendiri sudah pernah memiliki undang-undang yang mengatur tentang cagar budaya sebelum adanya undang-undang nomor 11 tahun 2010, yaitu undang-undang nomor 5 tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya. Jauh sebelumnya, bahkan sebelum Indonesia merdeka telah ada peraturan pemerintah Hindia Belanda tentang cagar budaya melalui Monumenten Ordonnantie tahun 1931. Lalu apa bedanya undang-undang Nomor 11 tahun 2010 dengan perundangan pendahulunya? Jika bicara tentang tentang ordonantie masa Hindia Belanda, penulis pikir akan terlalu jauh karena nuansa jaman, politik, dan sosial masyarakatnya sangat berbeda.
Berhubung penulis adalah pecinta hal “berbau” kuna, penulis sempat mengikuti acara yang bertemakan “sosialisasi Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 Tentang Cagar Budaya”. Bukan karena undangan, tapi karena keingintahuan. Jadi, menarik untuk penulis, belum tentu menarik untuk yang datang karena undangan. Meskipun menarik, tapi tidak semua dapat penulis pahami, hanya sedikit yang mungkin dapat disimpan dalam ingatan penulis. Diantaranya, adanya penyebutan bentuk-bentuk cagar budaya yang bukan hanya benda dan situs saja, tapi ada benda, bangunan, struktur, situs, dan kawasan. Pada undang-undang terbaru juga disebutkan tentang pendaftaran, adanya tim ahli yang berjenjang dari tingkat kabupaten/kota, provinsi, hingga nasional yang bertugas menentukan peringkat cagar budaya sebagai tingkat lokal, regional, atau nasional. Paling menarik adalah tentang aturan kepemilikan. Paling menarik untuk penulis tentunya, karena terkait dengan kecintaan penulis pada yang ‘berbau’ kuna. Anda dapat menebak bahwa penulis memiliki koleksi yang bernilai karena kekunaannya. ‘Bernilai tinggi’, kata yang dalam perundangan pasti ‘memihak pada nilai budaya dan sejarahnya’, tapi pernahkan anda berpikir melalui kepentingan pihak-pihak lain, terkait dengan realitas hidup yang kompleks.
Satu saat di wilayah penulis ramai satu kasus berkenaan dengan penipuan yang memperjualbelikan ‘benda-benda yang disebut sebagai kuna’. Kebetulan sang penjual adalah juga orang yang dikenal sebagai ahli klenik dengan panggilan Mbah Jambrong. Penulis mengikuti jalannya kasus itu hingga sidang peradilan yang mengundang saksi ahli. Ketika saksi ahli menyatakan bahwa barang yang dijual bukanlah benda kuna dari sisi fisiknya. Jaksa penuntut menanyakan, “Dimanakah benda itu bisa ditemui dan umum diperjualbelikan”? Saksi ahli menyebut lokasi yang biasa memang menjual barang-barang ‘antik’ yang tentunya dengan pengertian antik yang relatif dari sudut bentuk dan masa, dan juga sudah banyak diketahui juga banyak benda yang dibuat terlihat seperti benda antik. Apalagi benda-benda berupa arca dengan figur, ‘bahan’ tertentu yang diminati pecinta hal-hal berbau kuna. Dalam kasus tersebut, tentu saja sasarannya adalah orang-orang awam yang mudah dibohongi, karena latar mereka bukan senang atau cinta barang antik, tapi karena motif lain. Hal tersebut dapat dilihat dari sang penjual sekaligus ‘penipu’ adalah dukun klenik.
Pertanyaan berikutnya dari jaksa penuntut adalah berapa harga ekonomis dari benda yang dijadikan barang bukti. Jawaban saksi ahli cukup diplomatis,”Kalau harga ekonomisnya saya tidak tahu, karena saya menilai benda sebagai cagar budaya, bukan benda ekonomi”. Jawaban itu tidak memuaskan jaksa penuntut, hingga diulang beberapa kali. Sebagai saksi ahli yang bukan pecinta barang-barang antik, tentunya hilir-mudik di pasar barang antik atau barang bekas bukanlah hal yang digunakannya untuk mengisi waktu. Lagi pula tidak ada barang antik atau tiruannya yang dianggap antik memiliki harga ekonomis yang bisa dibanderol atau diberi label Harga Eceran Tertinggi (HET). Pertanyaannya, siapa yang salah dalam tanya jawab tersebut, pertanyaan atau jawabannya yang salah? Atau pengetahuan dan pemahaman dari kedua pihak yang mengakibatkan timbulnya pertanyaan dan jawaban tersebut?
Penulis juga pernah kebetulan bertemu seseorang dalam satu perjalanan. Pekerjaannya sebagai pegawai negeri sipil di dinas satu kabupaten, salah satu tugasnya adalah mengurus inventaris milik kabupatennya, termasuk bangunan. Salah satu bangunan milik pemerintah kabupaten tempatnya berdinas kebetulan adalah bangunan peninggalan masa kolonial Hindia Belanda yang letaknya di tengah kota dan bernilai strategis secara ekonomi. Permasalahannya, menurut cerita beliau adalah dalam data inventaris kabupaten, bangunan tersebut dikosongkan dalam kolom nilai/harga ekonomi (di dalamnya tentu berdasarkan NJOP dan harga pasar di lokasi tersebut). Pengosongan kolom itu menjadi pertanyaan sendiri dari BPK. Alasan yang dilontarkan beliau adalah, “bangunan tersebut adalah cagar budaya dan berdasarkan kriterianya bila harus dinilai secara ekonomi tidak bisa, karena tidak ternilai”. Ini dalah contoh lain bagaimana tiap instansi pemerintah pun melihat cagar budaya dengan sudut nilai berbeda-beda.
Penulis tidak akan menggiring pembaca pada pembenaran atau memilih satu pihak hanya dengan uraian cerita singkat di atas. Sebagai pecinta hal yang ‘berbau’ kuna, saya hanya akan mengajak anda sedikit melihat realita tentang nilai yang kuna dalam kehidupan masa sekarang. Cobalah berkunjung ke Kota Tua Jakarta, cermati tiap kertas yang tertempel pada dinding atau bagian-bagian yang bisa ditempeli di pinggir jalan, kita akan bisa menemui satu tulisan yang menawarkan jasa bongkar gedung tua. Bukan hanya jasa bongkar, tapi mereka akan memilah bahan-bahan yang bernilai untuk dapat dijual kembali, khususnya bagian-bagian elemen bangunan dari bahan kayu dan logam yang memang memiliki kualitas sangat baik, atau mungkin elemen yang memiliki keunikan yang memiliki harga khusus di kalangan peminat tertentu.
Ketika perbedaan terjadi dalam memandang nilai yang dilatarbelakangi oleh kepentingan, apakah sosialisasi yang dilakukan selama ini telah memberikan pemahaman yang nyata berkenaan dengan fenomena yang ada? Apakah undang-undang nomor 11 tahun 2010 sudah dapat memberikan pencerahan dalam upaya pelestarian cagar budaya? Bila memang ada kekurangan, hendaknya tidak perlu ditutupi atau mencoba menutup mata. Dimana kekurangannya, apakah pada aturan hukumnya atau sumber daya manusianya yang seharusnya memiliki ketajaman visi dan inovasi pelestarian yang berbasis publik untuk menghadapi fenomena yang ada? Kalau saya yang orang awam saja bisa menulis seperti ini, tentunya tidak ada yang menutup mata tentang kondisi dan fenomena seperti yang penulis ceritakan di atas. Tapi yang pasti, pelestarian janganlah bertameng undang-undang semata, karena pelestarian cagar budaya adalah pelestarian terhadap bentuk kebudayaan dimana di dalamnya ada jiwa dan perasaan dari masa lalu yang diharapkan terhubung dengan masa sekarang dan masa depan sebagai bagian dari jati diri satu masyarakat. Ketika pelestarian tidak menyentuh jiwa dan perasaan, maka akan sulit mencapai tujuan dari pelestarian cagar budaya itu sendiri. Jika itu yang terjadi, kita hanya akan melihat pelestarian cagar budaya yang menampilkan tinggalan masa lalu ke tengah masyarakat masa kini dan masa depan dalam bentuk yang hampa, ‘sunyi’, ‘tanpa nilai’.
Keberadaan orang-orang seperti saya adalah tantangan tersendiri dalam pelestarian cagar budaya. Di tengah arus kehidupan yang memandang nilai dengan nominal, pendidikan anak bangsa yang hanya sebatas permukaan, mungkin akan lebih banyak orang seperti saya, yang hanya paham masa lalu sekilas untuk kemudian menilainya dalam bentuk nominal, atau seperti Mbah jambrong dalam banyak bentuk modus yang lainnya.
*Ditulis oleh: Bayu Aryanto (staf BPCB Banten)