Keraton dan Pendopo di Provinsi Jawa Barat* (1)

Islam masuk dan berkembang di Indonesia melalui proses yang cukup panjang. Sampai sekarang belum ada kesepakatan dari para ahli tentang waktu Islam pertama kali masuk dan berkembang di Indonesia. Islam sebagai agama datang ketika masyarakat Indonesia sudah mencapai taraf budaya yang tinggi dengan agama Hindu/Buda sebagai agama mayoritas penduduknya. Islam diperkenalkan oleh para pedagang, mubalig, orang-orang yang dianggap wali atau keramat, ahli-ahli tasawuf, guru-guru agama, dan haji-haji. Dalam catatan sejarah di Jawa terdapat dewan wali yang merupakan tokoh utama penyebaran agama Islam, yaitu Walisanga atau wali yang sembilan. Adapun saluran yang digunakan dalam mengislamkan adalah melalui perdagangan; perkawinan; tasawuf; pendidikan di pesantren, pondok, pengajian; dan kesenian (Tjandrasasmita, 2010).

Periode Islam di Indonesia ditandai dengan adanya pengaruh Islam dalam berbagai sendi kehidupan masyarakat. Secara umum kontribusi Islam terhadap budaya Indonesia, antara lain berupa aksara dan bahasa Arab; konsep ummah yang egaliter, yang menyamakan harkat dan martabat manusia sama di hadapan Tuhan; penerimaan bahasa Melayu sebagai bahasa pengantar dalam sosialisasi Islam; arsitektur peribadatan yang mengadaptasi rancang bangun lokal; seni tulis tinggi kaligrafi; tradisi hidup bersih dan mengharamkan barang najis/kotor; tradisi pendidikan pesantren; tradisi teknologi maritim dalam pelayaran, dan; adaptasi sistem kalender Hijriah (Ambary, 2000).

Di Jawa Barat, yakni daerah pesisir utara merupakan daerah yang pertama mendapat pengaruh agama Islam. Di Cirebon berdiri kerajaan Islam yang pertama dan di Karawang terdapat pesantren tertua yang dipimpin Syeh Qura. Adapun daerah pedalaman mulai mengenal Islam pada masa yang kemudian. Peran penyebaran Islam di Jawa Barat pada masa awal tidak lepas dari peran penting Kerajaan Islam Cirebon dengan raja pertamanya yang juga seorang wali, yaitu Sunan Gunung Jati. Pada waktu Cirebon tumbuh dan berkembang, di pedalaman masih berdiri Kerajaan Sunda-Pajajaran yang belum beragama Islam. Selain oleh raja dan lingkungan kerajaan, penyebaran agama Islam juga dikenalkan oleh mubalig-mubalig dengan ruang lingkup yang kecil. Pada waktu kemudian, Islam masuk ke pedalaman. Salah satu indikasinya adalah adanya pernikahan Pangeran Santri dari Cirebon dan Ratu Pucuk Umun dari Kerajaan Sumedang Larang yang beribu kota di Kutamaya, Sumedang. Ratu Pucuk Umun kemudian memeluk agama Islam dan Islam dijadikan agama Kerajaan Sumedang Larang. Pada waktu kemudian terjadi perubahan kondisi sosial politik yang mendukung masuknya Islam di sini adalah kekalahan Kerajaan Sunda-Pajajaran atau baisa dikenal dengan Burak Pajajaran akibat serangan Kesultanan Banten pada 1579 M. Berakhirnya kekuasaan Sunda Pajajaran kemudian diikuti dengan maklumat oleh Prabu Geusan Ulun yang merupakan penganut Islam, beliau adalah putra sekaligus pengganti Ratu Pucuk Umun, bahwa Kerajaan Sumedang Larang merupakan penerus Kerajaan Sunda Pajajaran.

Pada waktu-waktu kemudian, terjadi berbagi peristiwa sejarah yang kemudian mempengaruhi kehidupan sosial budaya masyarakat Jawa Barat. Di Cirebon mulai masuk kekuasaan Eropa dan di daerah pedalaman masuk pengaruh Mataram Islam di Yogyakarta dan kemudian masuk juga pengaruh Eropa. Selain itu, masuk juga pengaruh asing lainnya, terutama Cina, yang cukup berperan penting. Dengan rentetan sejarah ini, kebudayaan di Jawa Barat juga mengalami dinamika yang tecermin dalam tinggalan budaya materinya.

Keraton dan Pendopo Kabupaten
Keraton merupakan tempat tinggal bagi raja dan keluarganya, sedangkan kabupaten merupakan tempat tinggal bupati dan keluarganya. Keraton dan Pendopo Kabupaten berada di pusat pemerintahan pada tingkatnya masing-masing. Keraton berada di kota pusat kerajaan dan Pendopo Kabupaten berada di kota pusat pemerintahan kabupaten. Kota-kota dari masa Islam tersebut mempunyai pola yang sama, yaitu bentuk tata kota yang berlaku pada masa Islam dalam kerangka kesejarahan di Indonesia. Secara umum, pada masa Islam bentuk tata kota terdiri dari kompon yang sama, yaitu adanya alun-alun, keraton atau pendopo kabupaten di sebelah selatan alun-alun (yang berfungsi sebagai pusat pemerintahan dan tempat tinggal raja beserta keluarganya dan beberapa pejabat tinggi kerajaan), masjid di sebelah barat alun-alun, dan pasar yang terletak di sebelah utara alun-alun, dan pemukiman. Bentuk atau susunan tata kota Islam dapat digambarkan sebagai berikut: Alun-alun berada di tengah kota dengan bangunan-bangunan penting di sekitarnya. Jalan-jalan lurus berpotongan membentuk bujur sangkar. Di sebelah barat alun-alun didirikan masjid. Di sebelah utara alun-alun dibangun pasar kota. Pemukiman penduduk ditempatkan menyebar di berbagai tempat (Wertheim, 1959: 147).

Beberapa tinggalan keraton dan pendopo di Jawa Barat adalah sebagai berikut:

Keraton Kanoman
Terletak di Kelurahan Lemah Wungkuk, Kecamatan Lemah Wungkuk, Kota Cirebon. Keraton Kanoman dibangun pada tahun 1675 pada masa pemerintahan Sultan Anom yang bergelar Sultan Anom Abet Makarini Badirin. Setelah beliau wafat, sebagai penggantinya adalah putranya yang bernama Sultan Anom Raja Mandurejo Kadirruddin.

Keraton Kanoman
Keraton Kanoman

Keraton Kanoman merupakan kompleks keraton yang berdenah empat persegi panjang, memanjang dari utara-selatan. Di dalam kompleks keraton ini terdapat beberapa bangunan sebagai pelengkap dan penunjang. Bangunan-bangunan tersebut adalah pancaniti, pancaratna, sitinggil, semiran, langgar dan dapur, singabrata, kaputren, kaputran, witana, pedalaman dan bangsal, pulantara, serta beberapa pintu gerbang antara lain pintu seblawong dan gapura kejaksan.

Pancaniti
Bangunan berdenah bujur sangkar adalah bangunan yang pertama akan kita temui bila memasuki kompleks keraton. Bangunan yang berada di sebelah utara kompleks keraton berdenah bujur sangkar, beratap limas, disangga oleh 12 tiang luar dan 4 saka guru. Bangunan ini berfungsi sebagai tempat prajurit menjaga istana, melatih prajurit dalam perang-perangan dan tempat tontonan.

Pancaratna
Bangunan yang ada di sebelah timur pancaniti atau sebelah utara sitinggil disangga oleh 12 tiang luar dan 4 saka guru. Fungsi bangunan ini ialah sebagai tempat untuk menghadap wedana keraton.

Sitinggil
Bangunan sitinggil berada di bagian depan sebelah timur kompleks keraton. Disebut sitinggil karena bangunan atau lokasi ini sengaja ditinggikan dari bangunan lain dalam kompleks. Untuk masuk ke dalam sitinggil terdapat tiga gapura berbentuk candi bentar. Di dalam sitinggil terdapat dua bangunan, yaitu mangundur/manguntur, berada di tengah sitinggil berdenah bujur sangkar dan beratap limas dengan hiasan memolo pada puncaknya. Bangunan ini berundak, dimana pada undakan pertama terdapat delapan tiang yang melebar ke atas kemudian melengkung setengah lingkaran, yang saling menghubungkan antara satu tiang dengan tiang lainnya. Undakan ini berfungsi sebagai tempat pembacaan doa oleh pembantu dan kerabat raja. Undakan ketiga merupakan tempat raja atau sultan menyaksikan gamelan di bangsal sekaten. Undakan ketiga ini disangga oleh empat saka guru.

Bangunan kedua adalah bangsal sekaten, berada di sebelah timur bangunan manguntur, berbentuk persegi panjang dan beratap joglo. Bangunan ini berundak dua, dimana pada undakan pertama disangga oleh sepuluh tiang sedangkan undakan kedua disangga oleh empat saka guru. Bangsal sekaten berfungsi sebagai tempat penabuh gamelan pada upacara sekatenan.

Di sebelah barat sitinggil terdapat sebuah gapura berbentuk paduraksa yang disebut pintu seblawong. Dinamakan seblawong karena di sebelah timur pintu ini terdapat jalan keluar masuk kompleks keraton, sedangkan pintu seblawong sendiri hanya dibuka pada saat upacara-upacara penting keraton, misalnya upacara 1 syawal.

Pintu Seblawong
Pintu Seblawong

Paseban
Bangunan berdenah persegi panjang yang merupakan bangunan terbuka dengan atap joglo disangga oleh 18 tiang, 8 tiang dalam, dan 8 saka guru. Fungsi bangunan sebagai tempat membuang takir dalam upacara sekatenan. Di sebelah selatan paseban terdapat pintu kejaksan berbentuk paduraksa, dan di sebelah baratnya terdapat pintu kecil sebagai pintu pembantu.

Semiran
Berupa bangunan semi terbuka, mengarah ke timur, berdenah persegi panjang, dan beratap joglo yang ditopang 4 saka guru. Semiran dulu dipergunakan sebagai tempat para seniman untuk menumpahkan buah pikiran dalam berkreasi. Semiran berasal dari kata semi yang berarti tumbuh, dan kata rang yang berarti buah pikiran. Sekarang bangunan ini dipakai sebagai tempat menerima tamu.

Pulantara
Bangunan berdenah persegi panjang, berlantai tiga dan menghadap ke selatan. Untuk masuk ke pulantara, harus melalui pintu witana atau gapura paduraksa yang terdapat di timur pedaleman. Bangunan yang terletak paling timur dalam kompleks keraton, pada muka lantai dasarnya disangga oleh enam tiang dari pasangan bata berplester.

Pendapa
Bangunan berdenah persegi panjang, berada di sebelah timur semiran atau di selatan sitinggil. Bangunan yang disangga oleh beberapa tiang ini berfungsi sebagai tempat pertemuan.

Mushollah
Bangunan mushollah berdenah empat persegi dan beratap limasan, terdiri atas bangunan induk dan teras. Bangunan utama disangga oleh empat saka guru. Di sebelah barat laut mushollah terdapat sebuah bangunan yang mirip gerbang paduraksa, berfungsi sebagai tempat lonceng. Dahulu lonceng ini dibunyikan sebagai penunjuk waktu.

Koleksi
Benda-benda kebesaran keraton disimpan di dalam sebuah bangunan yang berada di timur mushollah. Benda-benda tersebut antara lain adalah kereta kebesaran untuk raja yang dinamakan Paksi Naga Liman, kereta untuk permaisuri yang dinamakan Jempana, koleksi alat kesenian berupa seperangkat gamelan, meriam, tombak, perisai, dan lain-lain.

*Khasanah Budaya Jawa Barat, terbitan BPCB Serang