Asal Muasal
Meriam yang berukuran cukup besar ini tersimpan di halaman Museum Situs Kepurbakalaan Banten Lama. Ukuran panjangnya 341 cm, diameter bagian belakang 66 cm, diameter mulut atau moncong bagian luar 60 cm dan bagian dalam 32 cm. Adapun lebar bagian yang menonjol 1,15 m. Sedikit berbeda dengan K.C. Crucg, yang menyebutkan meriam Ki Amuk memiliki panjang 3,45 m, kalibernya 31 cm dan beratnya kira-kira 6 ton.
Terkait asal muasal meriam Ki Amuk, K.C. Crucq menyatakan bahwa jejak awal dari nama meriam Ki Amuk terdapat di satu peta kota Banten yang dibuat sebelum pertengahan abad ke-17. Pada peta tersebut tercatat meriam besar ‘t Desperant’, yang oleh Curcq dianggap sebagai terjemahan dari Ki Amuk. Sedangkan menurut Valentijn, Sultan Demak menghadiahkan satu meriam bernama Ki Jimat kepada Hasanuddin sewaktu menikah dengan putrinya. Tradisi lain menyebutkan pada tahun 1528-1529 (1450 Jawa) Sultan Trenggana menghadiahkan sepucuk meriam besar buatan Demak kepada penguasa baru di Banten sebagai tanda penghargaan atas hasil yang telah dicapai. Disebutkan pula meriam ini awalnya bernama Rara Banya, kemudian selalu disebut Ki Jimat.
Sebuah catatan lain yang disampaikan oleh Mendes Pinto mengatakan bahwa ketika terjadi perang antara Demak melawan Panarukan (Pasuruan), terdapat sejumlah meriam yang dibuat dengan dicor, termasuk salah satu yang berukuran besar bernama leÕes sebesar meriam Ki Amuk. Meriam-meriam tersebut dicor oleh orang-orang Turki dan Aceh yang dipimpin oleh seorang empu, seorang pembelot Portugis bernama Koja Zainal. Crucq selanjutnya berpendapat bahwa meriam yang di Banten kemungkinan dicor oleh Koja Zainal untuk kepentingan Sultan Demak karena memiliki kemiripan dengan meriam-meriam Portugis. Kemudian meriam diberikan Sultan Demak kepada Hasanuddin dan membawanya ke Banten dimana meriam itu menjadi meriam sultan yang sangat dihormati dengan nama Ki Jimat. Dengan dasar itu K.C.Crucq menghubungkan antara Ki Jimat sama dengan Ki Amuk dan diperkirakan tahunnya adalah 1450 Saka (1528/9 AD).
Namun argumentasi yang disampaikan oleh Crucq tersebut nampaknya belum sepenuhnya meyakinkan sebagian peneliti. Claude Guillot dan Ludvick Kalus (2008) dalam kajiannya mengenai inskripsi meriam Ki Amuk meragukan argumentasi Crucq yang menyatakan bahwa meriam ini dibuat di awal abad ke-16 dan peleburannya dilakukan di Jawa. Menurut Guillot dan Kalus, inskripsi-inskripsi, ukiran hiasan, dan gelang-gelang pengangkat memerlukan penguasaan teknik tinggi yang belum ditemukan oleh satu pun contoh di Nusantara pada waktu itu.
Perbedaan pandangan beberapa peneliti mengenai meriam Ki Amuk yang selalu dikaitkan dengan meriam Ki Jimat dalam masyarakat Banten terdapat pula beberapa pendapat mengenai asal usulnya. Ada empat daerah asal yang selalu disebutkan sebagai daerah asal meriam Ki Amuk yaitu Timur Tengah, Persia, Turki, dan Demak sebagai hadiah raja Banten pertama, Maulana Hasanuddin (Mahmud, 2005: 187). Meriam Ki Jimat dalam Babad Banten pupuh ke-44 menggambarkan bahwa meriam Ki Jimat ketika masa pemerintahan Sultan Abdulmafakhir Muhammad Abdul Kadir berada di perkampungan Candi Raras, dimana terdapat beberapa bangunan, dua diantaranya bernama Made Bobot dan Made Sirap. Di sebelah timur Made Bobot terdapat bangunan terbuka (mandapa), di dalam bangunan dipasang Meriam Ki Jimat, moncongnya terarah ke utara (Djajadiningrat, 1983:57). Demikian yang diketahui tentang meriam Ki Amuk yang dikaitkan dengan meriam Ki Jimat hingga saat ini.
Inskripsi
Satu hal yang menarik dari meriam Ki Amuk adalah adanya inskripsi berhuruf Arab pada tubuh meriam, tepatnya berada di bagian atas atau punggung meriam. Jumlah inskripsi yang terdapat pada meriam Ki Amuk sebanyak tiga yang tertulis dalam lingkaran medalion. Pembacaan inskripsi berhuruf Arab pada meriam Ki Amuk telah dibaca oleh beberapa ahli seperti K.C. Crucg, L.C. Damais, dan Claude Guillot bersama Ludvic Kalus. Hasil pembacaan inskrispsi itu oleh para ahli tersebut pembacaanya disempurnakan Asep Saefullah (2011).
Inskripsi pertama dalam medalion yang berukuran diameter 10 cm berada dekat dari moncong meriam. Di sini terdapat tulisan berhuruf Arab sebanyak dua baris. Baris atas tertulis aqibah al-khairi sala, di bawahnya tertulis mah al-imani. Jika kedua baris tulisan tersebut disambung terbaca aqibah al-khairi salamah al-iman yang artinya buah kebaikan adalah keselamatan iman.
Inskripsi kedua dalam medalion yang berukuran diameter 12 cm kedua berada di tengah-tengah tubuh meriam bagian atas atau punggung, atau diantara dua medalion. Di sini juga terdapat tulisan berhuruf Arab sebanyak dua baris. Baris pertama atau atas tertulis aqibah al-khairi, di bawahnya tertulis salamah al-imani. Sama seperti medalion yang pertama, jika disambung tulisan baris pertama dengan baris kedua akan terbaca aqibah al-khairi salamah al-imani yang artinya buah kebaikan adalah keselamatan iman.
Inskripsi ketiga dalam medalion yang berukuran diameter 13 cm berada di dekat lubang sumbu meriam atau bagian pangkal meriam. Dalam medalion ini terdapat empat baris tulisan berhuruf Arab. Baris pertama sampai baris ketiga tulisannya masih jelas terbaca, sedangkan tulisan baris yang keempat huruf-hurufnya pada bagian bawah tidak terlalu jelas. Namun melalui kajiannya Asep Saefullah telah menampilkan bacaan secara lengkap inskripsi ini yang sebelumnya belum pernah terbaca secara lengkap. Secara lengkap urutan baris tulisan inskripsi ketiga ini sebagai berikut: baris pertama terbaca la fata illa Ali la saifa illa, baris kedua terbaca zu al-faqar isbir ala, baris ketiga terbaca ahwaliha la mauta, dan baris keempat terbaca (illa) bi ajalin. Jika keempat baris tersebut disambung akan terbaca la fata illa Ali la saifa illa zu al-faqar isbir ala ahwaliha la mauta (illa) bi ajalin yang artinya tidak ada pemuda kecuali Ali, tidak ada pedang kecuali Zulfaqar, sabarlah atas huru-hara (cobaan peperangan), tidak ada kematian kecuali karena ajal.
Ornamen
Ornamen yang diterapkan pada meriam Ki Amuk terdiri dari inskripsi, ukiran hiasan dan gelang. Ornamen inskripsi telah disebutkan di atas, selanjutnya mengenai gelang dan ukiran hiasan akan diuraikan sebagai berikut.
Gelang yang terdapat pada meriam Ki Amuk dapat dilihat dari dua segi yaitu sebagai bagian dari meriam yang bersifat fungsional untuk mengangkat meriam ketika akan dipindahtempatkan dan sebagai ornamen yang melengkapi hiasan pada tubuh meriam. Sebagai ornamen ada cerita khusus tentang hal itu. Menurut cerita, meriam Ki Amuk awalnya memiliki bentuk yang hampir sama dengan bentuk meriam Ki Jagur, meriam yang kini berada di Museum Fatahillah Jakarta. Seperti meriam Ki Jagur pada bagian pangkalnya atau bagian belakangnya memiliki bentuk yaitu bentuk jari tangan yang mana ibu jari diselipkan di antara jari telunjuk dan jari tengah, bentuk ini umumnya disimbolkan sebagai bentuk senggama, demikian pula meriam Ki Amuk. Oleh karena bentuk seperti itu dianggap kurang etis bagi masyarakat di lingkungan Kesultanan Banten yang Islami, maka kemudian muncul cerita di masyarakat yang menyampaikan bahwa bagian belakang meriam Ki Amuk dipotong dan kemudian material potongan dilebur kembali menjadi bentuk gelang sebanyak lima pasang atau sejumlah sepuluh gelang. Pembuat gelang-gelang tersebut selanjutnya diceritakan dibuat oleh pande besi dari Pandeglang yang bernama Ki Buyut Papak, sekitar 30 km arah selatan Banten Lama.
Pemotongan simbol tersebut kemudian oleh anggapan sebagian masyarakat dilakukan untuk membedakan bahwa kedua meriam tersebut yaitu Ki Jagur dan Ki Amuk merupakan dua pasangan yang berlainan jenis. Ki Jagur yang berada di Kota Tua Jakarta selanjutnya disimbolkan sebagai meriam laki-laki, sedangkan Ki Amuk dengan ornamen gelangnya disimbolkan sebagai meriam perempuan pasangan Ki Jagur. Mengenai kebenaran cerita itu kiranya perlu kajian lebih lanjut.
Ornamen lain pada meriam Ki Amuk adalah ukiran hiasan yang dikenal dengan Surya Majapahit yang menghiasi bagian muka moncong meriam. Nama lain untuk menyebut hiasan ini dikenal pula dengan nama Sinar Majapahit, Surya Majapahit, Matahari Majapahit, dan Materai Majapahit. Hiasan Surya Majapahit pada meriam Ki Amuk berbentuk dasar seperti medali dengan sudut-sudutnya berjumlah delapan dengan garis-garis kecil yang mengelilinginya, sehingga menampakkan seperti matahari yang sedang bersinar.
Hiasan sinar semacam ini sejak lama sudah ada seperti pada hiasan sinar yang memancar mengelilingi tubuh atau kepala seseorang yang dianggap suci atau dewa. Hiasan lingkaran sinar matahari yang membulat mengelilingi kepala seorang yang dianggap suci disebut nimbus. Sedangkan hiasan yang mengelilingi seluruh tubuh dinamakan aureole. Hiasan seperti ini pada abad ke-4 Sebelum Masehi terlihat pada gambar-gambar pada jambangan bunga dari Apulia dan lukisan dinding di Pompeii. Pada abad pertama Sebelum Masehi dijumpai pada karya seni di India dan Parsi.
Kesinambungan pemakaian hiasan Surya Majapahit pada masa berkembangnya Islam di tanah Jawa, menunujukkan bahwa ada pengakuan akan regalia Majapahit, meskipun dalam pemaknaannya kemungkinan memiliki makna yang berbeda-beda, seperti sebagai lambang supranatural, kesaktian atau merupakan magic religious dari seorang tokoh sentral.
Demikian pula hiasan Surya Majapahit pada meriam Ki Amuk sebagai senjata tentu tidak sekedar sebagai hiasan belaka. Jika hiasan itu merupakan bagian dari kesinambungan budaya dari masa sebelumnya tentu hiasan itu memiliki makna tertentu dan juga menunjukkan pula pengakuan atas regalia masa sebelumnya, masa Majapahit. Sebagai senjata, hiasan Surya Majapahit pada meriam Ki Amuk yang paling memungkinkan dalam pemaknaannya adalah memiliki makna kesaktian atau kekuatan yang melebihi dari kekuatan meriam pada umumnya.
Hiasan yang menunjukkan adanya kesinambungan penerapan hiasan dari masa sebelumnya pada meriam Ki Amuk juga dapat dilihat dari adanya hiasan tumpal. Hiasan atau motif tumpal memiliki bentuk dasar bidang segitiga, bidang-bidang segitiga itu biasanya membentuk pola berderet, yang biasa digunakan sebagai ornamen tepi. Motif tumpal umum dijumpai pada batik, terutama batik pesisir yang banyak mendapat pengaruh Cina. Pada berbagai variasi motif tumpal yang berbentuk dasar segitiga sama kaki diisi oleh aneka motif tumbuh-tumbuhan, bahkan dapat pula terisi bentuk-bentuk pengayaan dari lidah api. Di beberapa daerah motif berbentuk dasar segi tiga ini disebut motif pucuk rebung.
Hiasan tumpal telah ditemukan ditemukan pada nekara, moko, bejana perunggu yang merupakan peninggalan prasejarah. Pada masa Hindu-Budha hiasan tumpal sangat umum dijumpai pada bangunan-bangunan candi.
Pada bahu meriam terdapat hiasan menyerupai lima gunung dengan posisi empat yang menyerupai gunung mengelilingi satu yang ditengah, Lombard mengamati hiasan ini dan menyebutkan bahwa yang menyerupai gunung tersebut mengingatkan motif gunung kosmis.
Di Nusantara beberapa meriam seperti Ki Amuk juga diperlakukan sebagai medium ritual, meriam-meriam antara lain meriam Ki Jagur di Museum Fatahillah Jakarta, meriam Polong yang tersimpan di bekas Benteng Somba Opu, Gowa, Sulawesi Selatan, meriam Buntung di Istana Maimun, Medan, Sumatra Utara, meriam Nyi Setomi di Keraton Solo, Surakarta, Jawa Tengah, meriam Laki Bini di Desa Sembuluh, Kec. Danau Sembuluh, Kab. Seruyan, Kalimantan Tengah, meriam Padam Pelita di Kerajaan Matan Tanjungpura, Kab. Ketapang, Kalimantan Barat, meriam Sibenua di Kerajaan Bulungan, Kalimantan Timur, dan lain-lain.
Untuk melihat meriam Ki Amuk dalam bentuk 3 dimensi, bisa klik di sini