You are currently viewing Alat Pemeras Tebu di Museum Situs Kepurbakalaan Banten Lama
Kilang, alat pemeras tebu

Alat Pemeras Tebu di Museum Situs Kepurbakalaan Banten Lama

Gula merupakan salah satu hasil produksi dari tanaman tebu di masa Kesultanan Banten pada abad ke-17 sampai abad ke-18. Produksi gula masa itu dikelola oleh orang-orang Cina di daerah Pecinan, Kelapadua, hasilnya dijual ke Batavia untuk selanjutnya diekspor ke Cina dan Jepang. Alat produksi gula pada masa itu menggunakan batu penggilingan. Masyarakat Banten tempo dulu menyebutnya kilang yang digerakkan oleh hewan sapi.

Alat pemeras tebu koleksi Museum Situs Kepurbakalaan Banten Lama (MSKBL) terbuat dari bahan batuan granit, yakni sejenis batuan beku yang memiliki warna cerah, butirannya kasar sehingga dapat dilihat dengan jelas dan mempunyai kepadatan yang keras sehingga mampu menahan beban yang berat dan tahan terhadap pelapukan. Terdapat tiga batu silindris, memiliki gerigi yang dipahatkan pada salah satu bagian ujung atau tepian mengelilingi lingkaran batu. Satu di antara ketiga buah batu berukuran tinggi 65 centimeter, garis tengah 71 centimeter. Gerigi berjumlah 13 buah, dipahatkan mengelilingi lingkaran batu pada salah satu ujung atau sisi tepi batu. Di atas deretan pahatan gerigi terdapat sebuah lubang dengan garis tengah 6 centimeter yang tembus ke dua sisi batu. Sebuah lubang berbentuk segi delapan dengan kedalaman 18 centimeter terdapat di bagian tengah salah satu permukaan batu. Selain tiga batu silindris bergerigi tersebut terdapat pula batu-batu lainnya, berbentuk bulat namun lebih rendah dan lebar (Tim penelitian Arkenas 2004: 18 dalam Inagurasi 2010:30). Batu-batu tersebut ditemukan di wilayah kawasan Banten Lama tepatnya di Kampung Pamarican dalam keadaan sudah tidak berfungsi dan ada beberapa batu yang sudah dalam keadaan pecah. Batu-batu tersebut terdiri dari berbagai macam bentuk dan ukuran ada yang berbentuk silindris, bulat dan balok. Sekarang batu-batu ini di tempatkan disebuah cungkup di halaman museum dan menjadi salah satu koleksi outdoor MSKBL.

Keberadaan batu ini diduga erat berkaitan dengan teknologi pembuatan gula berbahan baku tebu pada masa Kesultanan Banten, sekitar abad ke-17 hingga abad ke-18. Hasil  penelitian yang dilakukan oleh Inagurasi (2010) menguatkan dugaan tersebut dengan membandingkan batu silindris koleksi MSKBL dengan batuan silindris yang ada di Tangerang dan Koleksi Museum Gula Jawa Tengah. Hasil penelitiannya adalah adanya kemiripan dari bentuknya yang spesifik yakni bulat  silinder, mempunyai  gigi (gear), mempunyai lubang-lubang, dan memiliki batu pasangan dengan bentuk serupa, maka sepasang batu silinder tersebut dapat digerakkan atau berputar. Batu-batu tersebut setelah direkonstruksi maka dapat diketahui kegunaannya yakni batu-batu tersebut digunakan untuk menggiling atau memeras tebu guna di ambil airnya sebagai bahan baku pembuatan gula. Atas asumsi tersebut dengan demikian dapat dipastikan bahwa batu silindris yang menjadi koleksi MSKBL, dulunya adalah alat sederhana untuk memeras tebu guna memperoleh nira atau cairan tebu sampai menjadi gula.

Tanaman tebu (Saccharum officinarum), merupakan tanaman penting bagi manusia karena menjadi salah satu bahan baku untuk pembuatan gula. Gula yang dihasilkan dari tebu digunakan sebagai bahan pemanis pada minuman dan makanan. Sehubungan dengan pentingnya tanaman tebu, maka manusia menciptakan benda atau alat untuk menghasilkan gula tebu. Usaha budidaya tebu sebagai bahan baku pemanis makanan dan minuman telah dilakukan manusia sejak masa lampau dari zaman ke zaman. Kilang, merupakan sebuah jenis minuman dari tebu yang telah dikenal pada masa pemerintahan Raja Balitung abad ke-9 Masehi dan Majapahit abad ke-14 Masehi (Inagurasi, 2010: 27-28).

Usaha budidaya tebu sebagai bahan baku gula juga dilakukan pada masa Kesultanan Banten, tercatat sekitar abad ke- 16 sampai ke-18 Masehi budidaya tanaman tebu semakin dikenal luas di Banten. Kota Banten merupakan kota penting di pesisir utara Jawa belahan barat yang tumbuh sejak abad ke-16 dan ke-17 Masehi. Kota Banten merupakan pusat Kesultanan Banten, berada di sekitar Benteng Surosowan yang saat ini dikenal dengan nama Banten Lama. Daerah penghasil tebu pada masa Kesultanan Banten teridentifikasi dari dokumen sejaman dengan menyebut nama daerah Clappadoa atau yang dikenal sekarang sebagai nama Kelapadua (sekitar 9 kilometer dari Banten Lama).

Nama Kelapadua, menurut Claude Guillot, disebut dalam catatan Eropa, seperti Inggris, Denmark, dan Belanda. Daerah ini memiliki peran ekonomi perdagangan di masa Kesultanan Islam Banten. Catatan arsip kompeni Inggris untuk Hindia Timur yang disimpan di India Office London menuliskan terjadi perdagangan antara Inggris dan orang Tionghoa di Kelapadua pada 1635. Pada tahun itu, disebutkan juga bahwa raja, atau Pangeran Ratu, Sultan Abulmafakir tinggal disekitar Kelapadua untuk beberapa waktu. Tercatat juga bahwa para pedagang dari loji Inggris di Banten pergi ke Kelapadua untuk membeli sebanyak mungkin gula yang dapat dimuat di kapal mereka.

Dari arsip kontrak perdagangan antara kepala loji yang berasal dari Inggris dan orang-orang Tionghoa Pada tahun  1638 dan 1640, yang berada langsung di bawah pengawasan sultan, mengindikasikan betapa besarnya produksi gula di daerah Kelapadua ini. Kontrak pertama yang ditandatangani pada bulan februari 1638, menyatakan bahwa delapan penghasil dan enam keluarga setuju untuk menjual seluruh produksi mereka selama tiga tahun kepada kepala loji Inggris. Pada kontrak kedua, bertanggal 26 Agustus 1640 dan melibatkan orang-orang yang sama, terdapat informasi yang menarik mengenai hubungan antara para pengusaha Tonghoa dan Sultan. Disebutkan dalam kontrak tersebut bahwa kepala loji Inggris tidak berkeberatan jika orang-orang Tionghoa tersebut menyediakan satu, dua kati gula atau lebih (1 kati= 0,62 kg)  kepada Sultan untuk konsumsi pribadi (Guillot, 2008:133-134).

Berdasarkan kedua dokumen kontrak tersebut didapatkan informasi bahwa orang Tionghoa yang tinggal di Kelapadua, menanam tebu di areal yang cukup luas, karena dari kontrak pertama saja menyatakan bahwa kepala loji Inggris akan membeli setiap keluarga 100.000 batang tebu setiap tahunnya. Gulliot mencatat bahwa dari 100.000 batang tebu tersebut akan menghasilkan 450 pikul (sekitar 2,8 ton) gula putih, berdasarkan perhitungan tersebut, jumlah keselurahan produksi gula yang dihasilkan dari  Kelapadua mencapai angka 17 ton. Jumlah yang sangat besar mengingat pada masa itu produksi gula hanya menggunakan penggilingan sederhana yang digerakan oleh hewan (sapi/kerbau) bukan secara mekanik. Berdasarkan hal tersebut bisa dipastikan bahwa penghasil gula pada masa Kesultanan Banten berada di daerah Kelapadua (9 kilometer Kawasan Banten Lama). Daerah ini merupakan sebuah pusat perkebunan tebu dan juga tempat penggilingan tebu sampai menjadi gula putih yang berkualitas.

Ilustrasi Alat Penggilingan Tebu Tradisonal “Kilangan”
(Sumber: Erman . 1998 dalam Inagurasi 2010:25)

Semenjak itu, gula menjadi komoditas perdagangan penting selain lada di Banten, tertera dalam sketsa pasar Banten sekitar abad ke-17 yang memperlihatkan ragam penjual, diantaranya berjualan hasil pembudidayaan pertanian gula. Sebagaimana disebutkan  oleh Untoro, bahwa saat harga lada menurun dan sewaktu kesultanan diblokade Belanda maka Sultan memerintahkan para petani untuk menanam tebu. Tebu yang selanjutnya diolah menjadi gula banyak dibutuhkan oleh orang-orang Inggris yang tinggal di Banten. Pengolahan tebu banyak diusahakan pula oleh orang Cina yang bertempat tinggal di Banten, bahkan ketika hasil lada berkurang, gula tebu ini dijual sebagai barang ekspor ke Cina (Kathirithamby 1990, dalam Untoro, 2007: 144).

Pada masa pemerintahan Sultan Muhammad Aliuddin, VOC pun mengembangkan pembudidayaan tebu di Banten sebagai komoditas perdagangan baru yang dianggap memiliki prospek cerah bagi perekonomian Belanda. Dari pembudidayaan tebu ini, VOC mendapatkan gula yang sangat laku di pasar perdagangan Eropa. Dalam kebutuhan tenaga kerja, para pemilik pembudidayaan dan pabrik penggilingan tebu, menggunakan tenaga kerja wajib yang diberikan oleh penguasa lokal. Pada awal abad ke-17, penggunaan tenaga kerja wajib dilakukan dengan memanfaatkan budak-budak belian dan orang-orang Cina. Rata-rata pekerja wajib yang mengolah pembudidayaan tebu mencapai jumlah 70-80 orang yang diawasi oleh sekitar 5-6 orang Cina (Lubis, 2004: 79-81).

 

 

Daftar Pustaka:

Guillot, Claude.2008. Banten: Sejarah dan Peradaban Abad X-XVII. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.

Inagurasi, Libra Hari. 2010. Pabrik Gula Cepiring, Kendal Jawa Tengah Tahun 1835-1930, Sebuah Studi Arkeologi Industri. Tesis. Program Pasca Sarjana, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia, Depok.

_______. 2015. Batu Silindris Dan Budidaya Tebu Di Banten, Batavia, Dan Sekitarnya Pada Abad Ke 17-18. Dalam Jurnal Naditira Widya Vol. 9 No. 1 April 2015 hal. 27-38. Banjarmasin: Balai Arkeologi Banjarmasin.

Lubis, Nina H. 2004. Banten Dalam Pergumulan Sejarah :Sultan, Ulama, Jawara.Jakarta: Pustaka LP3ES Indonesia.

Untoro, Heriyanti Ongkodharma. 2007. Kapitalisme Pribumi Awal Kesultanan Banten 1522—1684, Kajian Arkeologi Ekonomi. Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia.

 

*Ditulis oleh Yanuar Mandiri