MENGGALI KEARIFAN LOKAL, MENGHADAPI TANTANGAN GLOBAL: Kasus Kota Banten

Prolog

Sebelum era industri, beberapa kota di pesisir utara Banten masih dipandang rural, dan betapa suatu komunitas harus pula dipandang lamban dalam beradaptasi dengan perubahan rejim ekonomi politik yang terjadi di sekelilingnya. Namun perlu dikritisi bahwa ukuran sebuah masyarakat rural atau urban bukan semata ditentukan oleh besaran ruang dan bentuk, tetapi yang lebih esensial adalah fungsi ruang dalam konteks historis regional. Dari perspektif ini, sesungguhnya tradisi kota di Banten telah muncul jauh sebelum era kolonial, bahkan mungkin terjadi sebelum era kesultanan.

Penelitian arkeologi di situs Banten Girang (Guillot, 1994) telah memberi bukti konkrit struktur kota sebagai pusat pemerintahan pra-Islam. Sejumlah besar artefak ‘mewah’ dari negeri Cina sedini abad X, menunjukkan jejak awal perdagangan lintas benua, di mana penduduk Banten telah melakukan hubungan intensif dengan masyarakat di luar lingkar budayanya. Jika elemen eksternal harus dianggap sebagai unsur dominan dalam modernitas Banten, sesungguhnya Banten telah lama, bahkan berkali-kali mengalami era ‘globalisasi’. Berbagai jejak arkeologis membuktikan penduduk Banten telah memiliki local genius, sehingga mampu menunjukkan kapasitas adaptasi yang dibutuhkan dalam aspek-aspek kehidupan tertentu.

Oleh karena itu, mengkaji warisan budaya (arkeologi, sejarah dan etnografi) bukan saja karena korelasi yang kuat dengan entitas geopolitik Banten, tetapi yang lebih penting adalah karena entitas budaya Banten mengandung nilai-nilai kearifan, tempat kita menemukan kembali jatidiri dalam kerangka membangkitkan self-awareness. Kepentingannya terletak pada proposisi bahwa jauh sebelum modernisasi Barat menapak di bumi Banten sejak awal abad XIX, orang Banten telah mengalami dan sekaligus melewati berbagai perubahan global dalam tradisi budaya sendiri.

Dengan demikian, mengkaji masa lampau Banten merupakan keniscayaan ketika kita menghadapi gempuran global dengan segala eksersis geopolitik dan ekonomi, yang konon membawa nilai-nilai universal, tetapi faktanya universalisme itu hanya ‘pembaratan’ entitas lokal. Maka, mengungkapkan elemen kearifan lokal adalah suatu upaya memahami apakah masyarakat Banten telah melakukan pembaharuan sendiri pada setiap periode sejarah, lalu mempertanyakan apakah cermin sejarah itu memantulkan berbagai local genius (gagasan, perilaku dan karya) yang bernilai positif dalam menghadapi berbagai tantangan global.

Kearifan lokal dalam konteks global

Dari beberapa fakta dan gejala masa lalu, seperti juga pernah diformulasikan Christian Pelras untuk masyarakat Bugis melalui pendekatan antropologi-sejarah (The Bugis, 1998), elemen-elemen modernitas itu tampak pada episode perkembangan masyarakat Banten. Secara tentatif, sekurang-kurangnya ada tujuh elemen yang dapat digali dari seluruh fase arkeo-historis Banten.

1) Pemikiran rasional

Jika ilmu pengetahuan merupakan unsur yang bisa menjadi tolok ukur kemajuan peradaban sebuah bangsa, maka itu bisa dilihat dari teori transisional penjamanan prasejarah dan sejarah sebagai masa peralihan dari ‘jahiliyah’ menuju ‘pencerahan’. Dalam peralihan zaman itu, pengenalan tulisan menjadi indikator utama pemikiran rasional, di mana pengetahuan dapat ditransfer melalui simbol-simbol bunyi yang terstruktur.

Kelahiran para cendekiawan di masa lalu terutama dimulai dari semangat kepujanggaan, sebagai hasil dari penguasaan teks dan sastra suci Indic civilization. Budaya literasi pertama di Banten diberikan oleh pengenalan bahasa Sanskerta. Prasasti Raja Purnawarman di Cidanghyang (Munjul, Pandeglang) menjadi bukti luasnya penggunaan bahasa itu di luar pusat kekuasaan (Bekasi – Karawang). Kendati belum jelas tingkat absorpsinya di Banten, tetapi memberi kemungkinan adanya kepatuhan pada dominasi Tarumanegara melalui media prasasti itu. Sejak itu ada kekosongan peristiwa dalam sejarah Banten hingga awal masuknya Islam.

Kendati amat sangat terlambat, Banten baru benar-benar memasuki jaman ‘tulisan’ itu setelah difusi kebudayaan Islam melalui aksara Arab yang belakangan dibumikan menjadi Jawi atau Pegon (bahasa lokal menggunakan tulisan Arab). Pengetahuan aksara Arab itulah yang telah membuat masyarakat Banten terbuka untuk mempelajari ilmu dan berbagai kemajuan yang dicapai bangsa lain, dan kemudian mentransmisikan pengetahuan itu dalam bahasa Melayu, Jawa dan Sunda dari generasi ke generasi sebelum dikenalnya alphabet Latin.

2) Keluasan komunikasi

Sejak abad X sekurang-kurangnya, Banten telah melakukan hubungan dengan negeri India dan Cina yang kemudian lebih intensif dengan dunia Timur Tengah. Jauh sebelum kedatangan orang Portugis, para pelaut India dan Cina telah menyinggahi perairan Banten, dan memasukkan daerah ini ke dalam mata rantai perjalanan niaga timur jauh. Peta Laut Shun Feng Hsiang Shung (1500) telah menempatkan Banten sebagai salah satu pelabuhan penting di Asia Tenggara. Maka sedini awal abad X hingga memasuki abad XV, masuknya Banten ke dalam jaringan maritim lintas benua itu memungkinkan terjadinya difusi budaya.

Dengan dukungan teknologi ekonomi dan sistem pemerintahan sebelum dan semasa kesultanan, rejim baru yang menguatkan otoritas di delta Cibanten, masyarakat Banten kemudian meninggalkan era ‘ketertutupan’ untuk terus ‘terbuka’ terhadap elemen-elemen budaya asing yang mengharuskannya menjadi bagian dari warga dunia. Dengan semangat itu, maka berbagai sistem kemasyarakatan pun secara gradual mengalami transformasi, baik dalam pola pikir, gaya hidup maupun dalam proses interaksi antar-budaya, terutama dalam ekonomi politik. Dua pelabuhan (Pabean sebagai emperium dan Karangantu) yang mengapit pusat kota menjadi sayap yang membuka lebar perjalanan ke berbagai tujuan dimana pusat peradaban dunia: Barat dan Timur menjadi benchmark yang referensial.

3) Peningkatan Produktivitas

Paruh kedua abad XX, Indonesia mengalami oil boom, yang memicu pertumbuhan ekonomi luar biasa dan berdampak langsung pada perubahan sosial dan tentu saja life style. Dalam sejarah ekonomi, Banten pernah mengalami pepper boom, yang membawa perubahan radikal dalam sistem ekonomi perdagangan di Asia Tenggara, karena substitusi sumber ekonomi dari yang berbasis hasil hutan (mencari-mengumpul) ke hasil kebun (budidaya).

Faktor demand dalam perdagangan rempah internasional telah menggantikan popularitas silk route dengan tantangan ekonomi baru, yakni spice route antara Dunia Barat dan Timur. Reorientasi ekonomi itu dipicu oleh peningkatan konsumsi yang berselera dari rejim feodal Eropa menjelang era industri. Permintaan pasar dunia telah membangkitkan gairah supply di sektor hulu dengan mengadopsi teknologi pertanian (budidaya) lada atau merica, dari hanya sekadar rempah tradisional, menjadi salah satu produk eksotik dan bernilai tinggi dalam agribisnis internasional.

Saat itu Banten menjadi negeri pengekspor utama lada hitam. Fenomena sejarah ini harus dipandang sebagai bukti adanya transformasi dalam aspek ekonomi, dari self-sufficiency ke exchange-oriented. Kompleksitas ekonomi-kebun ini membawa implikasi pada sistem ekonomi uang, terutama setelah dikenalnya teknik penanaman lada (round pepper) sekurang-kurangnya sejak abad X. Produk itu terbukti telah membawa perubahan politik dan sosial yang luas, dimana otoritas Banten terpaksa harus melakukan ekspansi lahan perkebunan ke daerah Lampung dan Bengkulu, dan sistem pertukaran harus ditentukan oleh size and price. Pada gilirannya, otoritas lokal memastikan perlunya moneterisasi perdagangan dengan menetapkan mata uang yang berlaku resmi di Banten (ada indikasi percobaan untuk pasar Eropa?).

Prinsip ekonomi uang itu berkorelasi kuat dengan modernisasi perdagangan yang telah lama dikenal di dunia Barat dan Timur (Timur Tengah, Asia Selatan dan Asia Timur), yang pada akhirnya memberi jalan bagi partisipasi masyarakat Banten dalam kegiatan transaksi ekonomi internasional.

4) Spesialisasi keahlian

Data arkeologi dari situs Banten Girang dan terutama Banten Lama merefleksikan sebuah masyarakat urban pernah terbangun antara abad X dan XVII sebelum berdirinya kota kolonial di Banten Baru (Serang sekarang!) di bawah otoritas seorang Residen. Kota Banten telah menyisakan banyak toponim yang mengacu pada tempat-tempat yang mengindikasikan jenis pekerjaan penduduk. Banyak pula artefak yang menunjukkan sisa-sisa kegiatan pertukangan, seperti metalurgi (keranggen), kerajinan tanah liat bakar (panjunan), perdagangan merica (pamarican) dan lainnya.

Di bidang lain, ada kelompok masyarakat yang mengkhususkan keahlian di bidang pendidikan dan pengajaran (kepakihan, kasunyatan), keprajuritan (kasatryan) dan yang paling menonjol adalah pusat distribusi Pabean, yang sangat melekat dengan fungsi kesyahbandaran (douane). Elemen modernitas jenis ini pastilah mengacu pada jenis-jenis pekerjaan tertentu yang memerlukan keahlian khusus dalam kapasitas individual ataupun mandat dari pemegang otoritas politik.

Keahlian itu menjadi ukuran pencapaian sebuah masyarakat yang mengutamakan profesionalisme dalam tatanan urban society. Sejumlah toponim typique itu dapat diinterpretasikan bahwa struktur kota Banten dibentuk oleh banyak klaster spesifik, yaitu administrasi pemerintahan, daerah sumberdaya, pusat produksi dan distribusi serta pemukiman kelompok etnik-ras dan profesi yang dihubungkan dengan sistem komunikasi darat dan sungai dalam keseluruhan jaringan kota. Dalam tradisi kota di Asia Tenggara, struktur ruang ini memberi ciri metropole pada rancang bangun kota Banten.

5. Keterbukaan kultural

Sejak berdirinya kesultanan, Banten merepresentasikan diri sebagai city-state (negara-kota) yang berorientasi pada perdagangan internasional. Kota Banten dengan penduduk heterogen menjadi potpourie ethnique atau ‘wadah pelebur’ kelompok pembawa identitas budaya dari berbagai peradaban besar. Interaksi antar-etnik bahkan antar-ras mengharuskan tumbuhnya ‘budaya terbuka’ bagi berbagai kemajuan, juga perkembangan kebudayaan.

Karakter open culture itu, misalnya tampak pada penggunaan bahasa. Bahasa Melayu memang telah lama menjadi lingua-franca di Nusantara termasuk juga di Banten. Tetapi karena ikatan budaya yang kuat dengan pusat-pusat kekuasaan pesisir utara Jawa, Banten kemudian menjadi pewaris jauh dari bahasa Jawa pesisiran. Selain bahasa Sunda sebagai bahasa ibu pada awalnya, di pusat kota Banten, bahasa Melayu dan Jawa telah menjadi bahasa umum baik dalam domain pemerintahan maupun ranah kehidupan sosial, agama dan ekonomi perdagangan.

Namun harus dicatat, banyak penduduk kota Banten juga menguasai aksara dan bahasa asing, terutama Arab. Hal ini bisa dilihat dari berbagai karya keagamaan hasil pemikiran orang Banten yang dipusatkan di Kasunyatan. Belakangan lebih kuat lagi pada figur Syekh Nawawi al-Bantani, Syekh Abdul Karim Tanara, dan Kiai Asnawi di luar pusat kota Banten. Bahkan, aksara Arab juga digunakan secara resmi dalam pemerintahan, sebelum dikombinasikan dengan aksara Jawa dan Latin pada periode kolonial. Dengan demikian, penguasaan bahasa-bahasa yang umum pada masa itu, menjadikan Banten mampu mendobrak kebekuan hubungan antar-etnik dan antar-ras sekaligus membuat kebudayaan dapat berkembang dalam dinamika kontemporenitas yang diperlukan.

Di lain sisi, berbagai ujud kebudayaan menampakkan heterogenitasnya, baik dalam aspek arsitektur, susastra, seni pertunjukkan, seni kriya dan juga busana. Demikian lama proses difusi budaya itu sehingga menyulitkan kita untuk menemukan kembali ujud asli dari kebudayaan itu serta bagaimana proses transformasinya dari satu periode ke periode lain. Sebuah generalisasi mungkin perlu diajukan sebagai hipotesis bahwa kebudayaan Banten merupakan hasil perpaduan berbagai unsur lokal dan asing yang telah terbina dalam proses waktu cukup panjang.

6) Hubungan kekerabatan

Elemen kearifan lokal lain perlu dilihat dari sudut pandang antropologi sosial, berkenaan dengan transformasi dalam ‘hubungan kekerabatan’. Ketika feodalisme berlaku fungsi politik dan ekonomi tidak terlalu penting dalam kehidupan keraton. Gelar warisan (hight birth) pun memainkan peran dominan dalam hubungan sosial penduduk kota. Namun, dalam interaksi sosial yang lebih luas (terutama pada lingkar extra-muros), kapasitas profesional menjadi lebih penting, karena kewibawaan personal tidak semata-mata dibentuk oleh keterkaitan pada faktor keturunan, tetapi prestasi seseorang dalam fungsi sosial tertentu menjadi pilihan.

Banyak fakta menunjukkan bahwa tidak semua ‘pangeran’ bisa menduduki status tinggi dalam kerajaan, tetapi hanya mereka yang dipandang cakap dalam keahlian tertentu. Oleh karena itu ‘penduduk biasa’ pun, bahkan orang asing ‘keturunan’ Tamil, Arab atau Cina sekalipun, bisa mencapai status tinggi, karena mampu menunjukkan keahlian dan pengabdian pada negara. Maka gelar ‘pangeran’ dalam tradisi kesultanan Banten bukan semata diperoleh karena hubungan darah, tetapi juga status dan kedudukan seseorang dalam fungsi sosial tertentu.

Sebagai contoh misalnya Kiai Dukuh (seorang Arab?), guru agama yang memberikan pengajaran agama kepada Maulana Muhammad, mendapat gelar kehormatan: ‘Pangeran Kasunyatan’. Demikian pula Syahbandar Kaytsu (seorang Cina) yang digelari Kiai Ngabehi telah mendapat penghormatan besar untuk dimakamkan di kompleks pekuburan kesultanan Banten (nekropolis) di samping Masjid Agung. Di sinilah Banten mengalami apa yang disebut transformasi dalam hubungan kekerabatan, yang memberi karakter pada masyarakat modern. Dan tepat jika Banten juga bersifat kosmopolitan ketika bandar itu banyak didiami pedagang mancanegara.

7. Keutamaan individual

Dan aspek kearifan lokal ketujuh, bersumber dari fakta bahwa masyarakat Banten pernah mengalami era kejayaan di bawah pemerintahan Sultan Abdul Qadir dan Sultan Ageng Tirtayasa. Lazimnya, dalam sistem feodal, keutamaan individual sangat ditentukan oleh trend-setters pemegang otoritas warisan (para sentana). Namun eksistensi setiap warga tetap berada dalam pranata sosial yang berlaku umum pada masanya. Demikian pula, tanggung jawab menjadi bersifat pribadi dan tidak ditanggung oleh kelompok besar seperti halnya ditemukan pada masyarakat komunal (communal society) dengan ritual purification (‘bersih desa’).

Dalam sejarah Banten dikenal adanya acuan hukum dalam penyelenggaraan pemerintahan, terutama berdasarkan syariat Islam dan tradisi turun-temurun di bawah pimpinan seorang Qadi (Pakih Najamuddin?). Setiap orang mempunyai kedudukan sama dalam hukum negara seperti tertuang dalam “Undang-Undang Banten” dengan berbagai sanksi hukum baik perdata maupun pidana (Perlu baca disertasi Ayang Utrisa di EHESS Paris tentang Undang-Undang Banten dari pendekatan filologi).

Banyak kasus menunjukkan bahwa beberapa keluarga dekat raja juga tidak luput mendapat sanksi hukum karena tindakannya yang merugikan negara. Tetapi, disamping sanksi hukum juga ada pemberian reward terhadap penduduk Banten. Beberapa orang biasa, karena prestasinya dalam menghasilkan karya-karya yang bersifat individual, baik dalam karya keagamaan, kesusastraan, arsitektur maupun perdagangan dan juga dalam politik pemerintahan, telah diberikan mandat memegang jabatan penting. Sebaliknya, Pangeran Kidul (adik Sultan Ageng) terpaksa harus dilengserkan dari jabatannya, karena tidak cakap menjalankan tugas kesyahbandaran sepeninggal Kaytsu (Rantoandro, 1999). Dalam struktur jabatan birokrasi modern, gejala ini merupakan indikasi dari konsep pemerintahan legal-rasional.

Epilog

Dari ketujuh elemen modernitas itu beberapa terbukti telah menjadi faktor yang amat penting dalam menghadapi dominasi budaya asing setelah jatuhnya kesultanan di bawah tekanan VOC dan kemudian lebih tegas lagi pada era kolonial. Sayangnya, elemen-elemen local genius itu sekarang hampir membeku, bahkan nyaris terlupakan. Ibarat sebuah permata, ia adalah intan yang perlu diasah kembali jika kita ingin melihat kualitasnya. Di sini, kearifan lokal Banten harus terus ditemu-kenali dan dikaji ulang dalam konteks global.

Sampai hari ini, belum ada kajian yang mendalam tentang aspek-aspek local wisdom dalam sejarah dan tradisi Banten. Banyak sumber informasi (tangible dan intangible) bisa dieksplorasi untuk berbagai pendekatan yang multidimensional dan interdisipliner, banyak pula kesaksian-kesaksian material seperti manuskrip, karya arsitektural, dan artefaktual belum menjadi sumber acuan yang komprehensif.

Lagi pula, Undang-Undang RI Nomor 10 Tahun 2011 tentang Cagar Budaya telah ditetapkan dengan paradigma baru, yang meniscayakan perlunya partisipasi masyarakat dalam pelestarian cagar budaya. Lantas bagaimana orang Banten dapat mengenal sejarahnya, bagaimana orang Banten dapat membangun kesadaran untuk menemukan jati diri, dan terakhir bagaimana kita bisa mentransfer semangat kebudayaan Banten dari generasi ke generasi; menghadapi berbagai tantangan global: geopolitik, teknologi-ekonomi, sosial budaya? Semua pertanyaan itu mestinya menjadi bahan renungan kita ke depan. Di sini kita memerlukan analisis antropologi budaya untuk mengungkapkan dasar-dasar local genius ataupun local wisdom and technology pada entitas budaya dari keseluruhan fase sejarah Banten.

Dari sinopsis masa lalu kota Banten, tampaklah bahwa unsur-unsur budaya lokal terbentuk sebagai hasil proses sejarah yang panjang. Jika elemen modernitas itu dipandang sebagai sintesis dari kearifan lokal yang mendapat sentuhan budaya luar, tugas kita sekarang adalah bagaimana menemukan akarnya. Bagaimanapun ujud dari entitas budaya lokal itu, sumber utamanya berasal dari masa lalu, kendati era global telah melanda hampir seluruh pelosok Banten, namun masa lalu selalu dipandang sebagai a living component of present-day life; komponen hidup yang tidak bisa dikesampingkan begitu saja dari kehidupan kontemporer.

Ketika sekarang, kita dihadapkan pada pertanyaan, mengapa warisan budaya harus dilestarikan, jawabannya adalah karena manusia memiliki kesadaran akan hidup dan eksistensinya. Maka untuk menunjang kehidupan dan eksistensi itu manusia selalu memiliki awareness of the past yang selalu mengandung kearifan lokal. Maka tugas kita yang kedua adalah bahwa abstraksi nilai dan norma, serta sistem sosial yang melatari terbentuknya local wisdom itu, perlu tindakan konstruktif untuk, bukan sekedar merevitalisasi, tetapi juga melalui langkah-langkah reformulasi dan reaktualisasi, sejalan dengan tantangan global sekarang dan nanti.

 

Referensi:

Ambary, Hasan Muarif. 1977, “A preliminary report of the excavation on the urban sites in Banten (West Java)”, Bulletin of the Research Centre of Archaeology of Indonesia, no. 11, Jakarta: Pusat Penelitian Arkeologi Nasional.
Brumund, J.F.G. 1840, “Een reisje door de Residentie Bantam”, TNI, Th. III, 2: 687-705.
Chijs, J. Van der. 1882. “Oud Bantam”, TBG, 26: 1-62.
Cortumunde, J.P. 1953. Dagbog fra en Ostiendiefart 1672-1675, Sohistoriske Skriften V. Kronborg.
Djajadinigrat, Hoesein. 1983. Tinjauan Kritis tentang Sajarah Banten, Jakarta: Penerbit Djambatan.
Ensering, Else. 1995. “Banten in times of revolution”, Archipel, 50.
Fadillah, Moh. Ali. 2003. “Revitalisasi Sejarah Banten, Sebuah Kreativitas Kultural”, Sarasehan Dies Natalis di Kampus Universitas Sultan Ageng Tirtayasa, Serang.
Friederich, R. 1855. “Hindoe-oudheden aan de grens van Bantam”, TBG, III: 32-37.
Guillot, Claude, “Libre entreprise contre économie dirigée, guerres civiles à Banten 1580-1603”, Archipel, 43, Paris.
Guillot, Claude. Lukman Nurhakim, Sonny Wibisono. 1994, Banten avant l’Islam, Etude archéologique de Banten Girang 932? – 1526, Paris: Ecole Française d’Extrême-Orient.
Guillot, Claude., Hasan M. Ambary, Jacque Dumarçay. 1990. The Sultanate of Banten, Jakarta: PT. Gramedia.
Guillot, G. 1982, “Banten en 1678”, Archipel, 37. Paris.
Pelras, Christian, 1998, The Bugis, London.
Raillon, François. 1995, “Boom sur le détroit de la Sonde: le Kabupaten de Serang en proie à l’Indonésie”, Archipel, 50, Paris.
Rouffaer G.P. & Ijzerman, J.W. 1915 (ed), De eerste schipvaart der Nederlander naar Oost-Indie onder C. de Houtman, ‘s-Gravenhage.
Williams, Michael C. 1962. Sickle and Crescent: the Communist Revolt of 1926 in Banten, Ithaca: Cornell Univ. Press, Monograph series 61.

Penulis: Moh. Ali Fadillah (Kepala Balitbangda Provinsi Banten)