Air (tirtha) menurut kepercayaan Hindu – Buddha merupakan titik awal kehidupan, dan di tirtha itu pula kekuatan dewa bersemayam. Air suci berikut sumbernya telah dikenal sejak peradaban pengaruh Hindu – Buddha di Indonesia. Dalam kitab-kitab keagamaan India, tirtha merupakan salah satu unsur alam yang disebut sebagai pancamahabhuta atau pancabhuta (lima unsur alam). Konsep pancabhuta dikenal juga pada masyarakat penganut Hindu – Buddha di Indonesia, yakni udara, api, air, tanah atau bumi, dan akaca (ruang angkasa). Dalam Kitab Taittiriya Upanishad disebutkan bahwa yang pertama keluar dari Brahman adalah akaca, dari akaca mengalir udara (hawa), dari udara mengalir api, dari api mengalir air, air mengalir ke bumi, dari bumi keluarlah tumbuh-tumbuhan, binatang, dan manusia.
Tinggalan masa klasik (pengaruh Hindu – Buddha) di Indonesia antara lain berupa bangunan suci seperti candi, petirtaan, goa pertapaan, dan punden berundak. Selain candi sebagai tempat pemujaan kepada dewa-dewa, petirtaan juga memegang peranan penting dalam kehidupan masyarakat saat itu. Petirtaan dipandang sebagai tempat untuk mengambil air suci untuk upacara keagamaan. Begitu penting air dalam kepercayaan Hindu dan Buddha, bahkan salah satu sarat pendirian candi adalah harus ada unsur air. Candi harus didirikan di dekat sumber air, baik itu mata air, sungai, danau, atau laut.
Dalam kepercayaan Hindu-Buddha, petirtaan dianggap baik apabila dibangun di lereng-lereng gunung. Air yang keluar dari lereng gunung dianggap keramat bagaikan air amerta, yakni air yang diperlukan di kehidupan manusia dan para dewa. Air amerta dapat digunakan untuk berbagai kebaikan manusia. Gunung dianggap keramat karena dipercaya sebagai jelmaan Mahameru, gunung pusat alam semesta dan axis mundi seluruh kosmos.
Air di petirtaan, selain untuk keperluan sehari-hari juga digunakan untuk keperluan ritual keagamaan. Penanda bahwa air tersebut keramat adalah adanya jaladwara (pancuran/saluran air) yang mengalirkan air dari dinding petirtaan ke kolam penampungan. Jaladwara umumnya berbentuk makara, yakni hewan mitos yang dipercaya hidup di sungai Gangga. Bentuk makara berasal dari gajamina, hewan separuh gajah (kepalanya) dan ikan (bagian ekornya). Hewan tersebut dipercaya oleh umat Hindu hidup di sungai Gangga yang airnya berasal dari gunung Mahameru, tempat dewa-dewa menyimpan air amerta. Sehingga muncullah kepercayaan bahwa petirtaan-petirtaan mengalirkan air suci yang setara dengan amerta, yang dapat membasuh dosa-dosa dan digunakan dalam upacara pemujaan kepada dewa.
Agus Aris Munandar dalam tulisannya yang berjudul, “Karya Arsitektur dalam Kajian Arkeologi” membagi petirtaan dalam tiga jenis, yaitu:
- Kolam atau mata air alami yang tidak mendapat pengerjaan lebih lanjut, jadi merupakan mata air biasa
- Kolam atau mata air yang mendapat pengerjaan lebih lanjut secara sederhana, dengan memperkuat bagian tepi kolam dengan susunan balok batu atau bata
- Petirtaan buatan yang pembangunannya dirancang secara khusus, airnya pun dialirkan ke petirtaan buatan tersebut dari sumber air alami.
Bila suatu petirtaan dibangun dekat dengan candi, goa pertapaan, punden berundak, atau tempat keagamaan lainnya dapat disebut bahwa petirtaan tersebut sebagai petirtaan keagamaan. Adapun jika di sekitar petirtaan tidak ditemukan adanya bangunan pemujaan, maka dapat dikatakan bahwa petirtaan tersebut dianggap sebagai petirtaan profan yang airnya diambil untuk keperluan sehari-hari. Ada dua jenis petirtaan keagamaan, yakni:
- Petirtaan yang hanya mendukung aktivitas keagamaan di bangunan suci lain, misalnya candi. Dengan kata lain, air petirtaan digunakan dalam upacara keagamaan di bangunan suci.
- Petirtaan yang merupakan bangunan suci, merupakan petirtaan besar dan memegang peranan penting dalam kehidupan masyarakat. Ciri utama dari petirtaan ini adalah adanya arca dewa/dewi di lingkungan petirtaan. Air dari petirtaan ini juga dijadikan sebagai air suci untuk upacara keagamaan di berbagai bangunan suci lainnya.
Suatu kolam disebut petirtaan apabila mempunyai ciri utama sebagai tempat penyedia air atau penyimpan air serta terdapat penambahan struktur oleh masyarakat pendukungnya di masa itu. Penambahan struktur bertujuan agar para peziarah mudah mengambil air dengan adanya dinding kolam dan deretan anak tangga, agar tepi petirtaan menjadi jelas dan tidak mudah runtuh, dan petirtaan menjadi lebih sakral dengan adanya atribut keagamaan (jaladwara, arca, relief). Upacara pengambilan air amerta dilakukan saat akan dilangsungkan upacara keagamaan, dan airnya dianggap setara amerta jika telah disucikan oleh para pendeta.
Masyarakat pemeluk Hindu di Bali yang masih melanjutkan tradisi pemujaan masyarakat masa Jawa kuna, menganggap air begitu bernilai, baik secara teologi maupun pragmatis. Air harus dipelihara karena merupakan bagian penting dari kehidupan makhluk hidup di muka bumi. Upacara pemeliharaan air dilakukan di mata air, danau, sungai, dan laut. Konsep air pada masa Jawa kuna inipun juga terus berlanjut hingga masa pengaruh Islam di Indonesia. Kolam yang ada di taman-taman di Jawa masa pengaruh Islam berfungsi untuk mensucikan diri (mandi), untuk persediaan air, juga untuk menyeimbangkan alam.
*dari berbagai sumber