Artikel Lada Banten 7: Lawang Kuri

Lawang Kuri

Lawang Kuri terletak di tepi jalan raya Gedong Wani Buay Selagai, Kecamatan Mergo Tigo, Kabupaten Lampung Timur. Lawang Kuri ini berupa pintu dengan dua daun pintu yang terbuat dari kayu jati. Sistem pengunci pada Lawang Kuri berupa gerendel palang dari kayu yang dipasang di bagian tengah kedua daun pintu. Motif hias pada pintu ini berupa sulur-suluran, flora dan bentuk-bentuk geometris yang dipahatkan hampir di seluruh permukaan pintu. Pada kusen pintu bagian samping atas terdapat ragam hias konstruktif berbentuk sayap burung, simetris di kedua daun pintu. Ukuran keseluruhan pintu adalah lebar 210 cm dan tinggi 252 cm. Adapun masing-masing daun pintu berukuran lebar 50 cm dan tinggi 175 cm.

Lawang Kuri ini ditempatkan di dalam cungkup karena lokasinya tepat di pinggir jalan kecamatan, sehingga jika dibiarkan terbuka dikhawatirkan kotoran, debu dan air hujan akan semakin mempercepat kerusakan pada cagar budaya tersebut. Menurut informasi dari juru pelihara, Lawang Kuri ini berasal dari Kesultanan Banten, sebagai simbol terjalinnya hubungan antara Banten dengan Lampung.

Hubungan Lampung dan Banten sudah berlangsung dalam periode yang panjang. Prasati berhuruf Arab yang ditemukan di Lampung, menunjukkan kuatnya pengaruh Banten ketika terjadi penyebaran agama Islam di wilayah Lampung. Dalam tradisi lisan, disebutkan bahwa sebelum letusan Gunung Krakatau memisahkan daratan Sumatera dan Jawa, sudah terjadi interaksi antara kedua wilayah tersebut.

Migrasi orang Lampung ke Banten atau sebaliknya, secara simbolik digambarkan ketika Fatahillah mempersunting anak Ratu Pugung yang bernama Putri Sinar Alam. Dari perkawinan tersebut lahirlah Hurairi, yang setelah dewasa dan menunaikan ibadah haji, mengubah namanya menjadi Haji Muhammad Zaka Waliullah Ratu Darah Putih, yang selanjutnya bergelar Minak Kejala Ratu (Hardjasaputra, ed., 2008).

Lampung sudah sejak lama dikenal sebagai penghasil lada yang penting di Nusantara. Sebelum masuknya kolonialisme, daerah ini berada di antara dua kekuatan besar pada waktu itu, yakni Palembang dan Banten. Palembang merupakan tempat pemasaran lada dari Lampung, Jambi, dan Bangka. Diduga Palembang akan meluaskan pasokan ladanya hingga ke Tulang Bawang. Apabila Lampung jatuh ke tangan Palembang, tentu saja hal tersebut akan menjadi kerugian besar bagi Sultan Banten, karena Banten akan kehilangan sumber lada terpenting untuk pasar Eropa.

Sekitar abad ke-12 hingga 13, terjadi persaingan untuk memperebutkan kekuasaan antar marga di daerah Lampung. Pada saat itu, adat memegang peranan penting dalam kehidupan bermasyarakat, termasuk urusan keamanan dan perekonomian. Masing-masing marga memposisikan diri seperti kerajaan-kerajaan kecil, dan saling bersaing. Dalam suasana seperti itu, pengakuan politik Kesultanan Banten sangatlah dibutuhkan. Beberapa wilayah sudah mengakui kekuasaan Banten sehingga menjadi vassal Banten. Para pemuka marga mengambil kesempatan tersebut untuk memperkuat posisinya. Mereka berbondong-bondong melakukan seba ke Banten untuk meminta restu dan melegitimasi kekuasaannya. Dengan demikian, para pemuka adat tersebut mengakui bahwa mereka merupakan bawahan Sultan Banten.

Sebagai gantinya, Sultan Banten menganugerahkan gelar seperti punggawa, pangeran, ngabehi, jenang, radin, dan sebagainya. Selain itu, Sultan juga memberikan piagam (tamra prasasti) dalam bahasa Jawa Banten yang ditulis dalam aksara Arab dan Lampung. Piagam tersebut ditulis di atas lempengan tembaga (dalung). Sultan pun memberikan benda-benda seperti lawang kuri, payung, keris, dan lain-lain. Sampai sekarang, para pemuka adat di beberapa marga masih menyimpan benda pusaka tersebut. Sayang sekali, selama masa pendudukan Jepang dan revolusi fisik di Indonesia, benda-benda berharga tersebut banyak yang hilang.

Lebih jelas lagi mengenai Lawang Kuri dapat ditinjau dari data etnohistoris tentang Gedong Wani. Disebutkan bahwa pada sekitar tahun 1532, Sultan Banten memerintahkan kepada seluruh penguasa Lampung untuk menghadap (seba). Salah satu marga yang berkuasa pada saat itu yakni Buay Selagai yang berkedudukan di Kampung Gedong Kuripan, Abung Kotabumi, memenuhi perintah tersebut. Tokoh dari Buay Selagai yang berangkat ke Banten adalah Ratudinata. Sesampainya di Banten, Ratudinata diberi gelar Raden Cakradinata oleh Sultan Banten. Di Banten, Raden Cakradinata mendapat ajaran Islam, yakni dua Kalimah Syahadat dan Surat Al-Ikhlas. Ketika kembali ke Lampung, Raden Cakradinata mendapat kenang-kenangan dari Sultan Banten berupa pintu gerbang atau Lawang Kuri. Saat perjalanan kembali ke Lampung, Raden Cakradinata beserta rombongan melalui Way Sekampung. Perjalanan terhenti karena terhalang air terjun. Kemudian mereka membuka hutan untuk dijadikan perkampungan sementara. Mereka menetap di daerah tersebut selama tiga tahun, kemudian pindah ke arah hilir, di daerah perbatasan Jabung. Daerah tersebut diberi nama Gedong Wani. Di sini rombongan tersebut menetap selama 50 tahun. Karena keadaan tanah tidak subur lagi, kampung Gedong Wani dipindahkan di dekat pertemuan antara Way Gerem dan Way Sekampung, dan bertahan hingga sekarang.

cungkup Lawang Kuri
cungkup Lawang Kuri

Berita lain yang menyebutkan tentang Lawang Kuri terdapat dalam surat kontrolir Teluk Betung tahun 1883. Disebutkan bahwa atribut-atribut yang diberikan Sultan Banten kepada para pemimpin adat antara lain adalah siger, slenggam dalem, pangga, burung garuda, jempana, rato, penduk wo belas, sabuk jaran, payung hendak, payung gubir, payung agung, payung hitam, tumbak gegeakan merak, mendaringan, dader, tombak bercabang, kandang rarang, jimat agung, pencarengan, lawang kuri, peninjauan, kupiah, ngarih kulikat, jajalan putri, pepadon, pelita empat, dan pancah aji.  Dalam mengendalikan kekuasaannya di Lampung, Banten hanya menempatkan jenjen di Semangka (Kota Agung). Jenjen tidak memiliki hak untuk menyelenggarakan pemerintahan, ia hanya bertugas dalam mengelola penerimaan lada dari Lampung kemudian mendistribusikannya ke bandar Banten.

Pada masa pemerintahan Maulana Hasanuddin (1552 – 1570), kekuasaan Banten diperluas hingga ke Lampung dan daerah di sekitar Sumatera Selatan. Gerakan ekspansif tersebut dimaksudkan untuk menguasai seluruh perairan Selat Sunda yang sangat strategis bagi kepentingan pelayaran dan perdagangan Banten, serta perluasan perkebunan lada. Dengan kata lain, Maulana Hasanuddin telah berperan penting dalam meletakkan dasar-dasar kemakmuran Banten sebagai pelabuhan lada. Penguasaan tersebut tidak bertahan lama karena Palembang dapat melepaskan diri dari pengaruh Banten. Sementara itu, Lampung masih dikuasai Banten, bahkan orang Lampung biasa membawa Lada ke Banten namun mereka tidak diperkenankan menjual secara langsung kepada pedagang. Hanya Sultan Banten saja yang berhak menjual lada tersebut (Hardjasaputra, ed., 2008).

Dalam tulisannya, Tome Pires memberikan keterangan tentang hubungan Lampung dengan Banten sebelum terbentuknya Kesultanan Banten. Dituliskan adanya hubungan dagang antara Kerajaan Sekampung, Andalas, dan Tulang Bawang dengan Banten. Namun tidak disebutkan bahwa ketiga kerajaan tersebut merupakan vassal Banten Girang.

Dalam Sajarah Banten disebutkan bahwa Maulana Hasanuddin mengunjungi bagian selatan Sumatera (Lampung, Selebar, Bengkulu, dan Indrapura) setelah menaklukkan Banten Girang. Ia bermaksud mengislamkan wilayah tersebut. Data tersebut mengisyaratkan bahwa wilayah-wilayah tersebut semula merupakan kekuasaan Banten Girang.

Pada masa Kerajaan Sunda masih jaya, yakni sekitar tahun 1522, Banten telah menjadi salah satu pelabuhan yang cukup penting. Dalam setiap tahunnya, Banten mampu mengekspor 1000 bahar lada, atau 180.000 kg lada. Terbatasnya lahan perkebunan lada dan permintaan yang tinggi di pasar dunia, menyebabkan Kesultanan Banten melakukan kontrol yang kuat terhadap daerah-daerah penghasil lada, seperti Lampung, Palembang, Bengkulu, dan Jambi. Permintaan lada yang terus meningkat dari tahun ke tahun tidak terlepas dari kualitas lada yang dihasilkan Banten dan Lampung. Jika dibandingkan dengan lada yang berasal dari Malabar dan Aceh, lada Banten lebih berkualitas. Bukti-bukti fisik yang menguatkan ramainya perdagangan lada di Banten adalah ditemukannya alat penggilingan lada di daerah Pamarican. Bahkan VOC mendirikan benteng Speelwijk di kampung Pamarican pada tahun 1685. Di situs Pamarican pernah dilakukan penelitian biologi tentang temuan sisa polen lada. Dari hasil penelitian diketahui bahwa terdapat kesamaan varietas lada di Pugung Raharjo, Lampung dengan temuan sisa polen di Pamarican, Banten.

Pada saat Kesultanan Banten diperintah oleh Sultan Abdul Kadir (1605 – 1640), orang-orang Lampung banyak yang datang ke Banten memasarkan hasil buminya. Atas persetujuan Sultan Banten, para golongan elit di Lampung diberi mandat untuk berkuasa. Mereka diberi semacam plakat yang menyatakan ketundukan terhadap Sultan Banten.

Dari uraian di atas jelas terlihat bahwa terdapat hubungan timbal balik antara Banten dan Lampung. Pada masa perkembangan Islam, hubungan Lampung – Banten berlangsung secara intensif. Banyak orang Lampung yang belajar agama ke Banten, dan tidak sedikit pula ulama-ulama Banten yang datang ke tanah Lampung untuk menyebarkan agama Islam. Banten, pada masa lalu merupakan salah satu pusat syiar Islam yang terkemuka di Nusantara.

Dalam perniagaan lada, hubungan Lampung dan Banten terjalin lebih kuat. Lampung sebagai penghasil lada yang utama, sedangkan Banten sebagai pemasok lada ke pasaran dunia. Pada periode ini kental akan nuansa politik. Lampung merupakan daerah yang berada dalam naungan Kesultanan Banten. Cagar budaya Lawang Kuri merupakan salah satu atribut yang diberikan oleh Sultan Banten kepada salah satu kepala adat di Lampung, sebagai tanda pengakuan dan tunduk pada kekuasaan Kesultanan Banten.

 

Referensi:

Hardjasaputra, A. Sobana dan Ade Makmur K. ed. 2008. Jurnal Penelitian Volume 40 Nomor 3 Desember 2008. Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Bandung.