Kisah dibalik Gedung Stovia, Jakarta (2)

pintu masuk stoviaPada 1847 dr. W Bosch, Kepala Dinas Kesehatan Pemerintah Kolonial Belanda di Batavia mendapat laporan bahwa di wilayah Banyumas berjangkit berbagai macam penyakit berbahaya. Hal ini menimbulkan kekhawatiran Pemerintah Kolonial Belanda, sehingga setiap Kepala Desa (Lurah) diberi sebuah buku tuntunan kesehatan dengan bahasa Jawa dan Melayu, agar setiap desa bisa menjaga kesehatan desa serta penduduknya. Tetapi cara ini tidak membuahkan hasil. Sehingga pada 29 November 1847 Pemerintah Kolonial Belanda memutuskan akan memanggil pemuda-pemuda pribumi untuk dididik menjadi juru kesehatan. Mereka yang memenuhi syarat akan dididik di Rumah Sakit Militer Weltevreden.

Weltevreden merupakan sebuah kawasan di wilayah Jakarta Pusat yang semula merupakan daerah hutan dan padang rumput. Diperkirakan kawasan ini disebut Weltevreden pada saat kawasan ini menjadi hak milik Cornelis Chastelein pada 1697. Gubernur Jenderal Daendels kemudian mengubah kawasan Weltevreden menjadi sebuah ibu kota untuk koloni Eropa di Asia Tenggara.

Pemuda-pemuda yang dididik secara cuma-cuma menjadi juru kesehatan berjumlah 30 orang dan pendidikannya dimulai pada 1851. Mereka diberi gaji f.15 per bulan dan diberikan perumahan. Pimpinan dan pelaksana sekolah ini diserahkan kepada Kepala Dinas Kesehatan dan Opsir Kesehatan Kelas 1 dan II Rumah Sakit Militer. Yang ditunjuk sebagai Pimpinan Kursus adalah Dr. P. Bleeker (1851-1860). Kursus Juru Kesehatan kemudian berubah menjadi Sekolah Dokter Jawa pada 1856 dengan masa pendidikan tiga tahun. Para lulusan sekolah ini diberi gelar Dokter Jawa, mereka dalam tugasnya berada di bawah pengawasan Dinas Kesehatan Sipil Pemerintah Hindia Belanda bergaji f.30 – f.50 per bulan.

Menyadari bahwa pendidikan Dokter Jawa selama tiga tahun itu belum cukup, maka pada 1900 pemerintah kolonial Belanda memutuskan untuk meningkatkan Sekolah Dokter Jawa menjadi School Tot Opleiding van Inlandsche Artsen (STOVIA). Para lulusan STOVIA kemudian diberi gelar Inlandsche-Arts. Pada 1913 STOVIA melakukan penyempurnaan kurikulum. Masa pendidikan kedokteran kemudian ditingkatkan menjadi tujuh tahun dan lulusannya diubah menjadi Indische Arts. STOVIA kemudian membuka pintu bagi segala bangsa dan menerima siapa saja untuk masuk STOVIA dengan biaya sendiri.

Kini bangunan STOVIA yang masih memperlihatkan keaslian bangunan dan menjadi penanda salah satu bagian perjuangan bangsa ini, merupakan cagar budaya yang penting dan harus dilestarikan. Sebagai cagar budaya yang memiliki nilai sejarah tinggi terutama sebagai bagian dari perkembangan perjuangan kemerdekaan dan perkembangan pendidikan di Indonesia, maka bangunan STOVIA wajib pelestarian.

(dari berbagai sumber)