Gereja Tugu terletak di Kampung Tugu, Jakarta Utara. Kampung Tugu diyakini sebagai kampung tertua di Jakarta ini terletak di sisi Timur Kota Jakarta, yakni Jalan Cakung Cilincing, Jakarta Utara. Disebut Kampung Tugu, karena dahulunya tempat ini telah ditemukan prasasti peninggalan Raja Purnawarman (Kerajaan Tarumanegara) yang seperti Tugu. Namun menurut versi yang lain, kata “Tugu” berasal dari penggalan kata Portugis, yaitu Por-tugu-ese, sebutan untuk orang Portugis yang menempati Kampung Tugu.
Bangunan Gereja Tugu yang saat ini masih berdiri bukan merupakan bangunan pertama dari Gereja Tugu. Pada saat orang-orang Tugu tiba di Kampung Tugu pada tahun 1661, ibadah mereka masih dilayani oleh Jemaat Portugis di Jakarta (sekarang Gereja Sion). Baru pada tahun 1678, Pdt. Melchior Leydecker membangun sebuah gereja yang pertama di luar Jakarta. Selain digunakan untuk kegiatan ibadah, gedung ini juga digunakan untuk kegiatan sekolah.
Tahun 1680, orang Kristen di Tugu mencapai 800 jiwa. Tahun 1700 terjadi wabah influenza yang parah sehingga banyak penduduk Tugu yang tewas. Tahun 1738 dibangun gedung Gereja Tugu yang kedua, menggantikan Gedung Gereja yang pertama yang telah rusak. Lonceng gereja yang asli dan masih ada sampai saat ini berasal dari Gedung Gereja yang dibangun pada tahap kedua. Tahun 1740, bangunan gedung Gereja Tugu tahap II mengalami pengrusakan saat terjadi pemberontakan etnis Tionghoa (Cina Onlusten) dan pembantaian orang-orang Tionghoa di Batavia, pada masa Gubernur Jenderal Adriaan Valckenier yang berkuasa di Batavia pada tahun1737–1741. Pada tahun 1737, dilakukan renovasi di Gereja Tugu, yang pertama dibawah pimpinan pendeta Van De Tydt, dibantu oleh seorang pendeta keturunan Portugis kelahiran Lisabon, yaitu Ferreira d’Almeida dan orang-orang Mardijkers.
Kemudian pada tahun 1744 atas bantuan seorang tuan tanah yang bermukim di Cilincing, Yustinus Vinck gereja ini dibangun kembali, dan baru selesai pada 29 Juli1747 yang kemudian diresmikan pada tanggal 27 Juli 1748 oleh pendeta J.M. Mohr.
Gedung gereja tersebut diperuntukkan sebagai tempat beribadah orang-orang Tugu. Pada tahun itu juga, dilakukan musyawarah dan ditetapkan bahwa sebagian halaman gereja akan dipergunakan sebagai area pemakaman. Pada saat ini, tidak ditemukan makam-makam tua di area tersebut dikarenakan ada tradisi untuk menggabungkan makam dengan sanak keluarganya yang lebih dulu meninggal.
Tradisi bangsa Portugis sangat terasa jika kita mengunjungi kawasan Kampung Tugu. Hal ini tentu tidak terlepas dengan asal muasal penduduk asli Kampung Tugu yang memang merupakan orang asli bangsa Portugis. Tak heran, beberapa tradisi bangsa Portugis dengan mudah dapat dijumpai dalam kehidupan sehari-hari warga Kampung Tugu. Berbeda dengan perayaan di daerah lain, di Kampung Tugu, perayaan Natal dan Tahun Baru sangat terasa kekhasan bangsa Portugis, yang dapat dijumpai dalam tradisi pesta panen, mandi-mandi ataupun tradisi rabo-rabo yang disajikan dengan iringan musik keroncong yang akarnya berasal dari sejenis musik Portugis yang dikenal sebagai fado. Bahkan, warga Kampung Tugu hingga kini boleh berbangga diri, karena berkat kreativitas warganya dalam memainkan musik keroncong, ada istilah “Keroncong Tugu” sebagai salah satu varian musik keroncong yang dimainkan oleh orang-orang Kampung Tugu.
Adapun sejarah yang melatarbelakangi kedatangan orang Portugis ke Kampung Tugu bermula pada tahun 1641, di mana Malaka yang saat itu menjadi pusat dagang bangsa Portugis mulai dikuasai pasukan Belanda. Saat itu, pasukan Belanda akhirnya dapat menguasai Malaka dan menawan orang-orang Portugis. Namun, setelah itu orang-orang Portugis itu dibebaskan kembali oleh Belanda hingga akhirnya mendapat sebutan sebagai kaum Mardijkers. Tahun 1661, orang-orang Portugis ini kemudian dipindahkan ke daerah yang saat ini bernama Kampung Tugu.