You are currently viewing Belajar Pendidikan Budi Pekerti dari Relief Jataka Candi Borobudur (part 1)

Belajar Pendidikan Budi Pekerti dari Relief Jataka Candi Borobudur (part 1)

Seiring dengan perkembangan zaman, kehidupan kaum muda  (remaja)  saat ini sudah berbeda dengan remaja pada masa lalu. Pada saat ini remaja banyak dipengaruhi oleh perkembangan zaman dan iptek, sehingga terdapat perbedaan dalam perilaku yang timbul dari remaja tersebut. Contohnya seperti remaja yang terbiasa berkumpul dengan teman-temannya, kini cenderung untuk lebih bersifat individual dan sibuk dengan kehidupannya sendiri dengan handphone ataupun alat tekhnologi lainnya. Perkembangan teknologi dan informasi yang begitu cepat pada saat ini menimbulkan perubahan prilaku bagi manusia terutama kaum remaja / remaja.

Perubahan prilaku tersebut sangat memperihatinkan apabila dibiarkan akan tumbuh manusia yang memiliki sifat  yang tidak baik seperti sifat mementingkan diri sendiri (egois), tidak peduli sama kepentingan orang lain dan lain sebagainya. Sebagai penerus kehidupan berbangsa dan bernegara, kondisi seperti sangat membahayakan bagi kelanjutan bangsa Indonesia di masa yang akan datang.   Oleh karena itu pentingnya pendidikan budi  pekerti bagi genera muda sehingga akan dihasilkan generasi muda yang memiliki budi pekerti yang mulia dan berkarakter yang baik.

Budi pekerti berasal dari kata budi dan pekerja. Kata budi berarti berarti nalar, pikir, atau watak. Sedangkan pekerti  berarti pekerjaan, tabiat, atau akhlak. Jadi kata budi pekerti berarti tingkah laku, pekerjaan akhlak dan watak  yang merupakan sikap dan perilaku yang dilandasi oleh kegiatan berpikir atau olah batin, sehingga dapat menggambarkan tabiat, watak, akhlak dan moral yang sekaligus dapat mencerminkan sikap batin seseorang (Endraswara, 2003).

Pendidikan budi pekerti ini telah diajarkan oleh nenek moyang yang tertuang pahatan  relief cerita di candi-candi yang tersebar di beberapa daerah di pulau Jawa dan Bali.  Menurut Kusen (1985)  Relief cerita merupakan salah satu media yang digunakan seniman untuk menyampaikan pesan-pesan kepada masyarakat antara lain berupa cerita yang mengandung nilai-nilai keagamaan, kepahlawanan, dan kasih sayang. Pesan-pesan tersebut dapat ditangkap dengan baik oleh konsumen seni apabila dalan memahatkan  cerita dibuat bentuk-bentuk komunikatif.  Istiarti (2008) berpendapat bahwa  pesan-pesan yang terkandung dalam relief cerita biasanya pendidikan moral (budi pekerti) pada masa itu, namun tidak menutup kemungkinan dapat juga sebagai pendidikan moral (budi pekerti) masyarakat masa kini, terutama generasi muda. Hal ini tidak terlepas dari pendapat Pramono Atmadi (1979) bahwa ungkapan pada relief candi mempunyai hubungan yang erat dengan unsur yang ada dalam masyarakat, baik unsur yang ada dan hidup di masa lampau maupun unsur yang ada dan hidup di dalam masyarakat saat ini.

Salah satu relief cerita yang banyak mengandung pendidikan budi pekerti adalah relief Jataka dan Avadana yang terpahat di candi Borobudur. Relief jataka-Avadana terletak pada tingkat III dinding bagian bawah relief lalitavistara.  Relief Jataka dan Avadana merupakan kehidupan Buddha sebelumnya di masa lalu sebelum dilahirkan sebagai seorang manusia yang bernama Siddharta Ghautama. Jataka adalah cerita tentang sang Boddhisattva yang mengalamai kelahiran berulang kali dalam berbagai wujudnya untuk membantu manusia mencapai jalan kebuddhaan. Dalam kisah-kisah itu sang Boddhisattva baik sebagai manusia maupun hewan selalu mencontohkan kebenaran dan ajaran tentang Dharma.   Sedangkan avadana adalah kisah kepahlawanan. Avadana mirip dengan cerita jataka, namun tokoh utamanya bukanlah Buddha, melainkan tokoh lain atau hewan biasa yang bukan jelmaan Boddhisattva. Relief Jataka terletak pada pagar langkan  tingkat III bagian dalam sejumlah 500 panel dan 120 panel pada dinding tingkat III. 100 panel lanjutan Jataka-Avadana terletak pada tingkat IV, sehingga total relief Jataka-Avadana adalah 720 panel.

Kisah-kisah Jātaka dikenal sejak Sang Buddha masih hidup, ia kerapkali menguraikan cerita tersebut sebagai perumpamaan tentang kebajikan yang patut ditiru dan keburukan yang tidak patut diikuti oleh para muridnya. Dalam berbagai kesempatan, di berbagai tempat pengembaraannya Sang Buddha menceritakan bermacam kisah Jātaka dan Avadāna. Misalnya ketika Sang Buddha berada di kota Sravasti, di vihara Jetavana, di taman Anathapindika, ia menguraikan bermacam kisah Jātaka dan Avadāna, kemudian ketika Sang Buddha bermukim di Magadha, di Rajagrha di hutan Nyagrodha; ketika berada di Vaisali di hutan mangga, dan di beberapa tempat lainnya ia seringkali menguraikan kisah-kisah ajaran pendidikan Jātaka-Avadāna (Munandar, 2009).

Inti kisahnya adalah tentang sang Bhoddhisattva yang mengalami kelahiran berulang kali dalam berbagai wujudnya untuk membantu manusia mencapai Jalan Kebuddhaan. Dalam kisah-kisah itu Sang Bhoddhisattva baik sebagai manusia atau pun hewan selalu mengarahkan atau mencontohkan kepada kebenaran dan ajaran tentang dharma. Dengan demikian walaupun banyak kisah Jātaka-Avadāna yang bersifat didaktik (pendidikan), pada hakekatnya segala kisah itu mengarah kepada upaya untuk melaksanakan dharma secara baik, jadi Jātaka-Avadāna pada hakekatnya juga bernafaskan ajaran keagaman yang sakral namun diselaputi dengan kisah yang tokoh-tokohnya berkenaan dengan hewan yang bisa bercakap-cakap seperti manusia (Munandar, 2009).

Cerita Jātaka yang jumlahnya ratusan tersebut kemudian dihimpun menjadi satu pustaka yang dinamakan Jātakamāla atau “Untaian (cerita) Jātaka”. Himpunan itu dikerjakan oleh seorang pujangga Buddha yang bernama Aryasura yang hidup dalam abad ke-4 M. Avadāna pada intinya sama saja dengan Jātaka, hanya saja pelaku utamanya bukan Sang Bhoddhisattva melainkan tokoh lain, orang lain atau hewan biasa yang bukan jelmaan Bhoddhisattva. Kisah-kisah Avadāna juga sama berhasil dihimpun dalam satu pustaka dengan judul Divyāwadāna artinya “Perbuatan-perbuatan Mulia Kedewaan”, dan kitab lain yang berjudul Avadanasataka  yang berarti “Seratus Cerita Avadāna” (Soekmono 1981: 67 dalam Munandar, 2009).

Relief Jataka yang terpahat di candi Borobudur mengajarkan pada  manusia untuk selalu berbuat baik pada semua makhluk, baik itu manusia, binatang dan tumbuh-tumbuhan. Pada artikel ini memuat 3 cerita dalam relief jataka yang terpahat dalam beberapa panel relief dan mengandung nilai budi pekerti yang tinggi.