“Bentuk Syukur itu Bernama Kandhori Laot”

0
899

Satu kuali besar itu mampu menampung lima belas kilogram daging sapi dan lima kilogram bahan pendamping lainnya. Diracik dengan resep-resep dan teknik tradisional, kuah beulangong menjadi hidangan primadona yang tersaji di acara Kandhori Laot. Para nelayan rela berbondong-bondong menyiapkan hidangan tersebut dan bertolak dari laut selama tiga hari ke depan.

Bagi masyarakat Sabang, Aceh, laut ialah lahan kehidupan yang selalu memberikan aroma kebahagiaan. Semua hasil tangkapan laut menjadi makna tersendiri bagi keberlangsungan hidup sehari-hari. Tak heran, sebagai bentuk berkah atas nikmat yang diterima tersebut, setahun sekali para nelayan mengadakan tradisi Kandhori Laot.

Kandhori Laot merupakan warisan budaya dari masyarakat di pesisir Sabang, Aceh. Tradisi ini menjadi salah satu kearifan lokal yang dilakukan secara turun menurun, khususnya bagi para nelayan. Secara makna, Kandhori Laot hampir sama dengan tradisi larung yang juga dilakukan masyarakat pesisir di beberapa daerah, yakni sama-sama mengekspresikan rasa syukur atas hasil bumi yang telah diterima. Hanya saja, budaya Islam yang begitu kuat membuat pelaksanaannya kian berbeda.

Di Sabang Kandhori Laot ditandai dengan penyembelihan sapi atau kerbau yang dimasak untuk disantap bersama. Tradisi ini juga menjadi ajang berbagi kepada mereka yang kurang mampu, termasuk merangkul anak-anak yatim untuk menikmati hidangan bersama.

Ibrahim, seorang nelayan yang tinggal tak jauh dari pelabuhan CT-3 Sabang, mengaku rela mengumpulkan uang bersama para nelayan lainnya untuk mengadakan Kandhori Laot. Umumnya masing-masing perahu dikenakan biaya sebesar seratus ribu rupiah. Besaran biaya ini tergantung dari besar-kecilnya perahu dan kerelaan sesama nelayan mengumpulkan dana untuk acara tersebut.

“Kandhori ini bentuk syukur kita para nelayan. Dari uang tersebut dikumpulkan dan bisa membeli sapi berapa. Misalnya Kandhori Laot (akan dilaksanakan) dua bulan ke depan, gini hari sudah dikasih tahu. Paling kecil kami potong empat sapi. Di Kandhori ini kita makan bersama-sama, termasuk anak-anak yatim. Nelayan dan masyarakat Sabang siapa pun boleh yang mau datang, bebas. Biasanya seluruh masyarakat Sabang datang ke sini,” ujarnya saat ditemui di Festival Kandhori Laot, Sabang, Aceh.

  

Ibrahim menyebutkan, tradisi Kandhori Laot dilaksanakan di waktu yang berbeda-beda di setiap tahunnya, tergantung dari perhitungan yang sudah ditentukan. Posisi bulan menjadi salah satu dari sekian indikator penentu Kandhori Laot dilaksanakan. Panglima Laot, suatu institusi adat yang mengatur tentang tata cara penangkapan ikan, juga turut andil dalam hal ini. Dari merekalah informasi tanggal pasti Kandhori Laot ke nelayan bersumber.

Pantangan dan Peranan Panglima Laot

Norma dan tradisi bak dua sisi mata uang yang keberadaannya tak bisa dipisahkan. Perayaan Kandhori Laot dapat dijalankan apabila para nelayan sepakat tidak melanggar pantangan yang telah ditetapkan. Pantangan tersebut yakni nelayan dilarang melaut selama tiga hari lamanya. Hukum tak tertulis ini sudah ada sejak ratusan tahun yang lalu dan masih dipegang teguh hingga sekarang.

Selain nelayan wajib tak melaut tiga hari terhitung Kandhori Laot dilaksanakan, kewajiban tak melaut juga jatuh di hari-hari yang sudah ditentukan. Para Panglima Laot dan para tetua adat menyepakati bahwa setiap Iduladha (Lebaran Haji), hari peristiwa tsunami (setiap tanggal 26 Desember) dan hari Jumat di setiap minggunya nelayan tidak diperbolehkan melaut. Ada konsekuensi sendiri bagi mereka yang memaksakan diri melaut

“Beginilah hukum adat di kami,” tambah Ibrahim.

Sementara itu, menurut Mahdi Umar, pemangku adat Sabang, menuturkan umumnya Kandhori Laot ini diawali dengan proses Peussijuk. Upacara ini mengacu pada prosesi adat memohon keselamatan di tiap-tiap kegiatan yang dilakukan masyarakat Aceh. Dimulai dari prosesi inilah mereka berharap Allah Swt selalu memberikan keselamatan di setiap langkah yang diambil. Termasuk Kandhori Laot di dalamnya.

“Tradisi Peussijeuk ini diselenggarakan biasanya untuk baru turun melaut, mendirikan rumah, perkawinan, wisuda, dan sebagainya. Ini sudah turun menurun dengan mengharapkan ridho Allah Swt.,” ungkapnya.

Seperti sudah disinggung sebelumnya, Panglima Laot merupakan sebuah institusi adat yang mengatur tentang tata cara penangkapan ikan di lautan ke para nelayan. Setidaknya, para panglima ini menerapkan peraturan-peraturan yang ditujukan bagi para nelayan. Panglima Laot selain sebagai institusi juga sebagai seorang ketua lembaga. Di Sabang misalnya terdapat beberapa Panglima Laot yang mewakili wilayah dan kawasannya.

Walikota Sabang Nazaruddin menyebutkan Panglima Laot setidaknya mampu memimpin persekutuan adat hingga pengelolaan adat. Dari hasil itulah sebuah tradisi seperti Kandhori Laot mendapatkan tempat di masyarakat dan dijadikan sarana sosialisasi aturan hukum yang sudah digariskan oleh nenek moyang.

“Harapannya semoga Kandhori Laot akan meningkatkan kecintaan terhadap budaya Aceh. Ini akan berdampak pada kehidupan masyarakatnya,” tukasnya.

 

 

Foto: Heri Budi Santoso