Beranda blog Halaman 227

Sangiran

0

MomonSelama 3 hari, mulai tanggal 5 hingga 7 Februari 2013 berlangsung Seminar PREHSEA di Sangiran. Seminar tersebut adalah kelanjutan dari Seminar Pertama yang dilaksanakan pada 21-26 Juli 2012 di Filipina, sebagai bagian dari Program PREHSEA.

PREHSEA (Managing Prehistoric Sites in Southeast Asia) adalah program yang didanai oleh Uni Eropa untuk dua Negara (two pilot countries) di Asia Tenggara yaitu Filipina dan Indonesia, yang memiliki Situs Warisan Dunia. Program ini juga didukung oleh UNESCO, dan Perancis (Museum National d’Histoire Naturelle) sebagai Koordinatornya.

Tujuan yang ingin dicapai dalam Program PREHSEA melalui dialog lokal dan kerjasama antar sektor, regional, nasional mapun internasional antara lain, adalah untuk membangun pengelolaan Benda/Situs Cagar Budaya, menjaga integritasnya, melestarikan nilai dan arti penting Situs, serta mendorong pengembangan potensi sosio ekonomi lokal.

Oleh karena itu dalam Seminar PREHSEA, sebagian besar peserta adalah masyarakat lokal, selain delegasi dari Negara partner dan koordianator atau pemangku kepentingan di bidang Pelestarian Situs dan Pariwisata. Diharapkan melalui dialog dan diskusi dengan masyarakat, maka misi program PREHSEA dapat tercapai.

Pemetaan Komunitas Adat Melayu Riau

0

Pada tanggal 19 Agustus 2013 sampai dengan tanggal 2 September 2013, Balai Pelestarian Nilai Budaya (BPNB) Tanjungpinang akan mengadakan kegiatan Pemetaan Komunitas Adat Melayu Riau dengan lokasi di Provinsi Riau, kegiatan pemetaan ini melibatkan enam (6) tim peneliti dari BPNB Tanjungpinang.

Festival Nasional Teater Remaja

0

FESTIVAL NASIONAL TEATER REMAJA

Teater adaleditah media untuk membangun karakter bangsa melalui Kebudayaan. dalam hal ini khususnya bidang Teater, membuka kesempatan secara luas kepada seniman dan seluruh lapisan masyarakat yang berkepentingan di bidang kesenian untuk menyalurkan kreativitas dan produktifitasnya.
Pelestarian Kesenian tersebut dapat dipahami sebagai hal yang membuat nilai budaya tetap hidup sejak awal kemunculannya dan terpakai di masa kini serta masa yang akan datang.
Bertolak dari pemikiran tersebut maka Direktorat Pembinaan Kesenian dan Perfilman menyelenggarakan kegiatan Festival Nasional Teater Remaja pada 3 – 6 Juli 2013 di Gedung Sunan Ambo (STSI Bandung).
Tujuan kegiatan tersebut di antaranya untuk meningkatkan minat dan kreativitas remaja untuk lebih mengenal, memahami, dan menghargai seni Teater. Menyiapkan pengkaderan penonton teater di masa yang akan datang agar seni teater dapat hidup dan berkembang sesuai dengan harapan dunia seni dan masyarakat pendukungnya. Menciptakan iklim kebersamaan di antara para remaja dari daerah masing-masing untuk saling mengenal lebih dekat satu sama lain sehingga diharapkan turut serta menjaga integrasi bangsa, meningkatkan apresiasi seni teater di kalangan masyarakat baik di sekolah, sanggar-sanggar seni maupun keluarga.
Penyelenggaraan Kegiatan ini diharapkan mampu memotivasi generasi muda Indonesia untuk terus berkreasi memberikan karya terbaik mengisi perjalanan Kebudayaan Nasional. Hal ini merupakan bentuk implemantasi dan internalisasi nilai luhur kebudayaan sebagai wujud nyata kokohnya ketahanan budaya bangsa Indonesia yang siap menjemput perkembangan dunia di era baru. Tentunya Kesenian adalah satu media efektif penanaman karakter dan jati diri bangsa.

Talk Show Radio

0

Workshop Pengelolaan Website Kebudayaan

0
Pembukaan Workshop Pengelolaan Website Kebudayaan
Pembukaan Workshop Pengelolaan Website Kebudayaan

Bertempat di Ruang Sidang Hotel Cipayung Asri Kota Bogor pada tanggal 20 Agustus 2013, Dirjen Kebudayaan, Bapak Prof. Kacung Marijan, membuka secara resmi Workshop Pengelolaan Website Kebudayaan Direktorat Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Kegiatan ini dijadwalkan akan dilaksanakan sejak tanggal 20 sampai 22 Agustus 2013. Peserta kegiatan berasal dari Satuan Kerja atau Unit Pelaksana Teknis yang dinaungi oleh Dirjen Kebudayaan seperti Museum, Balai Pelestarian Cagar Budaya, Balai Pelestarian Nilai Budaya, Balai Konservasi Borobudur dan Balai Pelestarian Situs Manusia Purba Sangiran, dimana secara total ada 34 satker yang tersebar di seluruh Indonesia.

 

Pulau Miangas, Garis Depan Nusantara

0

P

Sejarah pulau Miangas pada awalnya bernama Poilaten yang artinya ”dilihat dari Pilipina seperti kilat”. Alkisah seorang lelaki dari sulawesi tengah (Toli-toli) pergi ke Pilipina Selatan dan kemudian mengawini penduduk setempat. Di Pilipina mereka tinggal di gunung Kulama, gunung tertinggi di Pilipina atau disebut gunung Buki.  Suatu saat mereka mendapati pulau ini (Miangas) yang terlihat dari kejauahan seperti kapal dari timur laut. Mereka berdua masing-masing bernama Tinuri dan Sapu menaiki ikan hiu menuju pulau tersebut. Kedua orang itu datang ke pulau Poilaten yang masih kosong lalu tinggal di wilayah Tanjung Merah.

Setelah sekian lama, ada sekelompok orang dari pulau Dampulis (Nanusa, Talaud) berlayar ke Pilipina, dalam perjalanan mereka melihat pulau Poilaten dan tertarik untuk menyinggahinya, sehingga tidak jadi ke Pilipina. Ketika turun dari perahu dilihatnya jejak kaki, dan ia mencari-cari pemilik jejak kaki tersebut. Sewaktu menemukan Tinuri dan Sapu, merekapun mengikat kedua orang itu dan dinaikan ke perahu lalu berlayar kembali menuju Nanusa. Di tengah laut rombongan orang Dampulis membuang kedua orang tersebut ke laut dan melanjutkan perjalanan menuju Nanusa

Tinuri dan Sapu terapung-apung di laut, tiba-tiba ikan hiu yang pernah membawanya dari Pilipina datang lagi, ikan Hiu ini mengembalikan mereka ke pulau. Lama kelamahan orang-orang dari Dampulis datang lagi dengan membawa serombongan masyarakat Nanusa, sampai di pulau dilihatnya lagi, masih ada jejak kaki orang. Sampai bertemu dengan Tinuri dan Sapu yang pernah mereka buang, karena terkejut melihat keduanya masih hidup, orang-orang Dampulis beranggapan ada roh pada mereka sehingga jangan dibunuh lagi. Hingga mereka mulai hidup berdampingan sampai kawin mawin.  Sepanjang perjalanan sejarah, pulau Miangas beberapa kali berusaha dikuasai orang Pilipina terutama orang Sulu. Sampai sekarang terdapat beberapa bukti perlawanan/ perang orang Miangas melawan bangsa Pilipina seperti 2 buah benteng di Tanjung Bora dan Wui Batu (gunung keramat sekarang). Perang yang pertama pada waktu kedatangan orang Sulu Pilipina yang datang dengan 11 perahu dan jumlah 100 orang. Sementara di pulau Miangas baru didiami 5 kepala keluarga, dengan jumlah laki-laki ada 25 orang. Mereka membuat benteng di Tanjung Bora. Peperangan dengan tetesan darah para pendekar Miangas yang dipimpin seorang bernama ARE

Peperangan dengan orang Pilipina yang kedua yakni pada era panglima bernama Mura/mur’a. Orang Sulu datang dengan 5 perahu dan sebanyak 50 orang, mereka menyerang lagi. Setelahnya Mura mengambil batu besar dan mengangkatnya, ia menanam batu tersebut sampai dibawah tanah untuk menakuti orang Sulu hingga lari.

Perlawanan ketiga datang lagi orang Sulu      berjumlah 25 orang dan tinggal 2 perahu. Yang jadi panglima perang di Miangas orang Belanda dan sudah ada orang Cina yang bermukim, dan berdagang sini bernama Pentan dan Bela. Panglima perang asal Belanda tersebut bernama Andrikus. Merekapun bertarung di depan kantor Pos Angkatan Laut sekarang, dan kekuatan penduduk sudah ratusan orang. Orang Sulu menanyai, ada berapa penduduk dan kepala keluarga disini, dan apakah ada jago silat. Andrikus seorang bertubuh besar dan jago cabut kepala orang, lalu orang Cina tadi, jago silat bela diri. Jagoan dari Sulu dan Miangas saling berhadapan satu lawan satu atau duel. Kemenangan berpihak pada jagoan Miangas, dan orang Sulupun pulang.

Pulau Miangas memiliki beberapa nama, pertama Poilaten yang berarti kilat bahwa disini terpancar cahaya yang dilihat dari Pilipina dan saat 2 orang pertama berada di pulau ini, kilat menandakan bahwa 2 orang itu masih hidup. Nama kedua, Wui Batu yang berarti dilihat seperti batu dari jauh. Nama ketiga Tinonda berarti orang dari Nanusa berlayar kemari atau singgah dipulau ini. Nama keempat Miangas berarti malu atau namea dalam bahasa Sangir, dimana orang dari Talaud datang kesini sudah ada orang, dan menjadi malu. Miangas di artikan juga dengan menangis. Nama kelima, Palmas yang merupakan istilah orang Pilipina karena ada pohon pinang/palem ditanam orang Pilipina (sampai sekarang tersisa satu pohon Palem di Wui Batu), bagi orang Davao Pilipina menyebutnya Tagal Palmas.

Adat  di pulau Miangas mengenal adanya Eha atau larangan, semacam Eha untuk Manami seperti Mane’e di pulau Kakorotan. Eha ini melarang orang menangkap ikan pada lokasi tertentu lalu pada saat eha dibuka, masyarakat melakukan penangkapan ikan besar-besaran dan melakukan pesta syukuran desa dengan makan bersama. Manami terjadi saat orang tua dahulu berkeinginan ada kebersamaan dan tamasya melalui adat Eha, hasil tangkapan dibagi dan dimakan bersama.

Pada bulan Januari sampai Maret, dilarang masuk lokasi/ tangkap ikan, yang melanggar pinggir pantai akan dikenakan denda Rp. 100.000, kalau menangkap ikan dendanya Rp. 500.000. Dua  hari sebelum hari puncak acara dibuat tali yang panjang, pada hari puncak semua laki-laki diturunkan ke pantai lokasi manami yakni dari tanjung Ondene dan Libuang, mereka saling melingkar, ujungnya ketemu menjadi dua lingkaran, saat bersamaan posisi air laut sudah surut, dan ikan dikumpulkan dengan mudah. Hasil ikan tersebut dibagi-bagikan kepada pimpinan adat, pemerintah, masyarakat dan para tamu. Para tamu berada di bangsal utama yang disediakan, masyarakat di pondokan kecil atau sabuah-sabuah. Ikan untuk masyarakat sebagian dibakar atau dimasak pada masing-masing sabuah. Setelah semua telah siap, diadakanlah makan bersama dengan diiringi pagelaran seni budaya setempat.

Tradisi adat lainnya seperti kunci tahun yang digelar awal bulan Januari. Pesta kunci tahun semacam Tulude di sangihe ini diacarakan dengan tarian perang cakalele serta tarian lainnya. Kemudian pada akhir Januari dilakukan acara pelepasan warga untuk memasuki masa kerja, dimana para pekerja menurunkan alat-alat kerjanya seperti petani menurunkan peda, pegawai menurunkan pena, nelayan menurunkan panggayung, dll. Karena tahun yang baru, mereka menurunkan semua alat-alat dan memohon kepada yang Maha Kuasa untuk diberi kekuatan, pertolongan, berkat dibulan pertama tersebut. Pada bulan keempat (bulan April) dilakukan acara ucapan syukur (hasil panen), dilakukan dengan beribadah ke gereja/ doa di gereja, lalu makan-makan ditiap rumah. Aturan adat setempat masih tergolong kuat terutama dalam mengatur tata moral masyarakat, seperti adanya sangsi kepada mereka yang melakukan pelanggaran moral yang berat, seperti perselingkuhan, pencurian.

Struktur pemerintahan adat masih dipelihara yakni dipimpin seorang Ratumbanua atau Mangkubumi I dengan wakilnya Inanguanua atau Mangkubumi II. Kemudian dibawahnya ada 12 kepala suku yang membawahi masing-masing kelompok keluarga besar. Pemimpin-pemimpin adat ini tidak memiliki periode tetap, tetapi apabila melakukan kesalahan atau mengundurkan diri maka bisa diganti, yang melakukan pergantian adalah masyarakat. Kepala suku diangkat oleh masyarakat oleh anak-anak kepala suku dan Ratumbanua tidak bisa memberhentikan kepala suku. Kalau kepala desa dipilih oleh masyarakat, dalam pemilihan kepala desa, warga lebih melihat figur calon kepala desa meskipun dari suku kecil.

Perekonomian masyarakat pulau Miangas mengandalkan perkebunan Kelapa untuk membuat Kopra, disamping nelayan, pegawai, berdagang, dll. Dahulu masih berlangsung perdagangan pelintas batas pendapatan masyarakat sampai 100-200 ribu per hari, dengan jual beli barang dengan orang-orang Pilipina. Kondisi terakhir sekarang menurut Robustianus seorang warga setempat, bahwa disayangkan pembeli yang datang dari pilipina mendapatkan banyak pungutan resmi dan pungutan liar, sehingga aktivitas jual beli terhenti.

Persoalan pelik lainnya masyarakat menghadapi ketiadaan bahan bakar minyak bumi, yang telah berlangsung lama, apalagi telah adanya larangan menaikan bahan bakar minyak bumi di kapal-kapal pengangkut umum seperti kapal perintis. ”telah disediakan tangki penampung bahan bakar, namun isinya tidak ada, warga sini menjadi sangat kesusahan, tidak bisa melaut lagi, kecuali menangkap ikan dengan mengandalkan panggayung saja. Ini beresiko sebab arus laut setempat sangat besar, kalau tidak pakai mesin, perahu dapat terhanyut ke laut lepas” kata Robustianus Papea yang juga Inanguanua Miangas. Sebagai Inanguanua, Papea menambahkan perlu perhatian kepada pengembangan sejarah budaya setempat terutama fasilitas pada lokasi situs sejarah.

Mengenai sarana prasarana pelabuhan sebagai sarana sangat vital bagi masyarakat setempat belum memecahkan persoalan dalam mengatasi masalah bersandarnya kapal-kapal dari luar Miangas saat terjadi gelombang  besar pada dermaga yang ada sekarang. Dengan kondisi demikian masyarakat Miangas akan terisolir selama beberapa bulan karena tidak ada kapal masuk yang membawa stok atau bahan-bahan makanan, dan bahan lainnya. Sehingga solusinya perlu ada dermaga kedua pada bagian pulau lainnya yang berbeda tempat dan saling membelakangi. Kalau cuaca buruk kapal yang ke Miangas akan bersandar di bagian dermaga sebelahnya. (Steven).

 

Studi Teknis Benteng Nassau di Banda Naira

0
IMG_9862
Gerbang Utama

Studi Teknis Benteng Nassau berlokasi di Kepulauan Banda Naira Kabupaten Maluku Tengah Provinsi Maluku. Kegiatan ini dilakukan dalam rangka menetapkan tata cara dan teknik pelaksanaan pemugaran.

Dasar hukum pelaksanaan Studi Teknis Benteng Nassau adalah Undang-undang R.I. No.10 Tahun 2011 tentang Cagar Budaya pasal 77 yang berbunyi :

(1) Pemugaran Bangunan Cagar Budaya dan Struktur Cagar Budaya yang rusak dilakukan untuk mengembalikan kondisi fisik dengan cara memperbaiki, memperkuat, dan/atau mengawetkannya melalui pekerjaan rekonstruksi, konsolidasi, rehabilitasi, dan restorasi.

(2) Pemugaran Cagar Budaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memperhatikan:

  1. Keaslian bahan, bentuk, tata letak, gaya, dan/atau teknologi pengerjaan;
  2. Kondisi semula dengan tingkat perubahan sekecil mungkin;
  3. Penggunaan teknik, metode, dan bahan yang tidak bersifat merusak dan
  4. Kompetensi pelaksana di bidang pemugaran.

(3) Pemugaran harus memungkinkan dilakukannya penyesuaian pada masa mendatang dengan tetap mempertimbangkan keamanan masyarakat dan keselamatan Cagar Budaya.

(4) Pemugaran yang berpotensi menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan sosial dan lingkungan fisik harus didahului analisis mengenai dampak lingkungan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

(5) Pemugaran Bangunan Cagar Budaya dan Struktur Cagar Budaya wajib memperoleh izin Pemerintah atau Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya.

(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai Pemugaran Cagar Budaya diatur dalam Peraturan Pemerintah

 

Sejarah Museum Perumusan Naskah Proklamasi (1)

0

Pada masa Kebangkitan Nasional Bangsa Indonesia mulai menyadari pentingnya arti persatuan dan kesatuan dalam mencapai cita-cita Indonesia Merdeka. Sebagai manifestasi persatuan dan kesatuan itu, maka pada 28 Oktober 1928 Pemuda se-lndonesia mengadakan satu ikrar bersama, yaitu Sumpah Pemuda. Berkat kekuatan nasionalisme yang melekat pada diri Bangsa Indonesia, akhirnya cita-cita mewujudkan kemerdekaan dapat dicapai pada 17 Agustus 1945.

Ada satu peristiwa yang terjadi sebelum Proklamasi 17 Agustus 1945, yaitu Perumusan Naskah Proklamasi yang dilaksanakan di gedung bekas kediaman Laksamana Tadashi Maeda di Jalan Meiji Dori (sekarang Jalan Imam Bonjol No.1). Peristiwa tersebut merupakan salah satu rangkaian sejarah yang sangat penting bagi Bangsa Indonesia karena disinilah awal berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Gedung tempat Perumusan Naskah Proklamasi, sekarang ini dijadikan Museum Perumusan Naskah Proklamasi karena lokasi dan gedung itu mempunyai nilai sejarah yang sangat penting bagi Bangsa Indonesa dalam kaitannya dengan penyusunan naskah proklamasi. Sebagai museum sejarah, museum ini akan mengungkapkan peristiwa yang pernah terjadi di masa lalu, dimana keadaan pada saat itu tidak mungkin kita lihat pada saat sekarang tanpa mengadakan penggambaran ulang peristiwa itu.

Judul

0