Ahmad Tohari: Memberi Asa Dalam Sastra

0
3116

Memori puluhan tahun itu masih bersarang di benak Ahmad Tohari. Suatu ketika, koran yang tengah ia baca ditarik oleh sang bibi sambil berkata “Kayak kamu mau jadi apa baca-baca koran!”.

Kejadian tersebut tentunya menyayat hati. Ditambah lagi kala itu masih umum terdengar hanya mereka yang ingin menjadi priayi, atau bahkan cukup priayi saja, yang dianggap pantas membaca koran.

“Perasaan saya ya cuma sakit saja” ucapnya.

Ahmad Tohari merasakan lompatan budaya yang luar biasa dalam hidupnya. Duduk di bangku sekolah, bercengkerama dengan buku dan menghabiskan waktu berjam-jam lamanya hanya untuk membaca menjadi barang mahal yang ia rasakan. Bukan tanpa alasan, pria asal Banyumas ini lahir di tengah-tengah keluarga yang saat itu belum sadar sepenuhnya budaya literasi.

“Ibu saya masih buta huruf, apalagi kakek saya. Jadi kalau sekarang saya jadi penulis itu sungguh lompatan budaya yang sangat jauh,” jelas sastrawan Ahmad Tohari, yang ditemui di kediamannya, di Banyumas, Jawa Tengah.

Tohari muda hampir menghabiskan sebagian waktunya di tanah kelahirannya. Ia lalu melanjutkan hidup di Purwokerto untuk menyelesaikan pendidikan SMA. Perkenalan dengan buku jauh terasa lebih syahdu di kota tersebut. Buku demi buku yang ia jelajahi seolah membuka cakrawala pengetahuan yang berujung pada lembaran cerita tentang tokoh-tokoh dalam karya sastranya.

Sastra dan Tohari bak menjadi dua sisi yang tak pernah terpisahkan. Jatuh cinta kepada dunia sastra sudah dirasakan Tohari sejak ia duduk di bangku SMA. Barulah selepas SMA pria yang pernah mendapatkan penghargaan di tingkat Asean ini mengirimkan karyanya ke berbagai media massa. Cerpennya yang berjudul Jasa-jasa Buat Sanwirya berhasill mengantongi Hadiah Harapan Sayembara Kincir Emas yang diselenggarkan Radio Nederlands Wareldomroep (1977). Tak lama kemudian, Kubah (1980) dan Ronggeng Dukuh Paruk (1982) terbit bergiliran dan  memberikan sejarah baru di dunia sastra.

“Ada bermacam alasan kenapa saya menulis, karena saya ‘hamil’ tulisan. Sederhananya, kenapa kamu melahirkan karena ada bayi di dalam perutmu. Saya pun demikian, saya hamil sastra. Siapa yang menghamili? tentu lingkungan saya. Jadi harus dilahirkan,” tegasnya.

Cerita Untuk “Wong Cilik”

Tokoh-tokoh yang dilahirkan Tohari tak jauh dari sebuah realitas kehidupan. Ia tak hanya mengandalkan imajinasi, namun menghidupkan fenomena-fenomena yang pernah terjadi sebagai keutuhan cerita. Tentu dikemas sebagai karya sastra dengan fondasi pijar imajinasi dan bahasa yang memikat.

Itulah mengapa tokoh-tokoh yang dihadirkan Tohari sebagian besar merupakan potret kehidupan masyarakat miskin, seperti gelandangan, pelacur, pengemis yang diceritakan dengan penuh deskriptif. Dirinya berprinsip, menjadi penulis realisme merupakan kekukuhan hati yang tak bisa ditawar.

“Aliran saya realisme. Saya hanya mampu menulis berdasarkan pengalaman yang saya lihat, dengar, baca tentang kenyataan. Jadi kalau menulis sebetulnya mengekspresikan diri saya sambil beridealis. Saya tidak bisa menulis di luar masyarakat kecil, lebih nikmat menulis tentang gelandangan, orang gila, pelacur dan pengemis. Saya sadar karya ini melawan pasar, tapi ini mewakili jiwa saya” ujar pria yang tahun ini menginjak usia ke-70.

Tohari percaya, dengan menulis sebenarnya turut andil memberikan kontribusi terhadap kehidupan. Kata demi kata yang ia uraikan dalam sebuah kalimat sastra nantinya mampu membangkitkan secercah jiwa pembaca. Selain itu, sastra juga dapat mengasah daya kepekaan terhadap sesama.

“Karena sastra mengisi jiwa kita dengan kepekaan, sensitivitas. Orang yang banyak membaca sastra lebih peka terhadap sensitivitas sosial dibandingkan yang tidak sama sekali. Saya berharap anak-anak muda dapat memberikan kontribusi dan membangun bangsa ini, supaya mereka tidak melulu pintar dan cerdas namun juga peka,” tukasnya.

 

Foto: Ahmad Bagwi