Diorama I menampilkan adegan peristiwa sejarah sejak Perang Diponegoro (1825-1830) sampai dengan masa Penjajahan Jepang (1942-1945). Salah satu adegan pada dome ketiga Diorama I adalah Diorama adegan Kyai Haji Ahmad Dahlan sedang menyampaikan gagasannya dalam pertemuan saat diputuskan berdirinya Organisasi Muhammadiyah di Yogyakarta yang berlangsung di Kauman, Gondomanan Yogyakarta pada 18 November 1912.
Sejarah singkat diorama tersebut menceriterakan perkembangan keagamaan umat Islam di Indonesia sampai akhir abad XIX sangat memprihatinkan. Amalan dalam Islam sudah banyak menyimpang dari tuntunan pokoknya, yaitu Al Quran dan As-Sunnah. Praktek-praktet khurofat (takhayul), Bid’ah (menambah ibadah) dan syirik (menyekutukan Tuhan), telah banyak mempengaruhi pengamalan Islam. Di samping itu tingkat pendidikan dan sosial kaum Islam belum mengalami masa cerah, akibat diskriminasi yang dilakukan pemerintah Hindia Belanda. Keadaan itu mendorong Kyai Haji Ahmad Dahlan untuk mengadakan usaha Tajdid (reformasi), yaitu pembaharuan pengamalan kehidupan Islam di Indonesia, yang dikembalikan kepada sumber aslinya (Al Quran dan As-Sunnah).
Upaya untuk diwujudkan dengan berdirinya organisasi yang diberi nama Muhammadiyah, artinya pengikut Nabi Muhammad SAW. Gerakan Muhammadiyah ini secara resmi berdiri pada tanggal 18 November 1912 (18 Zulhijah 1330 H) di Kauman Yogyakarta. Pada awal berdirinya gerakan ini didukung para ulama antara lain KH. Abdullah Siraj, KH. Ahmad, KH. Abdurrahman, KH. R. Syarkowi, KH. Muhammad, KH. R. Jaelani, KH. Anies dan KH. R. Fekih. Sebagai ketua adalah KH. Ahmad Dahlan dan sekretarisnya KH. Abdullah Siraj.
Sebenarnya ide untuk mendirikan Muhammadiyah telah lama muncul. Cita-cita mengadakan pembaharuan Islam telah dimulai sejak tahun 1316 H atau 1896 M yaitu dengan pembetulan arah Qiblat terhadap langgar-langgar dan mesjid-mesjid di Yogyakarta yang dipelopori oleh KH. Ahmad Dahlan.
Tindak lanjut dari pendirian Muhammadiyuah, pada tanggal 20 Desember 1912 KH. Ahmad Dahlan mengajukan surat permintaan “recttperson” bagi Muhammadiyah kepada Gubernur Jenderal Belanda di Jakarta. Permintaan ini dikabulkan dengan surat ketetapan Gouvernement Besluit No. 81 tanggal 22 Agustus 1914. Pengakuan Muhammadiyah sebagai badan hukum mula-mula hanya berlaku di Yogyakarta tetapi kemudian berkembang juga di daerah-daerah lain.
Untuk mewujudkan cita-citanya, Muhammadiyah tidak hanya memusatkan kegiatannya di bidang dakwah namun juga memberikan kursus-kursus dan pelajaran-pelajaran agama Islam, mendirikan sekolah-sekolah umum maupun madrasah-madrasah, yang memberikan ajaran agama secara mendalam dengan tidak melupakan pengetahuan umum. Dengan perkataan lain, cita-cita dan perjuangan Muhammadiyah membentuk manusia muslim yang berpendidikan intelek, atau mendidik manusia intelek yang berjiwa muslim.
Di bidang kemasyarakatan, Muhammadiyah mendirikan poliklinik-poliklinik, rumah sakit, memelihara anak-anak yatim piatu, menerbitkan buku-buku agama dan buku bacaan lainnya, menerbitkan surat kabar, majalah dan sebagainya. Dengan demikian ditinjau dari segi idiologis, perjuangan muhammaddiyah untuk memodernisasikan cara menyiarkan dan mengembangkan agama Islam dapat dikatakan berhasil.
Ketika Muhammadiyah belum diperkenankan membuka cabang dan rantingnya di luar Yogyakarta, masyarakat yang ingin mendirikan Muhammadiyah di daerah lain dianjurkan menggunakan nama lain. Sehingga sesuai dengan anjuran itu di Pekalongan berdiri Nurul Islam, di Makasar berdiri Almunir, di Garut berdiri Alhidayah. Sedangkan di Sala berdiri perkumpulan Sidik Amanat Tabligh Fathonah (SATF). Perkumpulan ini merupakan cabang Muhammadiyah di Sala waktu itu.
Di dalam kota Yogyakarta KH. Ahmad Dahlan menganjurkan adanya jamaah dan perkumpulan pengajian dan menjalankan kepentingan Islam menurut kemampuannya, dengan nama masing-masing yang mendapat bimbingan dari Muhammadiyah, seperti Ikhwanul-Muslimin, Taqwimuddin, Cahaya Muda, Hambudi Suci, Khayatul-Qulub, Priya-Utama, Dewan Islam, Thaharatul-Qulub, Thaharatul-Aba, Ta’awana alal birri Ta’rifu bima kana, Wal-Fajri, Wal-Asri, Jamiyatul Ummahat, Jamiatul Muslimin, Syarihatul Mabtabi dan lain-lain.
Oleh karena banyaknya cabang Muhammadiyah yang berdiri di luar kota Yogyakarta, KH. Ahmad Dahlan mengajukan permohonan ijin untuk pendirian cabang Muhammadiyah di Yogyakarta yang kemudian dikabulkan dengan Besluit dari Pemerintah Belanda No. 40 tanggal 16 Agustus 1920. Kemudian pada tanggal 7 Mei 1921 KH. Ahmad Dahlan mengusulkan permohonan izin lagi untuk kesempurnaan maksud dan tujuan persyarikatan Muhammadiyah di seluruh Indonesia (dulu Nederland Indie). Usul ini disetujui oleh Gubernemen dengan Besluit No. 3 tanggal 2 September 1921. Seiring dengan timbulnya kepanduan di Yogyakarta, maka pada permulaan tahun 1922 dalam organisasi Muhammadiyah juga dibentuk organisasi kepanduan dengan nama Hizbul Wathan dibawah pimpinan Yumaeni.
Dengan lahirnya Muhammadiyah tercatatlah dalam sejarah bahwa gerakan ini merupakan pelopor kebangunan Islam Indonesia. Sedangkan jika ditinjau dari segi nasional, maka Muhammadiyah pun terhitung pelopor kebangunan nasional.
Sumber : Buku Panduan Museum Benteng Vredeburg Yogyakarta