Sendratari Sindoro-Sumbing “Mapageh Sang Watu Kulumpang”

0
1853

(21/7) Mapageh Sang Watu Kulumpang adalah salah satu rangkaian penutup acara Manusuk Sima. Yaitu ketika pemimpin menutup upacara dengan peneguhan (mapageh) kesepakatan. Mapageh ini menjadi salah satu agenda pada Festival Sindoro-Sumbing, 19-20 Juli 2019.

Festival ini memberikan kesan tersendiri bagi pemenang kontes menulis yang diadakan oleh Wikipedia yang bekerjasama dengan Direktorat Jenderal Kebudayaan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Fandy Aprianto Rohman adalah pemenang kontes “Wiki Jelajah” dan berhak mendapatkan perjalanan budaya. Pengalaman mengikuti perjalanan budaya dalam Festival Sindoro Sumbing diabadikannya ke dalam sebuah tulisan.

“Sendratari Sindoro-Sumbing merupakan inti dari rangkaian acara kebudayaan FSS 2019 (Festival Sindoro-Sumbing 2019) yang berlangsung di Lapangan Kledung, Temanggung. Festival tahunan ini diadakan untuk pertama kalinya pada tanggal 19 dan 20 Juli 2019 dengan gabungan dari pemerintah Kabupaten Wonosobo dan Kabupaten Temanggung, yang mengangkat kearifan lokal dan ramah lingkungan melalui pendekatan kreatif-kolaboratif dalam bentuk festival kebudayaan dan seni. Adapun tema dalam FSS 2019 adalah “Lestari”, yang masih dipecah lagi menjadi “Lestari Alamnya, Lestari Budayanya, dan Lestari Masyarakatnya”.

Sendratari Sindoro-Sumbing sendiri mengusung ikrar “Mapageh Sang Watu Kulumpang”. Ikrar ini juga dimeriahkan oleh arak-arakan dari kedua kabupaten menuju Lapangan Kledung, kemudian dilanjutkan dengan tarian yang dirancang oleh para seniman dari Wonosobo dan Temanggung, yaitu Topeng Lengger Sontoloyo (dari Wonosobo) dan Jaran Kepang Satria Bhumi Phala (dari Temanggung).

Adapun Mapageh Sang Watu Kulumpang yang menjadi ikrar dalam acara Sendratari Sindoro-Sumbing dan landasan dari FSS 2019 adalah sebuah rekonstruksi Manusuk Sima atau penetapan tanah Sima, sebuah daerah yang dijadikan perdikan oleh Kerajaan Mataram Kuno pada tahun 900 Masehi. Masyarakat di wilayah sekitar perdikan (meliputi Wonosobo dan Temanggung) dibebaskan pajaknya dengan syarat harus merawat dan membiayai kebutuhan bangunan suci, kelestarian lingkungan, mata air, lingkungan sungai, dan keamanannya. Kulumpang sendiri merupakan objek utama simbol dan media dalam ritus Manusuk Sukma, sedangkan lumpang di era kuno melambangkan aktivitas yang erat kaitannya dengan kegiatan peribadahan serta adanya peradaban, yaitu pengolahan hasil cocok tanam hingga diolah menjadi makanan.

Melalui semangat melestarikan lingkungan itulah, FSS 2019 hadir untuk menggaungkan kondisi lingkungan Sindoro-Sumbing yang semakin tergerus dalam Sendratari Sindoro-Sumbing. Panitia bersama elemen lain sengaja mengangkat isu-isu lingkungan di wilayah Wonosobo dan Temanggung, yaitu peristiwa kebakaran hutan dan kerusakan lingkungan di lereng Gunung Sindoro dan Gunung Sumbing serta upaya masyarakat mengatasi permasalahan tersebut turut diangkat. Seperti diketahui bahwa kebakaran hutan di kedua lereng gunung tersebut hampir terjadi setiap tahun. Selain itu, banyak pula kerusakan di lereng kedua gunung akibat kegiatan penambangan liar, seperti halnya galian C. Hal inilah yang membuat diperlukannya sebuah upaya strategis melalui pendekatan kreatif dalam mengemas ajakan menjaga alam di kedua wilayah tersebut dan bersifat kolaboratif antara masyarakat, komunitas, pemerintah, swasta, dan akademisi melalui deklarasi dan penetapan wilayah Sindoro-Sumbing menjadi daerah yang wajib dijaga kelestariannya. Selain itu, hal ini juga menjadi kritik bersama, khususnya pemerintah pembuat kebijakan, agar nantinya ada peraturan yang dibuat di kedua kabupaten dalam menyikapi kerusakan lingkungan maupun kebakaran hutan yang seringkali terjadi.

Sendratari Sindoro-Sumbing yang menjadi sub rangkaian acara FSS 2019 dan menjadi kegiatan rutin di wilayah Wonosobo dan Temanggung tersebut disokong oleh Direktorat Jenderal Kebudayaan – Kemendikbud (Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan) Republik Indonesia melalui program platform Indonesiana. Indonesiana merupakan platform pendukung kegiatan seni budaya di Indonesia yang bertujuan untuk membantu, mendorong, dan memperkuat tata kelola kegiatan seni budaya yang berkelanjutan, berjejaring, dan berkembang sesuai dengan amanat UU. No. 5 Tahun 2017 melalui gotong royong antara pemerintah dan masyarakat dalam penguatan kapasitas daerah untuk menyelenggarakan kegiatan budaya sesuai asas, tujuan, dan objek pemajuan kebudayaan. Indonesiana sendiri dikerjakan dengan semangat gotong royong dan melibatkan semua pihak yang memiliki kepedulian dan kepentingan atas pemajuan kebudayaan di Indonesia.

Dukungan pada kegiatan-kegiatan berbasis budaya seperti Sendratari Sindoro-Sumbing ini juga diharapkan dapat menumbuhkan ekosistem kebudayaan yang mengakar kuat pada kearifan-kearifan lokal masyarakat setempat. Dengan berlangsungnya ekosistem kebudayaan yang berkesinambungan, tentunya kelestarian dan keberlangsungan khazanah budaya di tengah-tengah kehidupan masyarakat akan tetap dinamis. Selain itu, kegiatan seni budaya seperti Sendratari Sindoro-Sumbing yang melibatkan dua wilayah tersebut juga diharapkan menjadi parade budaya yang menarik wisatawan ke Wonosobo dan Temanggung serta bernilai jual tinggi, sehingga mendatangkan manfaat bagi masyarakat di wilayah Wonosobo dan Temanggung. Di sisi lain, Sendratari Sindoro-Sumbing dapat dijadikan sebagai ladang ekspresi dan kreativitas bagi seniman Wonosobo dan Temanggung, sehingga diharapkan dunia kesenian dan budaya di kedua wilayah semakin maju dan berkualitas ke depannya.” – Fandy Aprianto Rohman, Pemenang Lomba Penulisan Wiki Jelajah ketika berkunjung ke Festival Sindoro-Sumbing.