Banda, Maluku – Alunan musik perlahan-lahan mulai terdengar seiring dengan merapatnya Kapal Pangrango ke Pelabuhan Banda Neira. Gerakan luwes Tari Lenso, pun ditunjukkan sebagai bentuk keramahan yang ditawarkan penduduk setempat untuk para tamu kehormatannya. Peserta tampak antusias menyambut kedatangan diri ke Banda Neira, sebuah pulau bersejarah yang berada di bagian Timur Nusantara. Di sini, mereka diajak menyelami keindahan pulaunya lewat cerita sejarah tentang Perjanjian Breda.
Sebelas November 2017 menjadi momentum yang pas karena bertepatan dengan 350 tahun ditandatanganinya Perjanjian Breda. Perjanjian ini mengubah sejarah dunia. Isinya tak lain menyatakan bahwa Kerajaan Inggris akan melepas kekuasaan atas Pulau Rhun ke Belanda dan ditukar dengan Pulau Manhattan di Benua Amerika. Apalagi di abad ke-17 Pulau Rhun menjadi pusat perniagaan penting karena produksi buah pala yang bernilai tinggi melebihi harga emas.
Tak lama setelah kedatangan, para peserta diajak menuju Istana Mini yang menjadi pusat penyelenggaraan Internasional Seminar 350th Anniversary of The Treaty of Breda. Di tempat ini pula Penutupan Pesta Rakyat Banda 2017 dihelat.
Terlaksananya seminar Internasional Seminar 350th Anniversary of The Treaty of Breda bukan hanya sekadar dianggap penting, namun cukup strategis jika dilihat dari tiga uraian alasan. Pertama, tentunya ingin mempertegas bahwa Maluku, khususnya Banda merupakan pulau penghasil rempah yang amat sangat bernilai tinggi.
“Sehingga secara geo-ekonomi memiliki pengaruh sangat besar dalam perdagangan internasional dan perubahan iklim sosial-budaya dan politik global. Contohnya adalah penyebaran agama dan budaya karena jalur perdagangan rempah-rempah yang terjadi tidak hanya di Banda, namun juga penjuru Nusantara lainnya,” ujar Said Assagaff, Gubernur Maluku dalam sambutan pembukaan.
Said Assagaff melanjutkan, alasan yang kedua ialah sebagai momentum untuk mengembalikan kejayaan rempah-rempah, baik sebagai komoditas lokal maupun sebagai simbol identitas budaya masyarakat Maluku.
“Sedangkan yang ketiga adalah sebagai media dialog dan silaturahmi lintas peradaban antara Maluku khususnya Banda, dengan Inggris dan Amerika. Adapun sejarah masa lalu bukan alasan untuk bermusuhan, namun menjalin tali persaudaraan yang sejati,” tutupnya.
Pengetahuan tentang sejarah tak hanya didapatkan peserta melalui seminar semata. Di Istana Mini ada sisi lain yang dapat diulik. Bentuk arsitekturnya yang menyerupai Istana Negara di Jakarta ini dulunya merupakan kantor pusat perdagangan rempah-rempah, sekaligus kediaman Gubernur Jenderal Belanda.
Selain itu Istana Mini juga melangsungkan pameran bertajuk “Banda Warisan Untuk Indonesia: Pala dan Perjanjian Breda 1667-2017”. Pameran ini menyoroti sejarah Banda sebagai pusat perhatian perdagangan dan politik internasional. Hasil akhirnya, diharapkan masyarakat Banda mampu melihat dirinya sendiri sebagai bagian yang tak terlepas dari sejarah. Mereka ialah penerus bangsa yang besar, yang sejak dahulu memiliki peranan dalam sejarah perdagangan dunia.
(Teks: Septian Tito Megananda)