Palu-Suaranya lantang menyuarakan bait-bait puisi. Ia membawakannya dengan penuh percaya diri dan penuh ekspresi. Riuh tepuk tangan penonton tak dapat dielakan saat ia mengakhiri pembacaan. Perlahan seorang ibu paruh baya mendekat dan menuntun gadis itu menuruni tangga didepan panggung Pekan Budaya Indonesia. Menuju arah penonton dan membaur diantara mereka.
Selepas pentas, didampingi ibunya kami menyempatkan berbincang dengan gadis yang biasa dipanggil Vani tersebut. Kepercayaan diri, itulah yang terpancar dari pembawaannya yang tenang serta suaranya yang halus. Karena suara panggung yang bingar dan cukup bising, sesekali dia menunduk mencoba mendengarkan pertanyaan yang kami ajukan lebih seksama.
Bagi Vani, puisi adalah soal makna. Dia menyukai puisi karena indah dan mengandung arti yang dalam. Itulah yang membuatnya gemar membacakan dan mengarang puisi.
Keterbatasan fisik tidak menghambatnya untuk terus belajar dan menekuni puisi. Siswi SLB Negeri 2 kota Palu tersebut mengatakan bahwa ia belajar puisi dari mendengar dan membaca. “Banyak kawan-kawan yang pandai membaca puisi, saya juga ingin bisa membaca puisi”, tambahnya.
Vani bukanlah anak yang mengalami tuna netra sejak lahir, dia pernah belajar seperti anak umumnya. Pada usia 6 tahun dia harus masuk Sekolah Luar Biasa dan belajar huruf Braille. Kesulitan sempat dirasakan pada awalnya, tapi ia tidak putus asa. “Awalnya sulit, tapi lama kelamaan bisa” jelas Vani dengan senyum yang jarang lepas dari wajahnya.
Vani mengaku guru-gurunya banyak membantu dia untuk terus berpuisi dan belajar hal lainnya. Kini siswi kelas XI tingkat SMA itu tetap dapat menekuni hobi yang dia sukai, yaitu seni. Siswi yang juga menyukai pelajaran geografi dan Bahasa Inggris tersebut berharap kelak dapat menjadi seorang guru.