Raden Ajeng Kartini, sebuah nama yang sangat tidak asing di telinga masyarakat Indonesia. Hari kelahirannya, 21 April, selalu disambut dengan sukacita, tidak hanya kaum perempuan, namun juga seluruh lapisan masyarakat Indonesia. Perjuangan RA Kartini untuk mengangkat derajat perempuan Jawa saat itu melalui pendidikan berdampak besar sampai saat ini. Baginya, pendidikan adalah jalan utama bagi setiap manusia untuk dapat hidup dengan layak.
Semangat itu juga yang dibawa oleh seorang Saur Marlina Manurung, atau lebih dikenal dengan Butet Manurung. Perempuan yang lahir di Jakarta, 21 Februari 1972 ini menaruh perhatian besar bagi pendidikan masyarakat pendalaman. Hal ini Ia buktikan dengan Sokola Rimba bagi suku asli Orang Rimba, Jambi pada tahun 2004 lalu.
Kepedulian Butet Manurung dalam usahanya untuk memberikan pendidikan bagi masyarakat Rimba dimulai dari kegemarannya menonton film-film petualangan semasa kecil. Film-film seperti Indiana Jones memotivasi dirinya untuk menamatkan pendidikan sarjana Antropologi dan Sastra Indonesia dari Universitas Padjajaran Bandung. Selepas meraih gelar sarjana, Butet Manurung sempat berkerja sebagai pemandu wisata di Taman Nasional Ujung Kulon. Sampai pada tahun 1999, sebuah iklan lowongan kerja dari Lembaga Swadaya Masyarakat Warung Infromasi Konservasi (Warsi) di Harian Kompas menarik perhatiannya. Lowongan kerja sebagai fasilitator pendidikan alternatif bagi suku asli Orang Rimba, Jambi itu menggetarkan hatinya dan merasa inilah pekerjaan yang Ia cari selama ini.
Selepas 3 tahun bersama Warsi, Butet Manurung beserta rekan-rekannya membentuk LSM pendidikan bagi suku terasing, yang dimulai dari suku Rimba. Butet berpendapat bahwa pendidikan yang diajarkan kepada masyarakat Suku Rimba dapat mengatasi masalah saat masyarakat Rimba berhadapan dengan masyarakat luar. Dengan pendidikan, meskipun sebatas baca dan tulis, masyarakat Suku Rimba dapat setahap lebih maju dan tidak lagi merasa dirugikan.
Usaha Butet Manurung dan rekan-rekannya tidaklah mudah. Penolakan dan pengusiran kerap diterima oleh Butet Manurung karena dianggap sebagai orang luar dan dapat membawa malapetaka di bagi masyarakat setempat. Namun Butet Manurung tidak patah semangat. Ia terus menerus berusaha untuk mencuri hati orang Rimba dengan pendekatan budaya setempat. Sampai suatu saat tiga orang anak kecil menghampirinya untuk belajar angka dan huruf. Mulai dari saat itu, masyarakat Suku Rimba menerima Butet Manurung dan mendapatkan pendidikan layaknya masyarakat Indonesia pada umunya.
Setelah sukses dengan Sokola Rimba, Butet membuka sejumlah sekolah untuk suku-suku terasing di Indonesia, seperti di Pulau Besar, Sikka, NTT, suku Asmat di Papua, dan suku Kajang di Sulawesi Selatan. Butet Manurung membuktikan bahwa semangat juang Kartini untuk memajukan sesama manusia akan tetap ada di dalam tubuh masyarakat Indonesia.
Sumber:
Profil Penerima Penghargaan Kebudayaan 2015