Cinta: sebuah pengertian yang menggetarkan hati dan membingungkan selama berabad-abad, sepatah kata yang dengan mudah jadi banal tapi juga bisa membuat orang merelakan dirinya sendiri.
Demikian Goenawan Moehammad dalam “Caping” menafsirkan cinta. Itu tafsirnya. Setiap orang tentu punya definisi masing-masing. Dan, tidak ada definisi “benar” atau “sesat” tentangnya. Tapi menarik untuk mengutip Goenawan Mohammad, “Cinta:.. bisa membuat orang merelakan dirinya sendiri”.
Disini terlihat bahwa cinta menjadi antitesis dari akal. Pertentangan dari logika. Kontradiksi dari nalar. Penyair legendaris Khalil Gibran pun seolah membenarkan dalam sajak-sajaknya. Kedatangan cinta adalah kekalahan ego.
Kisah tentangnya pun selalu menarik, jika tak disebut mendarah daging. Tak akan usang sepanjang sejarah keberadaan manusia. Dari Inggris abad petengahan kita mengenal Rome dan Juliet, Prancis punya Beauty and The Beast-nya, di timur tengah ada Laila Majnun, dari India datang epos Rama Sinta, lalu ada tragedi yang dilatari oleh kecelakaan kapal Titanic.
Tapi menggambarkan kekuatan cinta, tak ada yang lebih tepat dari kisah Panji. Tak banyak yang tahu ceritanya. Padahal dibanding kisah-kisah tersebut diatas, panji jauh lebih unik.
Ia berkisah tentang pangeran Jengala yang mengembara mencari sang Istri, putri Kediri Dewi Sekartaji.
Dikisahkan saat keadaan berbahaya di Jenggala, Dewi Sekartaji melarikan diri dan menghilang. Panji memutuskan mencari. Dalam pencarian, dia menyamar sebagai seniman, badut, pengamen dan sebagainya untuk menemukan istrinya. Demikian dengan Dewi Sekartaji, demi keselamatan harus berganti-ganti penyamaran.
Disinilah kekuatan kisah Panji. Demi cinta, seorang pangeran yang terbiasa hidup mewah di istana rela melepas ego, menanggalkan identitas untuk turun kebawah. Hidup jelata, menanggung susah, berganti-ganti identitas, bertahun-tahun penuh bahagia yang luka, suka nan duka.
Ego terbukti kalah, “Cinta:.. bisa membuat orang merelakan dirinya sendiri”.
Dan panji, ia bukan dongeng belaka.
Di gunung Penanggungan, 40 km dari kota Mojokerto, terdapat Candi Kendalisodo. Di Malang ada Candi Jago. Lalu Candi Panataran di Blitar. Kesemua candi tersebut dibangun pada era Majapahit dan hampir semua diperuntukan sebagai pemujaan. Menariknya, relief cerita Panji terukir disana.
Ilmuan Jerman, Lydia Kieven, bahkan mendapati lebih dari 20 situs candi di Jawa timur yang menampilkan cerita Panji. Berarti, kisah Panji sangat penting dalam peradaban terbesar Nusantara itu (Majapahit).
Episode-episode pengembaraannya juga menurunkan kisah-kisah lokal lainnya. Tersebar di berbagai wilayah Indonesia. Sebutlah Ande-ande lumut, Keong Mas, Timun Mas, Joko Bluwa dan masih banyak lagi yang kebanyakan menjadi dongeng. Bahkan, varian-varian turunan panji tersebar hingga Sumatra, Malaysia dan Myanmar.
Panji dengan kisah cintanya membentuk dunia sendiri “dunia Panji”
Sawega, Ardus M. (Ed).Topeng Panji: Mengajak Kepada yang Tersembunyi. 2014.Surakarta: Bentara Budaya, Balai Soedjatmoko.