Tari Perang Mengawali Program Pegiat Budaya

0
2204

Auckland- Hari pertama (15/11), kuyub keringat membasahi batik peserta. Tenaga dan suara mereka terkuras setelah mempraktekan sebuah tarian yang sangat enerjik, “Haka”. Acara yang bertempat di rumah adat suku Maori (Marae) tersebut dipandu oleh Dr. Valance Smith, pakar Maori dari Auckland University of Technology (AUT). Tarian perang  tersebut berhasil membakar semangat para pegiat dihari pertama program.

“Kekuatan dari Haka yang full power dan mengeluarkan suara yang keras membuat saya semakin bersemangat” ujar Parisca Indra, salah satu pegiat bidang tari.

Sebelumnya pada acara penyambutan, para delegasi besutan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan disambut dengan ‘Powhiri’, upacara ala Maori. Dalam tradisi suku Maori, powhiri adalah ritual menyambut tamu kehormatan. Tidak semua orang bisa disambut dengan upacara sakral tersebut. Tamu baru boleh memasuki Marae setelah dipersilahkan. Setelah itu disambut dengan nyanyian atau tarian.

_mg_2821

Tidak hanya itu, tamu juga harus membalas nyanyian dan tarian kepada tuan rumah. Disini delegasi budaya Indonesia unjuk gigi. Digawangi oleh tim tari, para peserta sukses memukau pihak AUT saat menyanyikan lagu Indonesia, Kebyar-kebyar dan Cublak-cublak Suweng. Dengan Tahuri khas Maluku-nya, Markus Rumbino membuka lagu. Gema Swaratyagita mengiringi dengan pianica dan tifa, serta Are Puspita Tri Noor Aini sebagai lead vocal. Puncak dari acara powhiri ini adalah “Hongi”, salam dengan cara ‘adu’ hidung.

Sementara para delegasi pria diajari ber-Haka, peserta wanita belajar membuat poi, bola bertali yang diayun-ayunkan sambil menari. Pada masanya, poi digunakan oleh pria untuk menjaga kelenturan pergelangan tangan mereka. Kini, poi lebih sering hadir dalam tarian oleh kaum hawa.

Diakhir acara, masing-masing tampil memperlihatkan ‘Haka’ dan tarian dengan ‘poi’.

Setelah dibawa dalam nuansa asli rumah adat dan berkenalan dengan tradisi-tradisi Maori, para peserta kemudian diajak menuju ke era modern, teknologi digital. Mereka belajar bagaimana promosi dan pelestarian budaya melalui teknologi seperti yang dilakukan di Selandia Baru.  Diharapkan para peserta mendapat pemahaman bahwa teknologi informasi dapat berperan sangat signifikan untuk pelestarian budaya dan tahu bagaimana melakukannya. Hal inilah yang membuat tradisi lokal bisa hidup di Selandia Baru dalam era modern, dan bahkan menjadi populer.

_mg_3023