Jakarta – Pesisir dan sungai merupakan dua entitas yang saling berkaitan dan memiliki persamaan di antara banyaknya perbedaan. Kedua hal ini apabila dikaitkan dengan sejarah di Nusantara memiliki hal-hal penting yang menarik untuk dibahas. Kedua hal tersebut juga dibahas dalam Konferensi Nasional Sejarah X pada hari kedua. Pembahasan pertama adalah “Pasang Surut Jaringan Transportasi Sungai di Palembang 1900-1942” yang dipaparkan oleh Nanda Julian.
Menurut Nanda, dinamika transportasi sungai di Palembang banyak dipengaruhi dan mempengaruhi berbagai hal di masyarakat. “Palembang merupakan rantai penghubung antara daerah pedalaman penghasil komoditas dan daerah perkotaan,” menurutnya. Hal tersebut yang berakibat berkembangnya banyak moda transportasi sungai seperti yang dimiliki beberapa kongsi Belanda besar seperti Koninkklijke Pakeetvaart Maatschappij (KPM) dan beberapa kongsi Tiongkok dan Arab.
Hal tersebut menurut Nanda juga berhasil mengangkat taraf kehidupan rakyat Palembang yang akhirnya menaikkan jumlah para jemaah haji dan pembelian mobil di Palembang. Dalam presentasinya, Nanda berkesimpulan bahwa hal tersebut menjadikan pula malaise dalam transportasi sungai di Palembang, antara lain sebabnya adalah perkembangan pembangunan jalan dan rel kereta api yang didorong dari perkembangan taraf ekonomi masyarakat palembang, serta kepentingan pemerintah kolonial atas fenomena tersebut.
La Ode Rabani pada sesi kedua memaparkan mengenai “Kota Kota di Pesisir Timur Pulau Sulawesi pada awal abad XX”. Menurutnya, masing-masing kota di pesisir timur pulau Sulawesi pada awal abad ke-20 mengalami perkembangan yang signifikan, walaupun beberapa di antaranya memiliki kondisi yang berbeda-beda. Ia pun menambahkan, ada beberapa kota yang memiliki faktor yang justru melemahkan, seperti kondisi geografis dan banyaknya bajak laut. Adapun dua presentasi yang ditampilkan memiliki benang merah berupa efek jaringan pelayaran dalam sejarah.
Penulis : Indra