Laut Bukan Pemisah Namun Pemersatu

0
1081

Malang -Salah satu pameran yang berlangsung di Pekan Budaya Indonesia adalah Pameran Jalur Rempah Sebagai Simpul Peradaban Bahari. Untuk meramaikan pameran tersebut, panitia PBI 2016 menggelar talkshow dengan menghadirkan narasumber Dosen dari Universitas Indonesia, Ali Akbar dan Dosen Universitas Hasanudin, Yadi Mulyadi. Kedua narasumber tersebut membahas topik bahasan dengan konteks maritim dalam budaya sejarah dan konteks maritim khususnya pada masa sejarah. Para peserta yang datang dalam seminar ini adalah mahasiswa Universitas Negeri Malang dan Universitas Muhammadiyah Malang, serta guru di Kota Malang. Kegiatan ini dilaksanakan di ruang pameran PBI 2016, Taman Krida Budaya, Malang, Sabtu (3/9).

Dalam paparannya, Ali Akbar mengatakan bahwa bahari identik dengan masa lampau sedang maritim adalah istilah masa sekarang. Bahari mengacu pada adat atau lebih lanjutnya adalah budaya, sedang maritim lebih spesifik ke arah perdagangan dan pelayaran. Namun keduanya sama sama berkaitan dengan lautan.

“Nenek moyang kita pada masa prasejarah sudah menguasai perdagangan jalur sumber daya emas. Dan mereka memilih ke laut selatan sehingga bisa kemana-mana. Poin pentingnya adalah kita harus menguasai sumber daya yang ada di daratan, baru kemudian dibawa ke lautan hingga mancanegara”, papar Ali Akbar. Pola itu dipakai oleh nenek moyang kita ketika membawa rempah yang juga dianggap emas, yang dibutuhkan di Eropa dan Timur Tengah. Hingga keadaan itu dikuasai oleh politik pecah belah yang memonopoli sumber daya yang besar ini.

Ali Akbar juga mengetengahkan mengenai Poros Maritim Dunia yang dicanangkan Jokowi dengan menguatkan kembali budaya bahari, pelaut tangguh, menguasai sumber alam, tahu cara berdagang, dan memunculkan kembali budaya bahari. Selanjutnya dijelaskan selain sumber daya di daratan, harus memaksimalkan sumber daya lautan, intrastruktur dan konektifitas yang berkaitan laut, Diplomasi Maritim dan kekuatan pertahanan maritim.

Di sisi lain, Yadi Mulyadi menjelaskan bahwa bukti prasejarah menunjukkan interaksi nenek moyang kita dahulu sangat erat dengan perairan. Aktifitas kemaritiman bisa dipahami sebagai bentuk interaksi manusia dengan perairan, entah itu sungai, laut, danau, rawa. Secara geografis Negara kita adalah Negara kepulauan yang 70% diantaranya adalah perairan. Bila ditarik ke masa prasejarah budaya kemaritiman begitu kental. Kerajaan di Nusantara meraih kejayaannya karena memilih sebagai kerajaan kemaritiman.

Hal yang bisa dipelajari dari budaya kemaritiman bahwa kemaritiman itu mengajarkan kompetensi. Salah satu produk dari budaya bahari adalah alat transportasi yang kita kenal dengan nama perahu atau kapal. Dalam konteks perahu sebagai produk budaya bahari ada system yang melekat pada perahu tersebut, misalnya di setiap kapal sampai sekarang pun tidak pernah memiliki dua nahkoda, karena bila kita tarik pada tradisi perahu yang bertahan sampai sekarang dalam konteks pembuatan perahu phinisi mulai dari pembuatan hingga pelayaran mengedepankan kompetensi. Nahkoda dipilih berdasarkan kompetensinya. Nilai budaya bahari dari konteks kemahiran teknologi masa lampau adalah kompetensi, konsistensi, kerja keras dan kerja sama. Produk budaya yang dihasilkan oleh nenek moyang kita dulu selalu memiliki nilai pengetahuan dan nilai kearifan, kemandirian dan pelestarian.

Budaya selalu berkembang terus. Yang terpenting adalah bagaimana nilai-nilai budaya itu tetap lestari, kita maknai budaya masa lalu termasuk budaya bahari. “Kewajiban untuk mahasiswa adalah mencatat budaya-budaya sendiri, agar tidak tergerus masa. Bahasa Indonesia adalah bahasa maritim, bahasa lingua franca, apabila kita bisa melestarikan bahasa kita setidaknya kita juga bisa melestarikan budaya-budaya kita. Budaya bukan hanya hayalan saja”, tutup moderator mengakhiri acara talkshow.