Pengumpul Data Kebudayaan Membuat Bianglala

0
1850

Pada waktu itu, sepulang saya dari Lembaga Sensor Film melewati daerah Pasar Rumput Jakarta dan macet. Saat melihat pemandangan sekitar, tatapan saya tak bisa berpaling dari bianglala yang bagus sekali. Disitu kemudian berpikir untuk menambahkan kata Bianglala untuk judul buku saya.

Ya, berawal dari kepuasan mata memandang sesimpel itu makna Bianglala dalam judul buku ini. Meskipun beberapa pembedah buku mengemukakan Bianglala bermakna penghubung dua dunia, keanekaragaman antar etnis, garis pemisah warna budaya, dan masih banyak lagi.

Berawal pada 2001, saat Nunus membaca buku katalog pameran foto ‘Java Instituut dalam Foto’ di Yogyakarta. Ia melihat foto-foto kongres kebudayaan yang dipamerkan. Sejak saat itu, hatinya pun terdorong untuk mengetahui lebih jauh mengenai Kongres Kebudayaan (KK).

Pemerhati Budaya Nunus Supardi

Nunus Supardi, penulis buku Bianglala Budaya: Rekam Jejak 95 tahun Kongres Kebudayaan 1918-2013 juga seorang pemerhati budaya. Seorang yang tidak mau disebut sejarawan ini, menyebut dirinya seorang pemulung. Memulung berbagai data Kongres Kebudayaan yang menyebar, merapikan dan menyusunnya menjadi sebuah naskah.

Buku ini pun disebutnya bukanlah buku sejarah namun hanya sebuah dokumentasi atau kompilasi Kongres Kebudayaan yang merupakan salah satu peristiwa budaya. Buku ini terbagi menjadi 5 bagian. Berikut penjelasannya:

  1. Bagian I berjudul “Kongres Kebudayaan”

Pada bagian ini berisi penjelasan mengenai tujuh kongres yang diselenggarakan sebelum Indonesia merdeka pada 1918 (Surakarta), 1919 (Surakarta), 1921 (Bandung), 1924 (Yogyakarta), 1926 (Surabaya), 1929 (Yogyakarta), 1937 (Bali). Delapan kongres yang diselenggarakan setelah Indonesia merdeka. Dimulai dari KK 1948, 1951, 1954, 1957, 1960, 1991, 2003, dan 2008. Kongres pertama yang menjadi penggerak diberi nama Congres voor de Javaansche Cultuur Ontwikkeling atau Kongres Guna Membahas Pengembangan Kebudayaan Jawa.

  1. Bagian II berjudul “Kongres Pancasila, Pendidikan, Pengajaran, dan Kebudayaan”

Pada bagian ini menjelaskan hasil Kongres Pancasila, Pendidikan, Pengajaran, dan Kebudayaan serta penyelenggaraan Kongres Diaspora Indonesia yang telah berlangsung dua kali di Los Angeles (2012) dan Jakarta (2013).

  1. Bagian III berjudul “Kongres Kebudayaan Daerah dan Kongres Lainnya”

Pada bagian ini berisi unsur-unsur kebudayaan termasuk kebudayaan daerah. Kongres Kebudayaan Melayu yang diselenggarakan oleh pemerintah Malaysia yang mempunyai hubungan sejarah dengan budaya Melayu di Indonesia juga dipaparkan.

  1. Bagian IV berjudul “Kongres Bahasa dan Sastra Indonesia dan Daerah”

Pada bagian ini menjelaskan seluruh kongres Bahasa dan sastra Indonesia, serta Kongres Bahasa dan Persuratan Melayu yang diselenggarakan oleh pemerintah Malaysia yang kita ketahui Bahasa Indonesia berakar dari Bahasa Melayu-Riau.

  1. Bagian V berjudul “Catatan Rekam Jejak”

Pada bagian ini menjelaskan ‘benang merah’ dari kongres sebelum Indonesia merdeka dan sesudah Indonesia merdeka. Realisasi dari keputusan dan rekomendasi KK seperti tidak ada tindak lanjut dari keputusan, tidak ada langkah realisasi yang konkrit, tidak ada evaluasi pelaksanaan keputusan, dan tidak ada pula laporan pada kongres berikutnya.

Menjelang KK 2013, penulis ingin melakukan revisi buku dengan memasukkan hasil KK 2003 dan 2008 namun karena dirasa ingin memberikan informasi yang lengkap bagi pembaca, Nunus pun juga menjelaskan kongres lainnya yang terikat erat dengan kebudayaan.

Harapannya ‘Bianglala’ menjadi sumber referensi mengenai peristiwa budaya yang selama ini masih terabaikan dan mendapat deskripsi yang lengkap mengenai perjalanan Kongres Kebudayaan yang pernah terjadi di negeri tercinta. Begitu banya ide, gagasan, saran, pendapat yang dihasilkan dalam kongres. Adapun bahan tersebut dapat dijadikan referensi untuk kemajuan budaya. KK tak hanya membahas masalah budaya semata namun juga masalah ekonomi, politik, sosial, pendidikan, karakter bangsa, dan masih banyak lagi.