Pada tanggal 28 oktober 1928, 71 pemuda-pemudi mewakili berbagai organisasi bertemu di Batavia. Pertemuan itu menghasilkan deklarasi “Sumpah Pemuda”, yang dianggap sebagai salah satu tonggak sejarah Bangsa. Siapa yang tidak tahu peristiwa yang terjadi 88 tahun lalu tersebut. Tanggal peristiwanya pun diperingati setiap tahun. Tetapi, tidak banyak yang tahu ada kongres yang mendahuluinya, 10 tahun sebelumnya diadakan Kongres Kebudayaan.
Peristiwa kongres kebudayaan (KK) yang diadakan di Surakarta tahun 1918 tersebut tidak dapat dipandang sebelah mata. Menurut Pemerhati Budaya, Nunus Supardi, KK pertama layak disejajarkan dengan kongres sumpah pemuda. Tiga peristiwa, berdirinya Budi Utomo (1908); kongres kebudayaan (1918); dan Sumpah Pemuda (1928), bak “manifest kebudayaan” di zaman penjajahan. Selain itu, menurut Prof. Rudolf Mrazek (dalam Engineers of Happy Land; Thechnology and Nasionalism in Colony), KK 1918 merupakan renaissance Bahasa dan budaya Jawa yang memuluskan jalan nasionalisme Indonesia.
Setelah KK pertama, tercatat telah dilakukan 15 kali kongres, dimulai dari KK 1919, 1921, 1924, 1926, 1929, 1937, 1948, 1951, 1954, 1957, 1960, 1991, 2003, 2008, dan 2013. Masing-masing kongres memiliki tujuan, tema, dan keputusan yang berbeda-beda. Peristiwa-peristiwa tersebut juga menunjukan perjalanan panjang dinamika dan pergulatan tentang arah kebudayaan Indonesia.
Hal-hal inilah yang melatar belakangi niat Nunus Supardi menyusun dokumentasi seluruh kongres dalam sebuah buku, berjudul “Bianglala Budaya”, dengan dukungan dari Direktorat Jenderal Kebudayaan. Menurutnya, perjalanan kongres kebudayaan penting untuk diketahui publik. Ia mengatakan bahwa Kebudayaan kini telah dipandang sebelah mata.
Senin, 5 September 2016 buku tersebut berkesempatan untuk di”bedah” di depan para mahasiswa Universitas Negeri Malang. Para pakar dan mahasiswa berdiskusi membahas perjalanan kebudayaan bangsa yang tergambar dalam buku tersebut. Acara tersebut bertepatan dengan gelaran Pekan Budaya Indonesia (PBI) 2016.
Buku dan bedah buku ini penting karena, seperti yang dikatakan oleh Bung Hatta, seumur hidup masalah kebudayaan tidak akan habis dikupas. Selalu muncul pertanyaan: Akan kemana kebudayaan kita?. Tapi Menjawab “kemana?” mungkin masih sulit. Jika pertanyaannya “dari mana?”, tampaknya tema PBI 2016 telah menjawab, “Dari pinggiran”.
Dan sejalan dengan tema PBI kedua ini, buku “Bianglala Budaya” juga telah memberi contoh kongkret “Dari pinggiran”, yaitu KK pertama. Lebih dari dua dasawarsa sebelum Indonesia merdeka, dari pinggiran Surakarta kita telah mulai merajut budaya Bangsa.