Abduh Aziz: Film Sejarah Indonesia, Tak Bicara tentang Sejarah!

0
1500

Malang – Beberapa tahun belakangan, sejak Film Habibie dan Ainun diapresiasi masyarakat Indonesia pada tahun 2012, film-film bertemakan sejarah mulai muncul ke permukaan. Jenderal Soedirman, Guru Bangsa: Tjokroaminoto, Soekarno, Soegija, Sang Pencerah, Tjoet Nja’ Dhien, dan Ketika Bung di Ende ramai diputar di bioskop.

Para pelaku bisnis industri film melirik kesempatan tersebut untuk memunculkan karya bertemakan nasionalisme, dan menggeser horor sebagai genre yang bertengger cukup lama di banyak bioskop Indonesia. Nilai-nilai patriotisme dan suara-suara membela kebenaran kemudian digaungkan para pemainnya, untuk mengajak para generasi muda mencintai bangsa.

diskusi film UM

Namun bila dikulik lebih dalam, apakah film sejarah Indonesia sudah benar-benar ‘bicara’ tentang sejarah itu sendiri? Atau hanya interpretasi?

Muh. Abduh Aziz, Direktur Perum Produksi Film Negara mengungkap fakta, film sejarah Indonesia tidak bicara tentang sejarah, tapi lebih banyak persepsi dari si pembuat. “Film sejarah, bukan sejarah itu sendiri. Tapi adalah interpretasi si pembuat film tentang sejarah pada masa itu,” ungkapnya pada diskusi film sejarah, di Universitas Negeri Malang, Sabtu (3/9).

DISKUSI FILM SEJARAH UNM

Film ‘Ketika Bung di Ende’ misalnya, banyak kegagalan produksi yang terjadi dan tidak memunculkan poin dari perjuangan itu sendiri. “Kegagalan melihat masalah-masalah real masyarakat Ende adalah fatal. Di sana tidak digambarkan bagaimana sulitnya Soekarno beradaptasi di tanah flores yang membuatnya stres. Film itu lebih banyak dramanya. Dokumentri atau info-info terkait sejarah terlalu sedikit, sehingga kita tidak mendapat gambaran yang lengkap tentang makna dari keberadaan Bung Karno di Ende,” paparnya.

Lebih jauh ia menjelaskan, properti sejarah harus ada dalam setiap produksi film sejarah. “Bambu runcing dan darah adalah gambaran yang terlalu militer, namun diplomasi para diplomat tidak banyak diberikan porsinya. Film sejarah seharusnya tidak bicara tentang komersialisme, apalagi interpretasi pembuat, namun diplomasi para pemimpin bangsa yang harus secara gamblang diangkat dan ditonjolkan,” tukasnya.