MUARATAKUS SEBAGAI WARISAN BUDAYA BENDA

0
4169

A. Menilik Sejarah Candi Muara Takus sebagai Warisan Budaya Benda

oleh amirullah, S.Pd

“Bulek ayiu dek botuang, putui kato dek mufakat, putui kaji dek ma’rifat ” sebuah kalimat sederhana yang menggambarkan kian ragamnya kisah di balik kemegahan Candi Muara Takus yang berdiri atas asas kebersamaan, kerjasama dan musyawarah mufakat. Artinya belum dikerjakan, sudah tampak siap/selesainya. Begitulah orang tua-tua dahulu dalam mengerjakan sesuatu.
Seperti yang kita ketahui bahwa Indonesia merupakan Negara perdagangan dan jasa. Di balik negara bisnis ternyata mempunyai banyak tempat wisata budaya dan sejarah salah satunya adalah Candi Muara Takus. Candi Muara Takus adalah situs candi Buddha yang terletak di Desa Muara Takus, Kecamatan XIII Koto, Kabupaten Kampar, Riau, Indonesia. Para pakar purbakala belum dapat menentukan secara pasti kapan situs candi ini didirikan. Ada yang mengatakan abad ke-4 ada yang mengatakan abad ke-7, abad ke-9 bahkan abad ke-11. Namun candi ini dianggap telah ada pada zaman keemasan Kerajaan Sriwijaya, sehingga beberapa pakar purbakala menganggap kawasan ini merupakan salah satu pusat pemerintahan dari Kerajaan Sriwijaya.
Ada dua pendapat mengenai nama Muara Takus. Yang pertama mengatakan bahwa nama tersebut diambil dari nama sebuah anak sungai bernama Takus yang bermuara ke Sungai Kampar Kanan. Pendapat lain mengatakan bahwa Muara Takus terdiri dari dua kata, yaitu Muara dan Takus. Kata Muara mempunyai pengertian yang sudah jelas, yaitu suatu tempat sebuah sungai mengakhiri alirannya ke laut atau ke sungai yang lebih besar, sedangkan kata Takus berasal dari bahasa Cina, Ta berarti besar, Ku berarti tua dan Se berarti candi atau kuil. Jadi, arti keseluruhan kata Muara Takus adalah candi tua yang besar, yang terletak di pertemuan muara dua sungai.
Candi Muara Takus merupakan candi Buddha, terlihat dari adanya stupa Buddha Gautama. Namun ada pula pendapat yang mengatakan bahwa candi ini merupakan campuran dari bentuk candi Buddha dan Syiwa. Candi Muara Takus memiliki empat candi utama yaitu Candi Tua, Candi Mahligai Stupa, Candi Bungsu dan Candi Palangka.
Candi Muara Takus dikelilingi oleh tembok berukuran 74×74 meter dengan tinggi tembok ±80cm, diluar arealnya terdapat pula tembok tanah berukuran 1,5×1,5 meter mengelilingi kompleks sampai kepinggir Sungai Kampar Kanan. Pada awal pendirian, candi Muara Takus ini difungsikan untuk tempat pemujaan (upacara keagamaan Buddha). Candi Muara Takus disebut juga Mua Takui atau Motakui dan Motangkui oleh penduduk sekitar desa MuaraTakus.
Arsitektur Candi Muara Takus memiliki kesamaan dengan Condo di Asoka, Myanmar, Vietnam, Sri Lanka dan India . Setiap komponen yang terdapat pada Candi Muara Takus merupakan warisan budaya benda yang menyimpan filosofi makna dan simbolisasi yang menarik untuk dikupas baik dari segi wujud konkrit dan abstraknya. Wujud konkritnya yang dimaksud adalah fisik atau material dari candi ini sedangkan wujud abstrak yang dimaksud adalah filosofi pemaknaan dan simbolisasi pada Candi Muara Takus. Penulis tertarik memaparkan makna dan simbolisasi dari Arah Pintu Candi dan Patung Singa (Wujud Konkrit—Fisik) dan Penghapusan strata sosial dalam kebudayaan masyarakat disekitar Candi Muara Takus oleh Raja Asoka (Wujud Abstrak).

B. Filosofi Pemaknaan dan Simbolisasi Candi Muara Takus berdasarkan Catatan Sejarah dan Forklore yang Berkembang

Candi Muara Takus terletak di Desa Muara Takus, Kecamatan XIII Koto, Kabupaten Kampar, Provinsi Riau, Indonesia. Perjalanan menuju Desa Muara Takus hanya dapat dilakukan melalui jalan darat yaitu dari Pekanbaru kearah Bukittinggi sampai di Muara Mahat. Dari Muara Mahat melalui jalan kecil menuju ke Desa Muara Takus. Kompleks Candi Muara Takus, satu-satunya peninggalan sejarah dan warisan budaya benda (WBB) di Riau.
Pembangunan Candi Muara Takus erat kaitannya dengan berita kedatangan Raja Asoka beserta bala tentaranya dari India. Keberadaan Raja Asoka ke pulau Sumatera bertujuan untuk mengunjungi putri bungsunya. Raja Asoka dengan kerendahan hatinya menepikkan strata sosial yang cenderung identik dengan sistem kasta yang berkembang India, beliau menunjukkan demokrasi sejati dengan melepaskan semua kemewahan busana dan perangkat yang ia gunakan. Primus interpares terhapuskan dengan kalimat beliau “Duduk sama rendah, berdiri sama tinggi” hal ini lantas diabadikan pada sebuah batu yang dikenal dengan “Batu Bersurat”.
Candi Muara Takus yang terimplikasi dengan ajaran Buddha dan pengaruh kebudayaan India memiliki pintu yang menghadap timur dan barat, kedua arah ini merupakan simbolisasi dari bentuk penghormatan kepada Dewa Matahari.
Pada tahun 1860, seorang arkeolog Belanda bernama Cornel de Groot berkunjung ke Candi Muara Takus. Pada waktu itu di setiap sisi ia masih menemukan patung singa dalam posisi duduk. Dewasa ini, patung-patung tersebut sudah tidak ada bekasnya. Patung Singa sendiri secara filosofis merupakan unsur hiasan candi yang melambangkan aspek baik yang dapat mengalahkan aspek jahat atau aspek terang yang dapat mengalahkan aspek gelap. Dalam ajaran agama Buddha motif hiasan singa dapat dihubungkan maknanya dengan sang Buddha, hal ini terlihat dari julukan yang diberikan kepada sang Buddha sebagai “Singa dari keluarga Sakya” serta ajaran yang disampaikan oleh sang Buddha juga diibaratkan sebagai suara atau Simhanada yang terdengar keras di seluruh penjuru mata angin.
Patung Singa merupakan simbol dari keberanian, kebijaksanaan, dan kekuasaan. Jika dilihat dari naskah Silpa Prakasa terdapat empat macam patung Singa yang di anggap baik yaitu :
1. Udyatā: singa yang digambarkan di atas kedua kaki belakang, badannya dalam posisi membalik dan melihat kebelakang. Sikap ini disebut Simhavalokana.
2. Jāgrata: singa yang digambarkan dengan wajah yang sangat buas (Mattarūpina). Ia bersikap duduk dengan cakarnya diangkat keatas. Lazim disebut Khummanasimha.
3. Udyatā: singa yang digambarkan dalam sikap duduk dengan kaki belakang dan biasanya ditempatkan di atas suatu tempat yang tinggi. Terkenal dengan sebutan Jhmpa-simha.
4. Gajakrānta: singa yang digambarkan duduk dengan ketiga kakinya di atas Raja Gajah. Satu kaki depannya diangkat di depan dada seolah-olah siap untuk menerkam. Singa ini disebut Simhakunjara.

Menurut hasil wawancara dengan pewaris forklore Candi Muara Takus, terdapat enam belas buah patung Singa yang terletak di Candi Tua, yang berdiri di setiap sudut tangga. Pada Candi Mahligai terdapat empat buah patung Singa yang terdiri di sisi kiri dan kanan atas serta di sisi kiri dan kanan bawah. Di Candi Bungsu, patung Singa ditemukan di depan candi atau di tangga masuk candi tersebut. Penempatan patung Singa ini berdasarkan konsep yang berasal dari kebudayaan India. Adapun makna peletakan patung Singa dibeberapa sisi candi adalah untuk menjaga bangunan suci ini dari pengaruh jahat yang berasal dari alam gaib maupun nyata.

C. NILAI BUDAYA TERSIRAT DIBALIK FILOSOFI PEMAKNAAN DAN SIMBOLISASI PADA CANDI MUARA TAKUS

Tatanan kehidupan masyakat Desa Muara Takus yang berpegang teguh pada
kata musyawarah mufakat merupakan benang merah dari tatanan kehidupan dan awal mula pembangunan Candi Muara Takus. Tatanan kehidupan seperti ini merupakan wujud demokratisasi sejati yang kini kian hilang tergerus globalisasi, karenanya sebagian masyarakat Desa Muara Takus mengambil peran dan tanggungjawab untuk menjaga dan menregenerasikan secara teratur tatanan kehidupan tersebut dalam menciptakan ketertiban dan kerukunan.
Duduk sama rendah berdiri sama tinggi tetap menjadi kaidah norma bermasyarakat yang dipegang teguh dan dibanggakan oleh masyarakat sekitar, nilai budaya timur yang berpijak pada kesamaan hak tanpa mengenyampingkan norma kesopanan pada yang lebih tua merupakan penjabaran dari kalimat kebanggaan tersebut.
Masyarakat Desa Muara Takus kini mayoritasnya adalah Muslim namun toleransi dan menghargai sejarah serta budaya tetap tercermin dengan mempertahankan forklore bahwa arah pintu di Candi Muara Takus pada awalnya didasarkan untuk pemujaan Dewa Matahari. Masyarakat bertindak arif untuk terus menjaga keapsahan cerita lisan yang berkembang dari generasi ke generasi.
Selain itu, patung Singa yang keberadaannya telah berpindah dan ada pula yang terbakar tidak menjadi penghalang kuatnya mitos yang berkembang terkait filosofi dari pemaknaan dan simbolisasi patung Singa karena kita sadari bahwasanya mitos lah yang menghidupkan tradisi dan budaya eksis dan semakin banyak yang ingin mengetahui keaslian dan cerita lisan yang berkembang, terlepas dari benar atau tidaknya, mitos merupakan benang merah dari catatan sejarah dan forklore, dari sebuah penelitian ilmiah hingga imajinasi masyarakat awam.
Sekian…

Muaratakus yang dulunya disebut Matankari atau Madangkari dielek kab. Kampar-Riau
Muaratakus yang dulunya disebut Matankari atau Madangkari dielek kab. Kampar-Riau