“Di manakah pusat ras Melanesia?” tanya salah seorang wartawan yang hadir saat jumpa pers di Komplek Kemdikbud, Kamis (22/10) lalu. Pertanyaan itu kerap muncul dari kebanyakan orang yang baru mendengar nama Melanesia, tak terkecuali para wartawan yang hadir kala itu. Wajar saja, sebab nama Melanesia baru menggema di tengah-tengah masyarakat yang merupakan bagian dari ras Mongoloid. Seperti yang banyak tertulis pada buku sejarah atau pengetahuan umum lainnya.
Namun fakta lain mengemuka, setelah Profesor Harry Truman Simanjuntak seorang Arkeolog senior dari Pusat Penelitian Arkeologi Nasional yang juga kala itu hadir mengatakan, sebagian darah kita merupakan ras Melanesia, dan sebagian besar ras Melanesia di dunia terdapat di Indonesia, yakni sekira 80% dari jumlah penduduknya. Ini mengejutkan, sekaligus menjadi hal yang sangat menarik untuk diperbincangkan.
Menurut salah satu penulis Buku “Diaspora Melanesia di Nusantara” ini, pusat ras Melanesia terbagi atas tiga wilayah. “Pusat Melanesia berkembang di Nusantara, Melanesia barat, dan Australia. Melanesia barat, khususnya di wilayah pulau besar, tersebar di Papua dan Papua Nugini. Kita memiliki satu rumpun, sejarah dan budaya yang masih dihidupkan sampai saat ini. Misalnya, sejak ribuan tahun lalu, sudah ada interaksi di antara mereka (jika dilihat dari peninggalan-peninggalan atau bukti-bukti arkeologi). Peninggalan di Papua Nugini menyebar hingga Maluku, Maluku Utara, dan wilayah di sekitar itu,” papar Harry.
Menurutnya, perkembangan ras Melanesia di Australia sudah ada dan berkembang sejak 50.000-60.000 tahun lalu, di Papua sudah ditemukan buktinya sejak 45.000 tahun lalu, sementara di Indonesia, bukti peninggalan sejarahnya pun sudah ditemukan sejak 45.000-50.000 tahun lalu.
Sejak sekitar paruh kedua Pleistosin Atas telah dimulai dinamika kehidupan populasi Melanesia di Nusantara dan kawasan Pasifik. Kehidupan yang terus berlangsung, hingga berakhirnya zaman es pada ca. 12.000 BP yang menyebabkan kenaikan muka laut dan memperluas penyebaran populasi dan geografi hunian. Populasi baru yang digolongkan oleh para ahli sebagai Ras Australomelanesia ini memperkaya budaya pendahulu dengan pola hunian gua, pola mencari makan, pembaruan peralatan, pengembangan seni dan konsepsi kepercayaan.
Selanjutnya, kedatangaan Ras Mongoloid pada ca. 4.000 BP melalui jalur migrasi barat (Asia Tenggara) dan jalur timur (Taiwan) mengakibatkan interaksi antar-ras, percampuran budaya dan biologis. Di sisi lain, pertemuan kedua ras ini menjadikan populasi Australomelanesia yang lebih dikenal dengan sebutan Melanesia ini perlahan bergeser ke wilayah timur Indonesia.
Hingga akhirnya, pada masa kemerdekaan, kedua ras yang mendiami Nusantara ini bersatu dalam NKRI dan menciptakan pertautan biologis dan kultural sampai saat ini. Melanesia di Nusantara ini, dapat kita telusuri melalui temuan-temuan yanng memperlihatkan adanya kesamaan dan bahkan, beberapa tradisi yang menjadi khas Nusantara seperti “nginang” yang masih bertahan hingga saat ini.