Kongres Kebudayaan Indonesia 2013 pada tanggal 9 Oktober 2013 terdapat acara Sidang Komisi yang waktu nya paralel di lima ruang yang terbagi atas 3 ruang sidang di Hotel Ambarukmo dan 2 ruang sidang di Hotel New Saphir Yogyakarta.
Sidang komisi 1 pada sesi 1 dilaksanakan di Hotel New Saphir Yogyakarta dengan Topik Demokrasi Berwawasan Budaya yang dimoderatori oleh Anhar Gonggong.
Paparan pertama dalam sidang komisi 1 dengan pembicara Jultje Rattu dengan judul Demokrasi berbudaya Minahasa.
Max Willar, tokoh Angkatan 66, salah satu mantan pemimpin Kesatuan Aksi Pemuda Pelajar (KAPPI) Minahasa berpendapat, demokratisasi seyogianya diacukan pada proses kognitif yang mengartikulasikan hati nurani secara bebas tanpa tekanan. Melalui proses itulah dibangun kecerdasan mental untuk saling menerima dan mengakui terhadap kepatutan politik yang tercermin lewat akumulasi hasil akhir suatu proses politik.
Sebagai suatu nama, letak Minahasa berada pada suatu kawasan yang secara geografis tercantum di ujung sayap peta bumi Sulawesi Utara yang memberi dampak budaya yang khas.
Banyak contoh mengenai proses demokrasi di Minahasa. Salah satu yang paling aktual ketika berlangsung pemilihan Bupati/Kepala Daerah Minahasa awal 1998 lalu. Ketika itu tampil tiga calon yang berposisi dan berpeluang sama, yakni, Drs KL Senduk (Bupati periode 1993-1998), Drs AJ Sondakh (Anggota MPR/Dosen Unsrat, kini almarhum), dan Drs Dolfie Tanor, yang akhirnya menjadi Bupati Minahasa terpilih (telah almarhum). Hasil pemilihan di Dewan Januari 1998, Dolfi Tanor (21 suara), AJ Sondakh (20) dan KL Senduk (4).
Paparan kedua dalam sidang komisi 1 dengan pembicara Hasanuddin Anwar dengan judul Warisan Demokrasi Gorontalo.
Demokrasi adalah merupakan suatu bentuk pemerintahan yang memberikan hak kepada setiap warga masyarakatnya untuk menentukan keputusan. Demokrasi merupakan sistem pemerintahan yang dianggap baik oleh para pakar ketatanegaraan di seluruh dunia. Hasil penelitian dari UNESCO tahun 1949 disimpulkan bahwa untuk pertama kali dalam sejarah, demokrasi dinyatakan sebagai nama yang paling baik dan wajar untuk semua sistem organisasi politik dan sosial yang diperjuangkan oleh pendukung-pendukung yang berpengaruh.
Rakyat mempunyai kekuasaan mutlak terhadap sebuah pemerintahan dalam negara, rakyat mempunyai kedaulatan tertinggi dalam sebuah negara. Demokrasi memungkinkan semua rakyat untuk ikut andil dalam pembuatan, perumusan dan pengembangan hukum baik itu secara langsung maupun secara tak langsung (perwakilan). Suatu negara yang memiliki sistem pemerintahan demokrasi akan sangat berbeda dibandingkan dengan pemerintahan yang bentuknya monarki.
Guna mengatur sistim kekuasaan pemerintahan di Gorontalo terdapat 3 lembaga yang dapat juga dikatakan sebagai tiang kerajaan yaitu :
a. Buatula Bantayo tugas utamanya membuat peraturan-peraturan dan garis-garis besar tujuan kerajaan. Lembaga buatula bantayo dipimpin oleh para bate.
b. Buatula Bubato bertugas menjalankan peraturan-peraturan yang dibuat oleh lembaga buatula bantayo serta membawahi setiap kegiatan kerajaan, sehingga lembaga ini dipegang langsung oleh raja.
c. Buatula Bala bertugas mengamankan kerajaan dan urusan pengadilan yang secara langsung dikepalai apitalau.
Kedudukan ketiga lembaga tersebut mempunyai saling keterkaitan dalam menjalankan tugasnya. Setiap pengambilan suatu kebijakan atau keputusan, dilaksanakan melalui musyawarah untuk merumuskan berbagai peraturan yang akan ditetapkan dalam pelaksanaan kegiatan kerajaan.
Paparan ketiga dalam sidang komisi 1 dengan pembicara Suwardi Endraswara dengan judul Membangun Demokrasi Berwawasan Budaya.
Gejala demokrasi paranoid berwawasan budaya sengkuni di republik Cakil semakin sulit dibendung. Demokrasi paranoid adalah gejala penyakit budaya kekuasaan yang aneh dan khayal. Demokrasi paranoid bercirikan tiga hal, yaitu (1) demokrasi yang semu, penuh pura-pura, dan banyak kebohongan publik, (2) pelaku demokrasi seperti sedang sakit jiwa, artinya putusan selalu aneh, seperti tidak nalar, dan (3) penuh dengan drama atau sandiwara licik.
Paranoid adalah gambaran dunia lain. Yakni dunia khayal yang merepresentasikan gagasan manusia. Dunia khayal ini, sering dilukiskan lewat ekspresi tokoh-tokoh wayang. Istilah paranoid, berarti tokoh-tokoh yang berhubungan dengan hantu (Endraswara, 2004:254).
Politik gaya Cakil sedikitnya bercirikan: (1) gaya politik yang hendak menang sendiri dan mengembangkan psikologi drengki-srei-jail-methakil, (2) gaya politik yang penuh janji, munafik, sombong, dan selalu antogonis, (3) gaya politik yang berprinsip aji mumpung. Namun, Cakil akan mati terbunuh oleh kerisnva (kekuasaan) sendiri.
Akhirnya dapat disimpulkan bahwa demokrasi paranoid berwawasan budaya Cakil di republik Cakil akan membelenggu tercapainya kekuasaan yang adil dan sejahtera. Demokrasi paranoid semakin memunculkan perselisihan demokrasi yang konyol dan semakin licin. Bayang-bayang kehancuran dan kebangkrutan demokrasi semakin di depan mata. Wajah demokrasi paranoid semakin memperkeruh nalar politik (political reason).
Pada tataran itulah suasana di republik Cakil yang berbudaya Sengkuni tidak pernah tenteram, ibarat selalu berada pada periuk mendidih (istilah Geertz, 1989). Akibatnya, korupsi, nepotisme, dan penyalahgunaan wewenang semakin menjadi produk ekslusif hasrat demokrasi paranoid yang semakin melumpuhkan peradaban.
Paparan keempat dalam sidang komisi 1 dengan pembicara Bambang Sunaryo. Kebebasan untuk berfikir, berpendapat, berkumpul dan berserikat serta turut dalam pemerintahan pada galibnya adalah merupakan salah satu komponen inheren kebebasan yang secara universal dianggap dimiliki oleh setiap manusia, yang melekat padanya karena eksistensinya sebagai manusia yang menjadi warga dari suatu Negara yang berbentuk demokrasi. Karena hak-hak tadi melekat secara asasi pada manusia sebagai warga Negara, maka akhirnya lazim disebut sebagai Hak Hak Asasi Manusia/HAM (human right) dari warga negara.
Hak-hak tadi sifatnya sangat mendasar atau asasi dalam pengertian bahwa jaminan perlindungan dan implementasinya mutlak diperlukan agar eksistensi manusia sebagai warga Negara dapat berkembang secara demokratis sesuai dengan: potensi, bakat, martabat dan impian serta cita citanya.
Secara historis dapat disimak bahwa gerakan budaya untuk bernegara secara demokratis tadi telah menjadi semakin berkembang karena justru didorong dan dibesarkan oleh maraknya berbagai bentuk realitas peminggiran dan pelanggaran terhadap praktek pelaksanaan hak-hak berdemokrasi yang berbudaya tadi oleh kekuatan paksa dari berbagai otoritas kekuasaan dan kepentingan yang terjadi di berbagai kelompok masyarakat maupun negara.