Kongres Kebudayaan Indonesia 2013 pada tanggal (10/10) ini terdapat Sidang Komisi yang waktu nya paralel di lima ruang yang terbagi atas 3 ruang sidang di Hotel Ambarrukmo dan 2 ruang sidang di Hotel New Saphir Yogyakarta.
Acara sidang komisi 5 pada sesi 2 dilaksanakan Hotel Ambarrukmo Yogyakarta dengan topik Etos Kreatif dan Semangat Kompetensi yang dimoderatori oleh Krisnina A. Tanjung
Paparan pertama dalam sidang komisi 5 dengan pembicara I Made Suastika dengan judul Etos Kreatif Pemanfaatan Sumber Daya Kebudayaan Dalam Pengembangan Ekonomi Kreatif Berbasis Budaya Di Bali.
Masyarakat Bali sejak dahulu dikenal memiliki nilai-nilai seni-budaya dan tradisi yang unik yang bersumber ajaran agama yang dianut, yakni Hindu. Di luar itu, mereka memiliki sejumlah nilai-budaya lokal yang khas, yang membuat mereka berhasil mengembangkan industri pariwisata dan ekonomi kreatif berbasis budaya. Mereka memiliki etos kreatif tertentu yang menyebabkannya bisa maju, berkembang, dan unggul di tengah maraknya persaingan global.
Terkait dengan etos kreatif dalam kebudayaan masyarakat Bali, berikut ini adalah gambaran etos kerja yang dapat ditemukan baik dalam ajaran Ida Pedanda Made Sidemen maupun pengetahuan umum lainnya di Bali. Ida Pedanda Made Sidemen adalah seorang pandita/wiku (pendeta) adalah cendekiawan, budayawan, dan rohaniawan Hindu dari Griya Aseman, Taman Sanur, Denpasar. Sebelum menjadi pendeta, ia bernama Ida Ketut Aseman. Ia diperkirakan lahir pada tahun 1858 dan meninggal pada tanggal 10 September 1984. Ia menemukan jatidiri melalui jalan sastra. Walaupun seorang cendekiawan, budayawan, dan rohaniawan yang sangat dihormati, ia senantiasa menjalankan hidup dengan prinsip meyasa lacur (hidup dalam kesederhanaan), mandiri, dan mengabdi kepada masyarakat dengan melaksanakan guna dusun (bekerja penuh keikhlasan) (Suteja, 2013).
Dapat disimpulkan bahwa kebudayaan masyarakat Bali memiliki etos kerja tersendiri dalam mentransformasikan nilai-nilai seni, budaya, dan tradisinya dalam ekonomi kreatif global termasuk dalam pariwisata budaya yang telah berkembang sebelumnya di Bali. Kemampuan masyarakat Bali dalam mentransformasikan kebudayaannya melalui etos kerja ke dalam ekonomi kreatif maupun pariwisata budaya menunjukkan bahwa terdapat modal budaya (cultural capital) (menurut konsepsi filsuf kenamaan Perancis Pierre Bourdieu) yang dapat dijadikan modal ekonomi. Etos kerja berupa etos kreatif tersebut sudah dijelaskan di atas dalam ajaran Pedanda Sidemen maupun pengetahuan umum lainnya di Bali
Paparan kedua dalam sidang komisi 5 dengan pembicara Dr. Amin Abdullah, M.Sn, MA dengan judul Adaptasi Talise Ethnotainment : Pemaknaan Kreatif Terhadap Musik Kakula.
Kakula pada umumnya dimainkan sebagai bagian dari upacara daur hidup seperti perkawinan untuk menunjukkan status signifier dari kekerabatan penggunanya. Musik yang dihasilkan Kakula berupa musik instrumental yang dimainkan secara sambung-menyambung dari nomor yang satu ke nomor yang lain tanpa jedah atau musik meddley. Hal ini berkaitan dengan kegunaan musik ini sebagai musik latar belakang atau pengiring prosesi perjalanan pengantin pria menuju ke rumah pengantin wanita. Oleh sebab itu, musik ini tidak berdiri sendiri, melainkan bagian yang tidak terpisahkan dalam sebuah prosesi upacara. Musik Kakula menjadi berbeda dan dikembangkan secara kreatif oleh kelompok KNT dan EMP dengan cara sebagai berikut: Saya mengistilahkan gejala pada KNT dengan “Adaptasi Talise”. Adaptasi menunjukkan kemampuan mencerna dan memproduksi kembali untuk tetap bertahan. Talise menunjukkan tempat, spesifikasi adaptasi lokal ketika musik tradisi Kakula dimaknai sebagai bukan hanya melanjutkan beban sejarah. Musik KNT menjadi sesuatu yang berubah, kontekstual, menyerap dan menyesuaikan dengan kondisi serta memanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat penggunanya sendiri. Titik perubahan penting pada musik KNT yakni ketika mereka berinisiatif membuat alatnya sendiri dari bekas lampu petromax pada tahun 1980 dan plat besi pada tahun 1990. Ide ini merupakan motivasi dari akar rumput yang didorong untuk menyatakan identitas dan kebutuhan akan memori yang ada pada musik ini. Dengan membuat instrumen sendiri, pada saat yang sama kelompok ini menunjukkan bagaimana mereka mampu mempertahankan musik Kakula Nuada dengan cara memecahkan masalah sesuai kemampuan mereka sendiri serta untuk kebutuhan mereka sendiri. Nama ibu Hatimi (pemain Kakula kelompok ini) harus disebut sebagai individu penting dalam proses kreatif ini.
EMP (Ethnotainment) adalah sebuah kelompok musik Kakula kontemporer yang berdiri pada tahun 1997. Konsep musik EMP memainkan world music (musik baru yang berangkat dari elemen musik-musik tradisi dari seluruh dunia) dengan menggabungkan identitas, memori, dan menggabungkannya dengan hiburan dan industri. EMP mempunyai konsep musik ethnotainment dengan menggabungan musik sebagai identitas, memori, pendidikan, hiburan dan industri. konsep musik tersebut, merespon gejala lokal, regional, nasional sekaligus global. Studi kasus Kakula menunjukkan adanya etos kreativitas pada sebuah kesenian tradisi. Potensi individu pembaharu pada musik ini sangat menentukan untuk bernegosiasi dengan pasar. Hatimi membuat musik KNT tidak hanya memainkan sesuatu yang anonim, namun menyerap lagu-lagu yang berkembang, sedangkan saya membuat musik EMP menjadi lebih otonom. Kedua-duanya mempunyai potensi untuk memasuki era ekonomi kreatif sebagai ideologi baru kebijakan kebudayaan Negara secara proporsional sesuai skala masing-masing.
Paparan ketiga dalam sidang komisi 5 dengan pembicara I Wayan Dana.
Paparan keempat dalam sidang komisi 5 dengan pembicara Hendri Sugianto.