Sidang komisi 1 pada sesi 2 Kongres Kebudayaan Indonesia 2013 tanggal (10/10) dilaksanakan di Hotel New Saphir Yogyakarta dengan Topik Kearifan Lokal yang Memperkuat Demokrasi yang dimoderatori oleh Ninuk Kleden.
Paparan pertama dalam sidang komisi 1 dengan pembicara Susanto Zuhdi.
Paparan kedua dalam sidang komisi 1 dengan pembicara Gregor Neonbasu dengan judul Kajian Antropologi Timor.
Kita menukik lebih dalam ke konteks Masyarakat Pulau Timor, Nusa Tenggara Timur (NTT), untuk melihat ‘citra kearifan lokal’ dalam sosok tradisi lisan. Sebelumnya, tanpa memperpanjang diskusi tentang layak tidaknya tradisi lisan sebagai bahan untuk menyusun sejarah suatu daerah, penulis dan juga beberapa ahli sebelumnya (Vansina [1965], Schulte-Nordholt [1971], Parera [1971], Fox [1973, 1975, 1988], Gossen [1974], Rosaldo [1980], Danandjaja [1994]) menunjuk tradisi lisan sebagai suatu sumber yang dapat dijadikan informasi untuk menulis sesuatu yang bermakna tentang sejarah masa silam.
Dari hasil penelitian tradisi lisan pada beberapa daerah di Pulau Timor, ditemukan 10 fungsi tradisi lisan sebagai berikut: Peran tradisi lisan adalah
(1) Mengungkapkan sesuatu peristiwa di masa silam
(2) Menjelaskan identitas suku, keluarga atau pribadi tertentu
(3) Melukis hubungan inter-komunikasi atau antar suku-suku dalam suatu jalinan sosial
(4) Melukis pembagian tugas yang walau sangat baku, namun rapih dan disiplin
(5) Mengungkapkan isi dan makna dari setiap struktur politik sekelompok orang/suku
(6) Menjelaskan secara struktural hubungan di antara kawan dan lawan (musuh)
(7) Melukis ekologi, dengan menempatkan manusia sebagai pusat
(8) Sebagai jembatan emas untuk mengungkapkan alam pikir manusia dengan seluruh aspek kehidupannya
(9) Sebagai sumber untuk mengkaji filsafat orang asli
(10) Berisi religiositas orang asli
Pendekatan Partikularistik
Kedua pendekatan dinilai sangat humanistik karena memiliki respek pada segala sesuatu yang berkenaan dengan kehidupan masyarakat biasa setiap hari dan juga selalu melihat secara positif segala yang ada dalam masyarakat pedesaan. Kedua pendekatan berbeda dengan metode antropologi tradisional (1) kumpul data (2) perbandingan data, dan (3) klasifikasi data untuk sampai pada (4) kesimpulan.
Paparan ketiga dalam sidang komisi 1 dengan pembicara Gusti Anan dengan judul Antara Lapau dan Balai (Adat) : Dinamika Demokrasi di Sumatera Barat.
Secara fisik, lapau adalah bangunan sederhana yang biasanya berdiri sendiri, namun ada kalanya bergabung dengan rumah tinggal. Pada umumnya lapau dipergunakan sebagai tempat jual beli berbagai barang keperluan sehari-hari. Tidak diketahui, sejak kapan lapau mulai muncul di Minangkabau, namun bisa dikatakan lapau mulai menjadi bagian dari sistem sosial (juga politik dan ekonomi). Pengalaman “membawa” lapau ke kantor atau dewan ini sesungguhnya juga terjadi di era reformasi ini.
Seiring dengan perjalanan waktu, dewasa ini keberadaan lapau sebagai tempat singgah atau menginap para saudagar dan para pengelana mulai berubah.
Berbeda dengan lapau, balai (adat) diakui keberadaannya dalam sistem sosial-politik tradisional Minangkabau. Balai (adat) adalah salah satu lembaga yang harus ada dalam setiap nagari. Tambo dan literatur lain tentang adat Minangkabau menyebut bahwa nagari, sebagai suatu lembaga sosial-politik tertinggi di Minangkabau, harus memiliki balai (adat), mesjid, jalan raya, gelanggang, tepian tempat mandi.
Balai (adat) menjadi penting dalam merumuskan atau menentukan berbagai sikap pemerintahan atau warga nagari terhadap berbagai kebijakan pemerintah kolonial. Persoalan yang dirapatkan atau dimusyawarahkan di balat (adat) umumnya persoalan yang berhubungan langsung dengan kepentingan warga nagari. Umumnya persoalan tersebut muncul dari masyarakat.