Jurnal Museum Parajnaparamita Edisi Bulan Agustus Telah terbit

  • Post author:
  • Post category:Berita

Jurnal Parajnaparamita senantiasa menghadirkan jurnal-jurnal yang bertema museum, sejarah dan kebudayaan. Jurnal yang akan dibahas pada artikel ini diantaranya yaitu Pengembangan Kitosan Sebagai Bahan Konservasi Fosil, Prasasti Lonthoir Dan Kisah Perkenier, Tenggelamnya Museum Kami : Museum Dan Perubahan Iklim, New Museology : Arah Baru Museum Di Provinsi Jambi Sebagai Ruang Edutainment Pemajuan Kebudayaan dan Pistha Ageng: Perubahan Pola Jamuan Bangsawan Yogyakarta Tahun 1855-1939. Tujuan dari penerbitan jurnal ini adalah Sebagai sarana publikasi hasil pemikiran ilmiah, menginformasikan hasil kajian dan pengamatan terkait dengan museum, sejarah dan kebudayaan, serta meningkatkan penyebarluasan informasi khasanah budaya bangsa dan meningkatkan apresiasi masyarakat terhadap museum.

Berdasarkan dari review jurnal Pengembangan Kitosan Sebagai Bahan Konservasi Fosil, menyatakan jika dapat dikembangkan sebagai bahan alternatif untuk konsolidasi fosil berbahan alam. Campuran kitosan 5% dengan serbuk fosil terbukti dapat meningkatkan kekuatan fosil dengan nilai kuat tekan 0,43 N/mm2. Hasil pengujian gugus fungsi dan ikatan kimia dengan spektofotometer FTIR secara keseluruhan penambahan kitosan, baik konsentrasi 5%, 10%,maupun 15% pada serbuk fosil tidak mengubah komposisi kimia fosil.semakin tinggi konsentrasi kitosan yang digunakan untuk merekatkan atau mengonsolidasi,partikel-partikel dari fosil akan semakin kuat. Kitosan untuk pembuatan mortar fosil kitosan tidak mengubah warna bubukan fosil,baik kitosan konsentrasi 5%, 10%,maupun 15% sehingga kitosan dapat digunakan karena tidak mengubah keaslian benda.

Jurnal Prasasti Lonthoir Dan Kisah Perkenier membahas dan menganalisis tentang Prasasti Lonthoir dan Kisah Perkenier, berdasarkan jurnal yang dibahas dapat disimpulkan bahwa  penguasaan sebuah wilayah dapat terjadi karena adanya suatu power yang mampu melancarkan pengaruhnya untuk memaksakan kehendaknya. Selain itu, prasasti Lonthoir merupakan cagar budaya yang sangat langka jenisnya karena sejauh yang penulis ketahui tidak pernah ditemukan prasasti serupa yang berupa patok pembatas atau yang lazim disebut dengan padrao yang ditulis berulang di tempat yang sama,tetapi dengan bahasa yang berbeda. Pencarian genealogi atau stamboom dari sosok Jan van den Broeke yang adalah seorang perkenier di Lonthoir menjadi sesuatu yang cukup sulit karena tidak banyak sumber menyebutkan nama tersebut. Namun, sejauh yang penulis ketahui, Prasasti Lonthoir koleksi Museum Nasional ini telah menjadi bukti primer berupa benda satu-satunya mengenai daerah Lonthoir.

Berdasarkan jurnal Tenggelamnya Museum Kami: Museum dan Perubahan Iklim sudah bisa menjadi argumen yang cukup bagi museum untuk segera membahas perubahan iklim. Singgahlah ke Museum Bahari, yang beberapa lantai dan permukaannya sudah ditinggikan lebih dari satu meter untuk mengatasi penurunan permukaan tanah dan kenaikan muka air laut. Tanpa upaya preservasi yang sungguh-sungguh, di tengah himpitan perubahan iklim, sudah hampir bisa dipastikan warisan budaya ini dan pengetahuan di baliknya akan punah tepat di depan mata kita. Pola pikir inilah yang bisa menuntun museum untuk mengembangkan program yang relevan untuk menjawab persoalan dan kebutuhan masyarakat, baik dalam bentuk pameran, tata praktik,maupun kemitraan dengan masyarakat.

Jurnal New Museology : Arah Baru Museum Di Provinsi Jambi Sebagai Ruang Edutainment Pemajuan Kebudayaan membahas tentang Tata    kelola    koleksi    Museum    Siginjai, Museum Perjuangan   Rakyat   Jambi,   dan Museum Gentala   Arasy   sangat potensial untuk dimaksimalkan     dalam     perannya sebagai    sumber    pemajuan kebudayaan. Selain karena koleksinya memiliki nilai-nilai penting juga  karena publik  memiliki  ikatan erat  dan  memori  kolektif dengan koleksi, seperti   keris   Siginjai   dan   koleksi   lain. Terlebih dengan kondisi masa kini, kemajuan Revolusi  Industri 4.0  dan  era New  Normal Menjadikan museum sebagai media pembelajaran modern yang tepat serta dapat dinikmati semua  lapisan masyarakat dengan aman  dan  nyaman.

Jurnal Pistha Ageng : Perubahan Pola Jamuan Bangsawan Yogyakarta Tahun 1855 –  1939 menceritan tentang Catatan Babad Mentawis yang menyebutkan bahwa Sri Sultan Hamengku Buwono II telah terbiasa menyantap roti tawar dengan mentega. Kondisi ini kemudian secara terang-terangan ditunjukkan oleh Sri Sultan Hamengku Buwono VI yang memilih untuk membentuk juru masak khusus guna memasak menu-menu Eropa saat Sultan menggelar jamuan di keraton. Pada periode Sri Sultan Hamengku Buwono VII, meski tidak secara terang-terangan menggelar jamuan besar bernuansa Eropa, tetapi Sultan banyak membangun ruang-ruang penyiapjamuan. Bahkan, secara khusus Sultan melembagakan Abdi Dalem Minuman yang bertugas untuk menyajikan minuman Jawa dan minuman Eropa saat digelarnya jamuan.Berbeda halnya dengan periode Sri Sultan Hamengku Buwono VIII, pada  masa ini pertumbuhan Budaya Eropa di Yogyakarta begitu kental. Sultan Kedelapan secara taktis mengubah pola jamuan di keraton yang semula duduk leseh, berubah menjadi jamuan kursi.

Artikel lainnya: https://www.museumnasional.or.id/menginang-tradisi-ramah-tamah-yang-hampir-punah-3872

Baca Juga: https://kebudayaan.kemdikbud.go.id/kantor-jaksa-manhattan-kembalikan-tiga-barang-antik-indonesia/