CIPTO MANGUNKUSUMO: MENEMBUS BATAS DAN LAWAN DISKRIMINASI

0
190

Kerasnya penjajahan di tanah air membuat Indonesia banjir akan tangisan dan darah karena kehilangan para pahlawannya, satu-satunya harapan dan pengobar semangat kemerdakaan rakyat. Banyak pahlawan kita mati disengat peluru, ditangkap dan dipecut, dipukul sampai mati, diancam, difitnah bahkan, dibuang ke pulau terpencil dengan anggapan bahwa mereka akan kecut dan langsung mengubur cita-cita luhur mereka untuk melihat tanah air yang merdeka. Sebuah potret kekejaman pada rakyat Indonesia oleh penjajah, yang tidak mengenal kemanusiaan dan keadilan, hal ini menjadi catatan hitam sejarah bangsa kita

Perjuangan para pahlawan dalam memerdekakan tanah air Indonesia dari penjajahan dilakukan dengan menyerahkan seluruh kepunyaannya, harta, waktu, harga diri, hati dan jiwa bahkan, nyawanya pun dijadikan nomor terakhir jika itu menyangkut cita-cita luhur bangsa kita untuk tegak dan berdiri sendiri, walau begitu   mereka tetap semangat dan tidak pernah menyerah akan cita-cita luhur mereka. Begitu pulalah hal yang dialami seorang pria Jawa yang khas dengan blangkon, jas lurik serta ekspresi matanya yang tajam, yang biasa kita lihat di deretan foto pahlawan pergerakan nasional. Semangatnya lahir dari dukanya saat melihat penindasan yang dialami bangsanya dan lahir pula dari kerinduannya untuk menghirup udara kebebasan di tanah airnya.

Dr. Cipto Mangunkusumo, Onze Tjip akrabnya, tapi Cipto si dokter rakyat-lah julukannya. Lahir di Jawa Tengah pada tanggal 4 Maret 1886. Beliau adalah anak sulung dari Mangunkusumo, seorang priayi golongan rendah dalam struktur masyarakat Jawa. Karier Mangunkusumo diawali sebagai guru bahasa Melayu di sebuah sekolah dasar di Ambarawa, kemudian menjadi kepala sekolah pada sebuah sekolah dasar di Semarang dan selanjutnya menjadi pembantu administrasi pada dewan kota di Semarang. Sementara sang ibu, adalah keturunan dari seorang tuan tanah di Mayong, Jepara. Walau begitu, orang tua Cipto telah berhasil mendidik dan membesarkan Cipto dengan segala keistimewaan dalam dirinya, ia jadi dikenal sebagai seorang patriot yang multitalenta dan tidak takut akan segala resiko yang dihadapinya sebagai inlander, karena menyuarakan hak-hak tanah jajahan.

Cipto sangat anti feodalisme, hal ini mulai terlihat saat dirinya menolak menjadi Pangreh Praja yaitu, pegawai pemerintah pribumi yang membantu tugas-tugas pada masa pemerintahan kolonial. Pada masa tersebut Pangreh Praja adalah orang yang disembah-sembah (dihormati dan dihargai masyarakat pribumi) dan disuruh menyembah – nyembah (tunduk pada pemerintahan kolonial dan patuh tanpa bertanya), yang pada masanya merupakan suatu perilaku adat yang menjadi kebanggaan setiap keluarga Jawa. Cipto justru meminta restu pada ayahnya agar dapat melanjuti pendidikannya di STOVIA, sebuah sekolah dokter untuk kaum bumiputera, dengan harapan bahwa dia akan bisa lebih dekat untuk membantu masyarakat lemah yang tertindas karena pemerintah kolonial.

Pribadinya yang pintar dan rajin mulai tampak saat Cipto menempuh pendidikan di STOVIA. Ia mendapat julukan “Een begaafd leerling” yang artinya “Murid yang berbakat”, dari guru dan teman – temannya. Sifatnya yang rajin tampak pula dari sebuah sem boyan miliknya yaitu, “Kewajiban pelajar ialah belajar, belajar, sekali lagi belajar”. Citra Cipto yang semakin mengistemewakan dirinya pun mulai tampak ketika ia lebih memilih menghadiri ceramah – ceramah, membaca buku, dan bermain catur dibandingkan berpesta seperti teman sebayanya yang lain.

Sifat Cipto yang pro rakyat kecil pun mulai nampak ketika ia bersekolah di STOVIA. Ia memilih memakai baju hitam dengan kain berwarna kelam dengan ikat kepala dari kain yang di ikat sederhana, yang pada masa itu merupakan pakaian yang biasanya dipakai oleh petani dan rakyat jelata. Tindakannya itu merupakan bentuk ketidaksetujuaannya atas diskriminasi yang ada di sekolahnya, yaitu dengan adanya peraturan yang mengharuskan pelajar Jawa dan Sumatera yang bukan Kristen agar memakai pakaian tradisional khas daerah masing-masing bila sedang berada di sekolah, sementara pakaian barat hanya untuk hirarki administrasi kolonial, atau pribumi dengan jabatan bupati. Cipto juga pernah berkata, “Aku adalah anak rakyat, anak si kronis!” Hal itu dikatakannya karena kegeramannya atas diskriminasi yang ada pada masa itu. Karena keberaniannya dalam menentang peraturan yang diskriminatif itu, Cipto di panggil teman – temannya dengan julukan “Onze Tjip” yang berarti “Cip kita”. Bagi Cipto, peraturan berpakaian tersebut merupakan perwujudan politik kolonial yang arogan dan diskriminatif. Walau begitu, STOVIA merupakan tempat awal Cipto menemukan kebebasannya untuk berpikir dan mengemukakan segala pemikirannya itu. Di STOVIA jugalah untuk pertama kalinya ia lepas dari tradisi keluarga yang kuat, dan berkenalan dengan lingkungan baru yang diskriminatif.

Setelah lulus dari STOVIA pada tahun 1905, Cipto wajib menjalani masa dinas pemerintah. Dari Glodok, lalu Amuntai, kemudian pindah lagi ke Banjarmasin, dan terakhir di Demak. Ia selalu dipindah tugaskan dengan satu alasan yang sama, dan semuanya itu merupakan hasil “kenakalan” Cipto yang sangat dibenci orang-orang Belanda yang ada di sekitarnya. Saat menjalani tugas di Demak “kenakalan” Cipto makin nampak, ia mulai berani menyindir para petugas pemerintahan Belanda dan kaum ningrat di Demak dengan sebuah aksi yaitu, ia meniru kebiasaan mereka berkeliling kota naik bendi (kereta kuda) dengan kap terbuka. Hal itu membuktikan bahwa Cipto tidak berat sebelah dalam menentang feodalisme. Baik itu para feodal Indonesia (orang-orang ningrat dan birokrat pribumi) maupun pemerintah kolonial, kalau Cipto mencium bau feodalisme, dia akan terus berjuang menjatuhkannya.

Disamping bekerja sebagai dokter, Cipto juga aktif menulis artikel di koran de Locomotief, sebuah koran bernuansa liberal yang bercorak etis yang terbit di Semarang. Etis yang dimaksud disini adalah politik etis (politik balas budi), yang pada masa itu sedang disebarluaskan pada masyarakat Hindia oleh Ratu Wilhelmina dengan programnya yaitu irigasi, emigrasi, dan edukasi, walau begitu politik etis ini hanya sekedar untuk menarik simpati rakyat, rakyat masih tetap sengsara karena pemerinah kolonial.  Tulisan Cipto sering kali mengkritik dan menyerang pemerintah kolonial tentang cara mereka memerintah, ia juga sering mengkritik para feodal tanah air. Bagi Cipto dalam hubungan feodal nyata sekali ada kepincangan – kepincangan sosial. Dalam masyarakat yang feodal berlaku ketentuan bahwa keturunanlah yang menentukan nasib seseorang bukan keahliannya, sehingga anak priayi dan para ningrat akan terus berada diatas dan anak desa akan terus terbelakang. Feodalisme membuat rakyat yang melarat akan terus melarat dan yang berkuasa akan terus berkuasa.

Cipto juga mengkritik suatu dalil umum yang diketahui semua orang pada masa kolonial, yaitu pemerintah kolonial bersendikan perbedaan warna kulit, sehingga masyarakat kolonial dibagi menjadi dua golongan yang dipisahkan oleh garis warna. Tulisan-tulisan Cipto di harian De Locomotief, mengakibatkan Cipto sering mendapat teguran dan peringatan dari pemerintah kolonial. Untuk mempertahankan kebebasannya dalam menyatakan pendapat Cipto kemudian keluar dari dinas pemerintah dengan konsekuensi mengembalikan sejumlah uang ikatan dinasnya yang tidak sedikit.

Di berbagai lapangan, seperti pemerintahan, politik, ekonomi dan sosial, rakyat pribumi tidak bebas menduduki jabatan, ada garis yang sangat nyata yang membatasi kemajuan masyarakat. Tidak semua anak mendapat kesempatan menempuh pendidikan di sekolah Eropa walaupun dia berbakat, hanya mereka yang berasal dari golongan tinggi saja yang bisa masuk ke sekolah Eropa. Pada masa kolonial, tidak ada orang yang berani masuk ke tempat pertemuan sociteit, sebuah tempat khusus perkumpulan orang Belanda dimana para inlander tidak diperbolehkan menginjakkan kaki di tempat itu. Tetapi Cipto yang radikal dan sangat emosional itu tidak menghiraukan larangan yang penuh diskriminasi terhadap bangsa Indonesia itu. Sebagai protes, Cipto dengan pakaian khasnya, yakni kain batik dan jas lurik berwarna kelamnya, masuk ke dalam sebuah sociteit yang penuh dengan orang – orang Belanda. Dengan santainya Cipto duduk di kursi dan menjulurkan kakinya. Suasana menjadi sangat ribut karena sociteit kemasukan seorang inlander kurang ajar. Segera mereka memerintahkan panjaga untuk mengusir Tjip dari gedung. Maka dengan lantangnya Cipto memaki – maki penjaga dan orang – orang di sekitarnya dengan bahasa Belanda yang fasih. Demikianlah salah satu cara Cipto membela bangsa Indonesia dan membuktikan bahwa bangsa kita sangat pintar dan tidak inferior.

Cipto juga punya cara lain untuk menunjukan protesnya terhadap orang – orang Belanda. Salah satunya dengan cara menunjukkan sisi humornya. Pernah ia membeli sebuah karcis lalu, karcis kereta tersebut ia berikan kepada seorang pengemis dengan pakaian yang compang – camping. Disuruhnya pengemis itu cepat – cepat naik ke sebuah kereta cepat khusus orang – orang kulit putih yang baru saja memasuki stasiun. Sontak, para penumpang “spesial” kereta khusus itu berteriak – teriak dan berhamburan keluar karena jijik melihat si pengemis di dalam kereta khusus tersebut. Begitulah humor dan keberanian Cipto yang sangat eksentrik yang dilakukannya sebagai protes terhadap kesombongan penjajah.

Setelah lepas dari ikatan dinasnya itu, Cipto membuka praktek dokter partikelir di Solo. Disana dia langsung dikenal sebagai “Dokter rakyat”. Julukannya itu ia dapatkan karena ia mau masuk ke kampung-kampung naik sepeda untuk mengobati rakyat kecil dan tidak meminta bayaran. Walau dia telah mempunyai julukan, masih banyak masyarakat di Solo yang lebih mengenalnya sebagai “Wong pinter” dibanding “Dokter rakyat” karena dulu istilah dokter masih asing didengar dan dokter pun masih jarang ditemukan, Cipto disangka dukun walau ia mengenakan alat-alat kedokteran saat mengobati pasiennya.

Saat hari sudah sore Cipto sering kali jalan-jalan ke alun-alun. Ia kadang – kadang menggunakan bendi kesayangannya. Sama seperti saat ia di Demak, Cipto menunjukkan jiwa anti feodalismenya lagi melalui suatu tindakan. Ia sengaja meledek peraturan yang melarang bendi untuk lewat di depan keraton. Cipto dengan santainya memutari alun – alun dan keraton Sunan Pakubuwono X. Walau sudah beberapa kali ia mendapat teguran, Cipto tetap saja mengulangi perbuatannya itu.

Ditahun 1908, organisasi bernama Budi Utomo lahir. Organisasi beraliran sosial, ekonomi, dan kebudayaan ini terinspirasi oleh seorang dokter Jawa benama Mas Wahidin Sudiro yang berusaha menghimpun suatu “Dana Pendidikan Orang Jawa” yaitu, sebuah penggalangan dana untuk menyekolahkan anak-anak di Jawa secara gratis. Cipto pun menyambut baik organisasi ini dan langsung bergabung. Namun, pada kongres pertama Budi Utomo di Yogyakarta, jiwa revolusioner Cipto pun bangkit dan bersuara, Cipto menginginkan Budi Utomo dijadikan organisasi politik yang terbuka untuk umum dan berfungsi untuk memimpin rakyat tanpa tergantung pada para pejabat tinggi lainnya. Sayangnya, hal ini tidak diindahkan oleh Radjiman Wedyodiningrat yang menginginkan organisasi ini menjadi suatu organisasi kebudayaan yang bersifat Jawa. Cipto pun keluar dari Budi Utomo karena perbedaan pendapat tersebut. Bukan karena membenci kebudayaan Jawa, melainkan karena ia membenci dunia keraton yang feodalistis.

Tak lama setelah itu, di tahun 1910 terjadi wabah pes di Malang. Penyakit yang disebabkan karena kutu tikus itu sangat mudah menyebar dan sulit untuk ditangani karena sarana kesehatan dan alat – alat kedokteran tidak memadai. Hal ini diperparah lagi karena rasisme yang masih lazim dan sering terjadi. Banyak dokter Belanda yang tidak mau pergi ke Malang untuk mengobati warga yang terkena penyakit pes. Walaupun mereka tahu kalau wabah ini bisa menyebar dan mereka pun bisa saja terkena wabah ini nantinya, mereka tetap tidak mau mengobati warga yang terkena penyakit pes di Malang. Karena bahkan, tanpa adanya penyakit pes ini mereka sudah jijik bila bertemu atau bahkan hanya melihat para inlander. Geram akan hal itu, Cipto memasang muka tebal dan memberanikan diri mendaftar kembali menjadi dokter dinas agar bisa ditempatkan di Malang dan membantu korban-korban penyakit pes disana. Tanpa memakai masker atau tutup hidung dan mulut, Cipto tanpa gentar memasuki pelosok-pelosok desa di Malang guna membasmi wabah pes ini.

Saat mengobati wabah pes di Malang, Sifat luhur Cipto yang lain pun keluar. Dia menunjukkan kasih, rasa kemanusiaan dan dedikakasinya yang besar ketika mengobati masyarakat yang terkena wabah pes di Malang. Kasih dan rasa kemanusiaannya yang besar membuat ia tidak takut akan marabahaya apapun yang akan dihadapinya. Karena bagi Cipto, seluruh nyawa dan takdirnya telah ia serahkan pada Tuhan Yang Maha Esa. Hal tersebut terbukti saat Cipto menyelamatkan seorang anak perempuan yang hampir terbunuh. Pada mulanya Cipto mendengar suara anak kecil menangis dari dalam sebuah rumah penderita penyakit pes. Rumah tersebut sudah setengah terbakar. Rumah tersebut dibakar karena menurut warga setempat, cara untuk membasmi penyakit pes adalah dengan membakar rumah sang penderita penyakit pes. Melihat hal tersebut, dengan sigap Cipto langsung membongkar rumah dan menyelamatkan sang anak. Tanpa rasa jijik pada si anak yang juga menderita penyakit pes, Cipto menggendong anak kecil itu dengan lembut dan tanpa rasa takut akan penyakit yang mungkin saja akan ditularkan si anak kecil kepadanya. Dengan sangat telaten Cipto mengobatinya dan pada akhirnya Cipto pun berhasil menyelamatkan nyawa anak kecil tersebut. Sayangnya, anak tersebut sudah yatim piatu karena kedua orang tuanya meninggal karena penyakit pes. Mengetahui hal itu, Cipto pun langsung mengangkat anak kecil itu sebagai anaknya. Lalu, Cipto memberi nama si gadis mungil tersebut Pestiati. Cipto peduli pada pendidikan Pestiati dan dia pun menyekolahkannya dengan layak. Hingga akhir hayat Cipto pun, Pestiati tetap setia merawat dan berada di sisi Cipto. Pestiati merupakan hadiah Tuhan untuk segala kebaikan dan kasih sayang Cipto.

Berkat keberanian dan kegigihan Cipto dalam memberantas wabah pes di Malang, ia dianugerahi suatu bintang jasa Ridder in de Orde van Oranje Nassau dari Ratu Wilhelmina pada tahun 1912. Tetapi tidak sampai satu tahun bintang jasa itu ada digenggamannya, ia sudah mengembalikannya. Hal tersebut dilakukannya karena ia tidak diizinkan untuk menangani wabah pes yang terjadi di Solo pada waktu itu. Soal bintang jasa tersebut Cipto punya humor unik untuk mengekspresikan kekesalannya kepada pemerintah kolonial, yaitu dengan cara menyematkan “Si bintang emas” di kantong belakang celananya. Jadi, bila ada serdadu yang harus hormat pada anugerah Ratu Wilhelmina tersebut, serdadu itu harus hormat kepada bokong Cipto.

Kiprah Cipto di dunia politik pun tidak ia tinggalkan. Bersama E. F. E. Douwes Dekker dan Suwardi Suryaningrat, Cipto mendirikan Indische Partij (IP) yang merupakan organisasi pertama yang dengan lantang menyuarakan kiprahnya di dunia politik. IP menggunakan media majalah Het Tijdschrifc dan surat kabar de Expres pimpinan E. F .E Douwes Dekker sebagai sarana untuk membangkitkan rasa kebangsaan dan cinta tanah air. Tujuan utama partai ini sangat revolusioner, yaitu untuk menentang politik rasial yang dilakukan pemerintah kolonial. Hal tersebut tampak dari slogan IP yaitu, “Indië voor Indiërs”, yang artinya Hindia untuk Hindia, dimana hal tersebut menunjukkan kemandirian bangsa kita dan intelektualitas para inlander yang seringkali dianggap remeh oleh pemerintah kolonial. Sayangnya, walau partai ini merupakan suatu gebrakan besar di bidang politik tanah air, partai ini tidak bertahan lama. Saat partai ini berusaha didaftarkan status badan hukumnya, partai ini ditolak oleh pemerintah kolonial pada tanggal 11 Maret 1913, penolakan ini dikeluarkan oleh Gubernur Jendral Idenburg sebagai wakil pemerintah Belanda di negeri jajahan dengan alasan organisasi ini dianggap dapat membangkitkan rasa nasionalisme rakyat dan bergerak dalam sebuah kesatuan untuk menentang pemerintah kolonial Belanda.

Pada tahun 1913, Belanda merayakan kemerdekaannya yang ke 100 tahun. Sama seperti di negeri asalnya, para pemerintah kolonial di Hindia juga tidak mau melewatkan kemeriahan yubileum semacam itu. Guna mensukseskan acara tersebut pemerintah kolonial lalu, membentuk Komite Perayaan 100 Tahun Kemerdekaan Bangsa Belanda. Mereka memungut uang dari daerah jajahannya agar acara tersebut dapat terlaksana dengan baik dan meriah. Mereka tidak peduli bagaimana perasaan dan kondisi bangsa kita yang justru makin melarat akibat pungutan uang tersebut.

Geram akan hal itu, para pejuang kemerdekaan Indonesia yang sebagian besar merupakan mantan anggota Indische Partij mendirikan komite penyaing dengan arti nama yang sama namun, dengan tujuan yang berbeda yaitu, Inlandsche Comite tot Herdenking van Nederlands Honderjarige Vrijheid (Komite Bumiputera untuk Peringatan Seratus Tahun Kemerdekaan Belanda) atau yang lebih dikenal dengan Komite Bumiputera. Dipimpin oleh sang dokter rakyat, Dr. Cipto Mangunkusumo, Sutatmo Suriokusumo sebagai wakil ketua, Suwardi Suryaningrat sebagai sekertaris, dan Wignyadisastra sebagai bendahara. Melihat komposisi para pengurusnya, mereka merupakan pahlawan yang revolusioner di mata rakyat, pahlawan yang selalu ada untuk menjaga agar api harapan akan kemerdekaan tetap hidup di hati seluruh masyarakat. Berbeda dari sudut pandang rakyat, pemerintah kolonial justru menganggap mereka seperti tikus pengganggu yang susah sekali dibasmi walau racun tikus sudah disebarkan ke segala penjuru, tikus pengganggu yang ditakuti karena dianggap akan mencuri makanan mereka.

Komite ini berkali – kali menulis artikel – artikel berbahaya di koran. Mulai dari pernyataan bahwa kemerdekaan Belanda hanya untuk Orang Belanda saja; oleh karena itu bangsa kita tidak harus merayakannya apalagi ikut membayar agar acara tersebut berjalan dengan lancar dan meriah sampai dengan propaganda untuk Hindia yang merdeka. Komite ini juga mengirim Surat kawat kepada Ratu Wilhelmina yang isinya berupa protes terhadap adanya perayaan kemerdekaan yang sangat menghina tersebut dan meminta persetujuan untuk segera dibentuknya sebuah Indisch Parlement (Parlemen Hindia). Yang paling kontroversional adalah tulisan Suwardi yaitu, “Als ik een Nederlander was” (andaikan saya seorang Belanda) yang berisikan sindiran terhadap pemerintah kolonial yang menceritakan jika ia merupakan orang Belanda, ia tidak akan merayakan kemerdekaan negaranya dari penjajah, di negeri yang belum bisa merasakan udara kebebasan dari penjajah. Tulisan ini kemudian diterjemahkan kedalam bahasa Melayu oleh Abdul Muis. Cipto juga menulis artikel senada dengan judul “Menimbang” yang berisi kritikan pedas terhadap pemerintah jajahan serta kaum feodal dan rencana perayaan 100 tahun kemerdekaan Belanda.

Akibat tulisan – tulisan Suwardi dan Cipto di koran de Express, keduanya bersama dengan Douwes Dekker selaku pemimpin redaksi, di buang ke negeri Belanda. Ayah Cipto yang mengetahui perihal pembuangan putra sulungnya ke negeri yang jauh itu langsung meminta Cipto untuk tidak “bandel” lagi agar ia tidak dibuang dan menderita. Namun, Cipto yang terus berpegang pada peribahasa “Rawe – rawe rantas, malang – malang putung” itu pun menolak keinginan ayahnya. Cipto menganggap pembuangannya dan teman – temannya ke negeri Belanda itu merupakan bukti bahwa pemerintah kolonial merasa terserang. Bukti bahwa mereka telah berhasil menyelesaikan tahap awal untuk menyingkirkan pemerintah kolonial dari Indonesia dan membangkitkan rasa nasionalisme rakyat untuk terwujudnya impian mereka yaitu, Indonesia yang merdeka.

Di negeri Belanda, Cipto dan teman – temannya bergabung dengan mahasiswa Indonesia yang belajar di Negeri Belanda. Mereka terus menyebarkan ide – ide kebangsaan dan kemerdekaan. Sayangnya kesehatan Cipto menurun dan penyakit asthma yang dideritanya sering kali kambuh dalam hawa dingin di negeri itu. Pada bulan Juli 1914 dia kembali ke Indonesia dan di izinkan tinggal Kota Solo. Di kota itu, Cipto kembali melihat  praktek – praktek penindasan terhadap rakyat kecil oleh pemerintah kolonial dan kaum feodal. Walau begitu, semangat juang Cipto tidak surut bahkan, semakin meninggi. Ia terus mengecam pemerintah kolonial dan pemerintah feodal yang membuat rakyat sengsara.

Pada tahun 1918 Pemerintah Hindia – Belanda membentuk Volksraad (Dewan Rakyat). Gubernur jenderal Van Limburg Stirum mengangkat beberapa tokoh radikal seperti Cipto dengan maksud agar Volksraad dapat menampung berbagai aliran sehingga sifat demokratisnya dapat ditonjolkan. Cipto tidak menyia – nyiakan kesempatan tersebut, ia memanfaatkan Volksraad sebagai tempat untuk menyatakan pemikiran dan kritiknya terhadap pemerintah mengenai masalah sosial dan politik.

Walaupun Cipto menjadi anggota Volksraad, ia tetap mengkritik lembaga tersebut. Cipto menganggap Volksraad hanya sebuah lembaga yang sengaja dibentuk untuk mempertahankan kekuasaan penjajah dengan kedok demokrasi. Hal tersebut terbukti dari tulisannya di sebuah majalah bulanan bernama, “De Indische Beweging” yang berisi kritikan terhadap Volksraad tentang sistem pemilihannya maupun terhadap praktek – praktek kaum kapitalis dengan penanaman modalnya di Indonesia. Hal tersebut membuktikan bahwa selain tidak setuju dengan feodalisme dan kolonialisme, Cipto juga tidak setuju dengan paham komunisme.

Karena Cipto dianggap berbahaya oleh pemerintah kolonial maka, pada tahun 1920 Cipto dipindahkan ke Bandung dan dilarang bergerak dengan bebas, seolah – olah dia dijadikan tahanan kota oleh pemerintah. Di Bandung ia bertemu dengan kaum muda yang juga revolusioner salah satunya adalah Sukarno. Di sana ia juga membuka rumahnya bagi siapa saja yang mau berobat dan berdiskusi tentang masalah politik dan sosial.

Kebaikan hati Cipto seringkali membawa malapetaka bagi dirinya. Di akhir tahun 1926 dan permulaan tahun 1927 terjadi “Pemberontakan Komunis” di beberapa tempat di Jawa dan pantai barat Sumatera. Cipto pernah memberi bantuan pada seorang pemuda yang bercerita bahwa ia akan ikut dalam pemberontakan itu. Pemuda itu di beri Cipto nasihat agar tidak mengikuti pemberontakan tersebut karena dapat menyakiti orang yang tidak bersalah. Selain nasihat, Cipto juga memberi pemuda itu uang sebesar ƒ10 (sepuluh gulden) untuk biaya si pemuda mengunjungi rumah keluarganya di Jatinegara. Mengetahui hal tersebut, pemerintah kolonial tidak menyia – nyiakan kesempatan itu untuk menyingkirkan sang patriot. Tanpa menunggu lama, pemerintah kolonial langsung menuduh Cipto terlibat dalam pemberontakan dan mengasingkan Cipto ke Banda.

Di awal kedatangannya, Cipto sangat ditakuti oleh masyarakat Banda karena ia dianggap komunis. Namun, lama – kelamaan Cipto diterima luas oleh masyarakat bahkan, menjadi tokoh yang dihormati disana. Cipto juga menjadikan rumahnya sebagai tempat berdiskusi dan menyalurkan ide – idenya dan cita – citanya tentang Indonesia yang merdeka kepada warga setempat. Hingga akhir hayatnya dia selalu di kenang, dan cita – citanya terus dilanjutkan oleh para pejuang kemerdekaan bangsa yang lainnya.

Dr. Cipto Mangunkusumo, Onze Tjip akrabnya, tapi Cipto si dokter rakyat- lah julukannya. Tidak setitik pun perjuangan dan pengorbanannya sia – sia. Dari anak seorang priayi kelas bawah ia berhasil menembus kelas – kelas sosial dan menjadi seorang patriot yang tidak hanya membuat bangsa kita selangkah lebih maju menuju kemerdekaan, ia juga telah menyelamatkan banyak nyawa dengan talenta dan pengetahuan yang ia miliki.

Fitnah, diskriminasi hingga pembuangan dihadapinya dengan berani dan hal tersebut tidak menyurutkan semangat juangnya untuk melihat Indonesia yang merdeka. Ia mengajarkan kita banyak hal, mulai dari kasih hingga pengorbanan untuk orang lain. Dia juga megajarkan kita agar tidak takut untuk bersuara dan mengambil tindakan jika melihat sesuatu yang salah yang dapat merugikan banyak orang. Dalam suratnya ia pernah menulis:

“Hari kemudian dari pada tanah kita dan rakyat kita terletak dalam hari sekarang. Hari sekarang itu ialah kamu, hai generasi muda!

Rawe – rawe rantas, malang – malang putung!”

Sesuai dengan tulisan itu, sekarang tinggal tugas kita sebagai generasi muda untuk terus berjuang mempertahankan kedaulatan tanah air yang telah susah – payah diperjuangkan kemerdekaannya oleh dr. Cipto Mangunkusumo dan para pahlawan kita yang lainnya.

Writen by : SEPANIA IMMANUELLA MAGDALENA P.