“Tentang Keserakahan dan Seribu Candi yang Berduka”

0
3041

Notice: Trying to get property 'roles' of non-object in /home/website/web/kebudayaan.kemdikbud.go.id/public_html/wp-content/plugins/wp-user-frontend/wpuf-functions.php on line 4663

Pemenang Lomba Penulisan Cerita Rakyat 2015, KATEGORI ANAK/REMAJA, Penulis: Ikhsan Abdul Hakim.

~Semburat merah candikala dan redup cahaya senja kian menyuramkan tlatah
kerajaan Baka yang luluh lantak dihancur bala tentara Pengging. Mayat-mayat
prajurit bergelimpangan di sepanjang sapuan mata dan derap kaki pasukan
Pengging membikin rakyat Baka yang tersisa dirundung ngeri. Baru saja negeri
mereka diserbu ribuan prajurit Pengging di bawah senapati pinunjul sekaligus
pangeran kerajaan Pengging: Bandung Bondowoso.
Di antara mayat-mayat yang bergelimpang dan rumah yang rusak, putri
satu-satunya Prabu Baka bersembunyi di sebuah rumah. Dia adalah Rara
Jonggrang, dara yang mahsyur kecantikannya di seluruh Tanah Jawa ini. Rara
Jonggrang bersembunyi dengan satu-satunya kepercayaannya yang tersisa:
Patih Gupala. Perasaan sedih, marah, dan ngeri pada batinnya membikin ia tak
mau menyerahkan diri pada Bandung Bondowoso. Meski ia juga tahu bahwa
Bandung Bondowoso bisa memberikan apa pun yang dia mau jika bersedia
menyerahkan diri untuk dijadikan istri.
“Kita tidak bisa terus bersembunyi disini, Putri.” kata Patih Gupala.
“O, Paman Patih. Lalu apa yang harus kita lakukan? Bala tentara Pengging
telah menguasai negeri ini, kita tak tahu berapa banyak peronda yang berkeliling
di luar sana.” sahut Rara.
“Mungkin kau tak akan bisa lari Putri, peronda dari Pengging akan
menangkapmu dengan cepat jika kau keluar dari sini. Tapi aku akui aku tak akan
bisa melawan peronda-peronda Pengging yang tak terkira jumlahnya itu jika
sendirian. Tapi ketahuilah Putri dari Sri Ratu Prabu Baka, bahwa patihmu siap
mati kapan pun demi kau.”
“Aku tahu seberapa besar kesetiaanmu pada ayahku, Paman. Tapi cobalah
kita berpikir bagaimana keluar dari sini.”
“Aku akan pikirkan jalan.”
Sementara itu di atas singgasana kraton Baka, Bandung Bondowoso mencakmencak
tak henti pada prajuritnya yang datang melapor.
“Ampun Yang Mulia Gusti Pangeran, kami telah menyisir seluruh daerah
selatan Prambanan. Tapi Rara Jonggrang tak berhasil kami temukan.”
“Cari sampai ketemu!” geram Bandung, “atau kau mau aku hukum picis?”
Dengan wajah ketakutan prajurit itu menyembah untuk kemudian pergi.
Cepat langkahnya saking takutnya pada Bandung Bondowoso.
Tumenggung Sanjaya yang sedari tadi duduk menemani Bandung Bondowoso
mulai gelisah melihat sikap junjungannya. Dia yang telah kenyang akan pahitmanis
kehidupan mengerti apa yang dirasai Bandung. Tapi dia menyayangkan
sikap Bandung yang tergesa. Dia tahu seperti apa watak Bandung Bondowoso
dan amatlah khawatir dengannya.
“Anakmas Bandung, baiknya kita cari dulu prajurit-prajurit Baka yang kabur.
Apalagi Patih Gupala, orang yang selama ini di belakang pemerintahan Prabu
Baka belum tertangkap. Dia bisa jadi hambatan besar dalam penaklukanmu kali
ini Anakmas.”
“Paman Sanjaya! Apalah peduliku pada Baka yang telah remuk ini? Biar para
prajurit itu menyingkir ke hutan lalu dimakan jin dan prayangan. Aku tak peduli
pada mereka. Yang kupedulikan saat ini hanya Rara Jonggrang. Apakah Paman
Sanjaya tahu seberapa besar cintaku padanya?”
“Aku mengerti, Anakmas. Tapi bukankah titah ayahmu adalah untuk
menaklukkan Baka? Dan Patih Gupala bisa memanfaatkan sifatmu yang terburuburu
itu untuk melakukan serangan balik. Prajurit Baka yang berkeliaran diluar
sana tidaklah sedikit, Anakmas. Patih Gupala akan sanggup memimpin mereka
menyerang balik kita.”
“Apakah Paman Sanjaya telah meremehkan ketangkasan tentara Pengging?
Ingatlah Paman, di banyak tempat di Jawa ini pasukan kita mahsyur bagai
pasukan pasukan jin yang tak terkalahkan saking tangkasnya.”
“Bukan begitu Anakmas, aku percaya pasukan Pengging siap dan akan menang menghadapi segala kemungkinan. Tapi apakah Anakmas berpikir,
seberapa banyak kah korban yang akan timbul? Sudah tugas kita sebagai
senapati untuk sebaik mungkin menghindari kemungkinan terburuk untuk
pasukan. Janganlah Anakmas mementingkan diri sendiri, Gusti Prabu Pengging
tak akan suka.”
“Tapi Paman, bukankah tempo waktu telah aku bicarakan denganmu
tujuanku menyerbu Baka? Tidak hanya menuruti perintah Ayah untuk
memperluas kerajaan Pengging. Aku ini ingin mempersunting Rara Jonggrang.
Orang yang aku cintai sedari dulu kami bertemu pertama kali, saat Pengging
dan Baka masih berhubungan baik. Bukankah Paman Sanjaya berjanji akan
membantuku?”
“Anakmas, bukankah aku berkata bahwa kita harus menyelesaikan dulu
semua urusan di sini? Berapa banyak prajurit Baka yang tersisa masih bisa
menyerang kita, bahkan aku curiga bahwa di Prambanan ini masih ada prajurit
musuh yang sembunyi.”
“Tapi aku sangat mencintai Rara Jonggrang, Paman. Pikirku tak akan tenang
jika belum bisa temukan dia.”
“Meski kau menemukan Rara Jonggrang apakah dia bisa semudah itu
menerimamu jadi suami? Anakmas telah membunuh ayahnya, dan bukanlah
kejutan jika dia tahu.”
“Pasti ada cara, Paman.”
“Baiknya kita urus dahulu prajurit Baka yang tersisa dan Patih….,”
“Cukup!” bentak Bandung, “baiklah Paman Sanjaya mengurus prajuritprajurit
itu, biarkan aku mengurus Rara Jonggrang.”
“Anakmas, bagaimana caraku mencari prajurit musuh jika semua prajurit
kita kau perintahkan mencari Rara Jonggrang?”
“Paman pikir saja sendiri.”
“Sungguh Anakmas telah dibutakan cinta dan keserakahan, hal yang seperti
itu hanya akan membawa petaka, Anakmas,” kata Tumenggung Sanjaya dengan
wajah bersungguh-sungguh.
“Aku tak peduli.” sahutnya kecut.
Dengan menghela napas panjang Tumenggung Sanjaya meninggalkan
tempat itu. Dalam hati dia sangat prihatin akan sikap junjungan sekaligus
kemenakannya. Sifat Bandung yang serakah hanya akan merugikan pasukan ini,
pikirnya.
Sementara itu, di sebuah rumah yang tak terlalu jauh dari Prambanan
merenunglah dua manusia. Seorang paruh-baya dengan gadis yang amat
rupawan. Mereka adalah Rara Jonggrang dan Patih Gupala.
Tiap kali terdengar langkah kaki peronda, mereka terkesiap. Dengan jantung
berdegup kencang mereka menunggu peronda lalu. Dengan berbisik-bisik
mereka perbincangkan setiap kemungkinan.
Patih Gupala terus memutar otak memikirkan segala rencana. Dia perlu
rencana yang benar-benar matang untuk menyelamatkan Rara Jonggrang dan
terutama kerajaan Baka. Keadaan amatlah sulit bagi mereka.
“Rara, aku punya sebuah rencana,” bisik Patih Gupala.
“Katakan padaku, Paman.”
Dengan panjang lebar dia menjabarkan seluruh rencananya. Kadang mereka
harus berhenti bicara jika dengar langkah kaki peronda. Berbisik-bisik Patih
Gupala menjelaskan pada Rara, dan dengan berbisik pula Rara memberi masukan
dan membantah. Dalam hati Patih Gupala memuji ketajaman pengamatan Rara
Jonggrang.
Rara Jonggrang mendengarkan dengan seksama rencana sang patih. Tapi
ada sebersit keraguan dalam hati kecilnya.
“Apakah Paman Patih yakin dengan rencana Paman?”
“O, Tuan Putri, rencana ini telah aku pikirkan dengan sematang-matangnya.
Sebenarnya telah aku pikirkan sejak membawamu kabur dari kraton menuju
tempat ini.”
“Apakah Paman yakin jika Bandung Bondowoso tak akan menikahiku secara
paksa? Lupakah Paman dengan ketamakan Bandung yang mashyur itu?”
“Tuan Putri, patihmu ini telah kenyang dengan pahit-manis kehidupan. Aku
mengetahui Bandung itu sangat mencintaimu. Sejak dulu waktu dia datang
sebagai utusan Pengging, kala itu hubungan Pengging dan Baka baik-baik
saja. Dari raut mukanya saja aku telah tahu, bahwa dia mencintaimu sedalam-dalamnya. Meski aku juga tahu, bagaimana keangkuhannya. Tapi aku yakin,
dia akan takluk padamu, Putri. Bukankah kau juga dengar percakapan peronda
tadi? Bandung Bondowoso sangat bernafsu mencarimu.”
“Lalu bagaimana jika semua tak berjalan sesuai rencana?”
“Hamba akan melakukan apa pun untuk menyelamatkan Tuan Putri. Jika
memang Baka tak lagi bisa diselamatkan, maka biarlah Tuan Putri saja yang aku
selamatkan.”
“Bagaimana cara Paman mengumpulkan pasukan? Bagaimana Paman bisa
melewati para peronda?”
“Meskipun rambut sudah pada beruban begini, tapi janganlah Rara
meremehkan ketangkasan ilmu kanuragan yang aku punya, Tuan Putri. Meski
pasukan Pengging telah mahsyur hebatnya sampai banyak orang di Tanah Jawa
mengenalnya dengan pasukan jin tapi patihmu ini akan sanggup menelingsut
dan lari dari mereka. Tapi akan sulit bagi Tuan Putri. Itulah sebabnya aku tak
yakin bisa membawamu serta, dan kau, yah, untuk sementara harus muak
berhadapan dengan Bandung Bondowoso.”
“Aku tahu, Paman.”
“Beri aku waktu tiga hari. Aku akan mengumpulkan semua prajurit kita yang
tersisa. Dan akan aku suruh para telik sandi menyebar dan berkata pada seluruh
rakyat untuk berjuang bersama kita. Janganlah Putri Rara Jonggrang memulai
sebelum tiga hari.”
“Tapi bagaimana jika Bandung Bondowoso tidak menuruti pintaku Paman?”
“Dia akan turuti pintamu, aku yakin itu. Bukankah dulu Bandung pernah
memberimu sepuluh patung emas yang katanya hanya bisa didapat di Atas
Angin? Patung seperti itu amatlah mahal kiranya dibanding seribu candi yang
akan Tuan Putri minta nanti.”
Rara Jonggrang diam saja, meski penjelasan Patih Gupala cukup masuk di
akalnya tetap saja ada sebersit kekhawatiran di hati. Bukan saja khawatir akan
diri sendiri, tapi khawatir pada Patih Gupala dan seluruh rakyat Baka yang harus
terpaksa menumpahkan darah lagi demi mengusir penjajah, dan melindungi
dirinya dari keserakahan Bandung Bondowoso.
“Lalu Tuan Putri,” sambung Patih, “aku tak akan ragu pada ketajaman pengamatan Tuan Putri. Pilihlah dayang-dayang terpercaya yang masih tersisa
di istana. Dan waktu pengerjaan candi yang akan sangat sibuk itu amatilah.
Bandung akan mempekerjakan seluruh prajurit dan juga rakyat Baka. Saat
itulah aku dan prajurit Baka akan menyamar jadi rakyat biasa dan ikut dalam
pengerjaan candi. Amatilah dengan seksama dan suruh dayang-dayang yang
kau percaya untuk memberi tanda jika saatnya tiba.”
“Baiklah, Paman.” katanya dengan berat hati.
Rara Jonggrang pun akhirnya menyerahkan diri. Betapa senang para prajurit
Pengging mendengar kabar itu. Berkerumun mereka menonton bagaimana
dara cantik itu digiring beberapa prajurit menuju pesanggrahan Bandung
Bondowoso. Telah lega mereka terbebas dari bermacam ancaman hukuman
dari Bandung.
Segera hiruk-pikuk terjadi, para peronda meninggalkan tugas mereka
demi melihat dan mengagumi kecantikan Rara Jonggrang yang telah mahsyur.
Ada juga beberapa dari mereka yang merasa jengkel, karena hanya gara-gara
seorang itu mereka harus menerima hardikan dari Bandung Bondowoso. Tapi
segera kejengkelan itu sirna jika telah melihat kecantikan rupa Rara Jonggrang,
meski terlihat jelas bahwa mata Rara terlihat sayu.
Patih Gupala tak menyia-nyiakan kesempatan itu untuk kabur.
Sampailah iring-iringan itu pada Bandung Bondowoso. Dengan tergopohgopoh
dia sambut sendiri kedatangan Rara Jonggrang.
“O, Adinda Rara, ke manakah engkau selama ini? Sempat gelisah aku
memikirkan nasibmu, Rara, tapi akhirnya kau datang juga.”
“Kakang Bandung, aku telah mendengar berita soal Kakang.”
“Maaf soal Ayahmu.”
“Tak apa, kematian memang sudah digariskan oleh Sang Hyang Agung.” Rara
berkata seperti itu dengan muka merah padam. Tapi seorang Bandung Bondowoso
yang sedang dimabuk Rara Jonggrang sama sekali tak memperhatikan.
“Aku rela kau nikahi, Kakang. Tapi berilah aku waktu beberapa hari untuk
beristirahat di istana.” sambung Rara kemudian.
“Istirahatlah, beristirahatlah dulu Rara. Aku tahu kau lelah. Jika ingin sesuatu
mintalah padaku, akan kuberikan apapun yang kau mau.” Lalu Bandung berteriak pada pasukan, “Cepat bawa Rara Jonggrang ke biliknya!”
“Sementara itu bangunlah kembali Baka yang telah kau hancurkan.” Rara
meminta sebelum lalu.
“Tentu saja jika kau yang meminta, Rara.”
Maka beristirahatlah Rara Jonggrang di dalam biliknya, ditemani dayangdayang
yang masih sama seperti sewaktu ayahnya berkuasa. Rara tidak langsung
tidur, seperti pinta Patih Gupala, dia mengajak dayang-dayang itu berbincang.
Untuk menjajagi seperti apa kesetiaan mereka.
Seperti yang diduga, cinta Bandung Bondowoso amatlah besar pada Rara
Jonggrang. Ditambah sikapnya yang terburu-buru dan serakah, adalah hal yang
mudah bagi Rara untuk mengelabuinya. Malam itu juga, Bandung Bondowoso
memerintahkan seluruh pasukan membangun kembali apa yang telah
dihancurkan.
Rara Jonggrang semakin yakin, akan dikabulkanlah permintaannya dibikinkan
seribu candi dalam satu malam. Tapi masih terlalu dini untuk meminta. Rara
Jonggrang harus memikirkan segenap kemungkinan.
Di lain tempat, Patih Gupala tak hentinya berusaha mengumpulkan
prajurit yang tersisa. Seperti dugaannya mereka masih bersembunyi di hutanhutan
sekitar Prambanan. Dia menemui setiap pimpinan prajurit yang ada,
memerintahkan mereka mencari pasukan yang tercerai-berai. Beberapa telik
sandi juga telah dihubungi, berhati-hati mereka akan menyebar kabar kepada
rakyat soal serangan yang akan dilakukan.
Sehari telah berlalu, Rara Jonggrang telah tahu bagaimana pendirian dayangdayangnya.
Bersyukur ia bahwa mereka masih sama seperti dulu, hanya setia
kepadanya dan Prabu Baka.
Sementara itu Patih Gupala telah berhasil mengumpulkan lebih dari setengah
pasukan yang tersisa, hanya dalam waktu kurang dari sehari.
Suatu siang, Rara hendak pergi ke pakiwan. Tapi begitu lewat dekat
pesanggrahan mendengarlah ia bahwa Bandung sedang berbincang dengan
seseorang.
“Anakmas, bukankah baiknya kita mencari dulu prajurit Baka yang kabur.
Berapa pun jumlah mereka, mereka adalah hambatan besar bagi kita. Apalagi otak mereka, Patih Gupala belum juga tertangkap. Aku curiga bahwa mereka
sedang menyusun kekuatan.”
“O, Paman. Bukankah Rara telah menyerahkan diri? Itu artinya mereka telah
menyerah. Patih Gupala tak akan kehilangan kesetiannya jika tidak kehilangan
kekuatan. Aku yakin itu. Bukankah ini artinya pasukan Baka sudah pergi entah
ke mana, melarikan diri?”
“Justru itu masalahnya, Anakmas. Patih Gupala adalah orang yang cerdas.
Siapa tahu penyerahan Rara Jonggrang hanyalah siasat?”
“Jangan berani Paman berkata semacam itu! Penyerahan Rara berarti dia
siap jadikan aku suami.”
“Tapi kenapa dia langsung berani meminta kepadamu?”
“Dia sedang sedih, Paman. Wajarlah. Lagi pula apa salahnya seorang calon
istri meminta pada calon suami?”
“Janganlah Anakmas gelap mata gara-gara seorang gadis.”
“Sudahlah, Paman. Aku tak mau perbincangkan hal itu.”
Hening sejenak, hanya terdengar desahan panjang dari dalam. Kemudian
terdengarlah langkah kaki yang akan ke luar pesanggrahan. Rara Jonggrang
bersicepat pergi ke pakiwan.
Sudah saatnya Rara Jonggrang meminta.
Malam harinya, sendirian Rara Jonggrang pergi ke pesanggrahan untuk
menghadap. Amat sangat bahagia Bandung Bondowoso menerima Rara
Jonggrang.
“Kakang, sebelum kau menikahiku aku punya permintaan buatmu, tapi aku
ragu apa kau bersedia?”
“Rara, sebutkan saja permintaanmu, janganlah kau khawatir dengan
kesanggupanku. Bukankah rumah-rumah di Prambanan yang rusak telah aku
perbaiki? Jangan sungkan meminta, menguras lautan pun aku mau jika itu
pintamu.”
“Baiklah, aku memintamu buatkan aku seribu candi.”
“Seribu candi?” sahut Bandung terkejut, “hmm, baiklah, jika itu
permintaanmu.”
“Dalam waktu satu malam.”
“He?” kini Bandung terlompat dari batu singgasananya, beberapa jurus
mulutnya ternganga tak bisa berkata. “Kau… kau yakin? Rara?”
“Tentu saja, sejak dulu aku minta pada ayahku dibikinkan seribu candi, tapi
tak pernah terkabul. Bukankah tadi kau bilang kau mau kuraskan laut untukku?”
“Baik, baiklah. Tapi tidak malam ini, kan?”
“Tidak, besok malam pengerjaan harus dimulai, dan esoknya pengerjaan
harus selesai. Itu untuk bukti jika kau cinta aku, Bandung.”
“Oh, Rara. Jika begitu aku sama sekali sanggup, jikalau itu sebagai tuntutan
bukti.”
Maka mulai malam itu diteriakanlah pemgumuman-pengumuman. Yang
berbunyi bahwa seluruh prajurit Pengging dan rakyat Baka harus turut serta
membangun candi. Yang tak mau akan kena hukuman berat. Para prajurit
meneriakkan pengumuman itu dari desa ke desa di seluruh tlatah Baka. Dari
malam, hingga paginya.
Pagi itu juga kabar tersebut sampai ke telinga Patih Gupala. Semua berjalan
sesuai rencana, pikirnya. Dengan beberapa senapati pilihan dia menyamar
sebagai rakyat biasa. Sedang pasukannya ditugaskan untuk menyusup untuk
kemudian menyerang langsung ke jantung kota.
Hari itu sangat sibuk bagi Bandung dan semua orang di Prambanan. Siang
hari datanglah gajah yang entah darimana membawa bebatuan. Seratusan
budak juga ditugaskan menyeret bebatuan ke tempat pengerjaan candi.
Prambanan bagaikan kota yang diserbu huru-hara. Bumi bagai ikut bergoyang
dalam kesibukan.
Semua orang sibuk tenggelam dalam kerja. Prajurit Pengging bekerja keras
sembari menggerutu, tingkah putri macam apa ini? Sedang rakyat dan prajurit
Baka yang menyamar tak hanya bersiap membangun candi, mereka juga bersiap
dengan serangan mendadak. Bandung Bondowoso juga tenggelam dalam
sibuknya mengatur para pekerja. Semua bebatuan yang dibutuhkan harus
sampai di sini sebelum senja.
Lain dengan Tumenggung Sanjaya. Dia merasa curiga dengan permintaan
Rara yang aneh itu. Semanja apapun seorang putri tak akan meminta hal yang sangat aneh begini. Apalagi dia tahu bahwa Rara Jonggrang bukanlah
sembarang putri yang manja. Dia tahu Rara adalah putri yang cinta dan peduli
pada rakyatnya, tak ragu untuk ikut bekerja demi kepentingan rakyat. Dia curiga
ini semua adalah akal bulus Rara.
Tumenggung Sanjaya sangat menyayangkan Bandung yang mengabulkan
permintaan nyeleneh Rara. Tapi apalah dayanya membendung keinginan
Bandung yang keras kepala itu. Perkataannya tak akan didengar. Dalam hati
dia menyayangkan, kenapa Bandung Bondowoso tak punya sifat selayak Rara
Jonggrang.
Saat matahari tenggelam, pengerjaan seribu candi mulai dilakukan. Prajurit
Pengging dan rakyat Baka berbaur jadi satu tenggelam dalam kerja. Rakyat
Baka terlihat rela dan bersungguh-sungguh dalam pengerjaan candi. Beberapa
prajurit Pengging membatin, apakah rakyat Baka sudah menerima Bandung
sebagai raja barunya? Tapi mereka terlalu sibuk untuk bertanya-tanya.
Ratusan obor dipasang demi menerangi pekerjaan semua orang yang
tumpah ruah di lokasi pembangunan candi. Berpeluh mereka bekerja keras di
bawah sinar obor. Sinar redup bulan sabit tak akan mampu menerangi sendirian.
Mereka makin tenggelam dalam kerja.
Sedangkan Rara Jonggrang mengawasi dari tempat tertinggi di istana,
hanya ditemani dayang-dayang yang menunggu aba-aba darinya. Hanya ada
beberapa prajurit yang berjaga di istana. Hampir semua prajurit dikerahkan
untuk pembangunan candi. Hanya sedikit tersisa untuk mengawal istana
dan meronda. Peronda yang sedikit itu bukanlah hambatan yang berarti bagi
prajurit-prajurit Baka yang menyusup.
Bandung Bondowoso begitu sibuknya dalam kerja. Dia tak memperhitungkan
segala kemungkinan terburuk. Telah gelap matanya karena Rara Jonggrang.
Tumenggung Sanjaya yang menyadari hal itu berusaha bekerja sedekat mungkin
dengan Bandung.
Di tengah sibuknya bekerja Tumenggung Sanjaya mencari Patih Gupala atau
wajah-wajah prajurit Baka yang diketahuinya di antara rakyat. Tapi tak satu pun
mampu dikenali. Ketajaman nalar budi membikin ia sangat berwaspada.
Tanpa disadari Bandung, ada seorang lain yang berusaha mendekatinya.
Seorang rakyat Baka yang menggunakan kain sebagai cadar penutup muka. Dia adalah Patih Gupala. Sadar bahwa Tumenggung Sanjaya selalu di dekat
Bandung, Patih Gupala lebih berhati-hati mendekat agar dia tak dikenali.
Rara Jonggrang yang mengamati dari atas istana melihat pengerjaan
yang berlangsung hanya beberapa jam itu tampak hasilnya. Ratusan candi
telah dibangun. Dia masih menunggu saat yang tepat untuk memberi tanda.
Menunggu Bandung Bondowoso dan para prajurit Pengging semakin lengah
dan lelah.
Sementara itu, pasukan Baka yang menyusup telah hampir sampai ke tempat
pengerjaan. Peronda Pengging yang sangat sedikit itu telah mampu dihabisi
dengan cepat, mudah, dan tanpa timbul keributan.
Sembilan ratusan candi telah selesai.
Rara Jonggrang merasa waktunya telah tiba. Dia memberi isyarat kesemua
dayang-dayang yang ada. Dengan berlarian para dayang menghambur ke
lumbung istana.
Semua orang yang bekerja tiba-tiba berhenti sekejap, dengan jelas mereka
mendengar suara orang menumbuk padi. Semalam ini? Tapi bukan hanya itu
yang membikin mereka terkejut. Dalam satu lompatan panjang seseorang
menghunuskan keris bergerak menikam ke arah Bandung Bondowoso. Tapi
seseorang dengan cepat melompat pula melindungi Bandung, secepat kilat
keris tertusuk ke jantung orang itu. Dia mati. Dialah Tumenggung Sanjaya yang
sedari tadi waspada mengawasi sekitar. Dia mati di tangan Patih Gupala yang
berniat membunuh Bandung.
Yang lainnya tak punya waktu buat terkejut. Sekejap dari tumbukan padi
tadi pasukan Baka dengan berlarian menyerang. Sambil berteriak nyaring
mereka hunuskan pedang, menyerbu. Rakyat Baka yang ikut bekerja turut
serta berontak, mereka mengayunkan apa pun yang dipegang demi membunuh
prajurit Pengging yang ada. Prajurit Pengging yang tak bersiap sebelumnya satupersatu
tumbang. Apalagi beberapa senapati pilihan menyusup diantara rakyat.
Bandung Bondowoso yang segera tahu apa yang terjadi mengamuk bak
banteng luka. Dia tak percaya bahwa pamannya harus mati tepat di depannya,
dalam serangan yang tak terduga. Patih Gupala kewalahan menghadapi
Bandung. Ilmu kanuragan yang dia miliki ternyata masih belum cukup.
Para prajurit Pengging mulai menyadari keadaan. Bagaimanapun mereka adalah prajurit pilihan sampai dijuluki pasukan jin. Hanya sebentar sebelum
mereka menguasai diri dan memberi perlawanan.
Tempat pengerjaan candi dalam sekejap menjadi medan perang brubuh
yang kacau. Satu-persatu korban berjatuhan. Perlahan tapi pasti pasukan
Pengging mulai menguasai keadaan, meski sempat terdesak. Mereka menang
jumlah dibanding gabungan pasukan dan rakyat Baka. Serangan yang membikin
mereka terkejut hanya ampuh pada awalnya saja, tapi prajurit-prajurit itu telah
dilatih untuk menghadapi segala kemungkinan.
Dari atas istana Rara Jonggrang melihat pertempuran itu dengan harapharap
cemas. Dia melihat betapa orang-orang itu dengan ganas berbunuhbunuhan
dinaung sinar obor. Ketajaman pengamatannya mampu melihat,
bahwa pasukannya semakin terdesak pada kondisi sulit.
Ternyata bahwa perkiraan Patih Gupala tentang kekuatan Bandung dan
tentaranya salah. Serangan mendadak memang berhasil pada awal. Namun
ketangkasan prajurit Pengging ternyata mampu mengatasinya. Salah kira itu
harus dibayar mahal. Karena Patih Gupala telah terpenggal oleh Bandung
Bondowoso.
Pasukan Pengging berteriaklah hingga menggaung di segenap medan. Patih
Gupala telah mati. Pasukan Baka tak punya pemimpin. Mereka menghadapi
kejatuhan mental yang hebat, ditambah lagi mereka saksikan sendiri bagaimana
amukan Bandung Bondowoso yang sangat marah itu.
Saat ayam-ayam jago mulai berkokok, pasukan Baka semakin terdesak.
***
“Rara Jonggrang!” berteriak Bandung memasuki istana, “keluar kau jalang!”
Dibantingnya segala yang ada di hadapan. Badannya masih penuh darah dan
luka akibat pertempuran tadi. Meskipun menang, tapi harganya sungguh mahal.
“Pamanku mati gara-gara kau! Orangku mati gara-gara kau jalang! Keluar!”
Dengan segala umpatan yang dikenalnya waktu itu, berteriak dia mencari Rara.
Melangkah dia ke tempat tertinggi istana. Ingin dia mengumpati dan
langsung menampar calon istrinya itu. Dengan amarah yang luar biasa dia naik.
Terkesiaplah darah Bandung ketika sampai di atas.
“Apa yang akan kau lakukan Rara?” tanyanya getir.
“Sudah cukuplah derita bagiku, Bandung.”
“Jangan… jangan lakukan hal bodoh!”
Dengan putus asa, dengan berderai air mata Rara Jonggrang menekankan
keris di dadanya.
“Aku telah cukup kehilangan,” rayu Bandung, “aku tak ingin kehilanganmu
Rara.”
“Lebih baik aku mati, daripada aku turuti keserakahanmu. Ayah telah kau
bunuh, negeriku kau rampas, dan kini kau ingin merampasku? Biarlah jasadku
saja yang kau punya.”
“Bukankah kau setuju jadi istriku Rara?”
“Setuju? Bukankah kau dulu juga setuju untuk melanjutkan hubungan baik
Baka dan Pengging? Kau kira aku tak tahu kau dijanjikan menjadi raja di sini?
Persetan dengan kerakusanmu, Bandung!”
“Tapi aku mencintaimu.”
“Kenapa tak meminangku baik-baik? Bukankah jika kau meminangku baikbaik
pertumpahan darah tak akan terjadi? Kenapa kau pilih menjajah?”
“Ini perintah ayahku, Rara.”
“Persetan.” Rara menikamkan keris itu ke jantungnya sendiri, berlumur
darah, lalu mati.
***
Bandung Bondowoso, pangeran Pengging yang gagah perkasa sangat
terpukul atas kejadian itu. Seribu candi yang dibikinnya masih diteruskan, karena
itu adalah pinta Rara Jonggrang, cintanya yang dibawa mati. Atas keinginan
Bandung sendiri arca candi ke seribu dibikin menyerupai Rara Jonggrang.
Kini yang ada pada Bandung hanyalah penyesalan. Bagaimana keras kepala
dan ambisinya telah tumpahkan bencana pada dia sendiri. Pamannya dan Rara
Jonggrang mati karena dia.
Setiap senja datang di Prambanan. Bandung Bondowoso dengan penuh
sesal dan kesedihan memandangi seribu candi yang dibuatnya. Candi-candi
yang dibuat dengan pertumpahan darah. Bagi Bandung candi-candi itu terlihat
lesu. Bagai berduka atas nasib Bandung Bondowoso sendiri.