Suparto Brata, “Membaca dan Menulislah!”

0
2648

Penerima Gelar Tanda Kehormatan Presiden Kelas Satyalancana Kebudayaan 2016. Berita wafatnya Suparto Brata—pengarang dan penulis asal Surabaya—pada 11 September 2015, sontak menjadi pembicaraan di kalangan sastrawan Jawa Timur dan juga jagad sastra Indonesia. Hal ini mengingat pengarang dan penulis berbahasa Jawa saat ini sudah sangat sulit ditemukan. Suparto Brata meninggal dalam usia 83 tahun (lahir di Surabaya, 27 Februari 1932), meninggalkan puluhan bahkan ratusan karya sastra.

Baik di lingkungan tempat tinggalnya sendiri maupun di lingkungan keluarganya, Suparto Brata dikenal sebagai seorang yang tidak mau menonjolkan diri. Hal itu terasa benar bagi putra-putrinya. Oleh karena itu, ketika Suparto Brata wafat banyak orang yang membicarakannya, putra-putrinya pun tidak menyangka kalau ternyata nama sang bapak cukup dikenal masyarakat.

Suparto Brata telah menulis banyak karya sastra, lebih dari 150 judul di antaranya sudah diterbitkan dalam bentuk buku. Terkenal sebagai pejuang sastra Jawa, dan lebih banyak menulis dalam Bahasa Jawa, membuat ia dijuluki Begawan Sastra Jawa. “Mohon tidak diterjemahkan dalam bahasa Indonesia!” demikian kalimat yang selalu dicantumkan dalam setiap buku karyanya yang berbahasa Jawa. Suparto Brata memang tak ingin karyanya itu diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Tetapi kalau karyanya itu diterjemahkan selain ke bahasa Indonesia, seperti bahasa Inggris, Jepang, dan lain sebagainya, Suparto Brata justru  merasa senang.

new-picture-3Kegiatan Suparto Brata setiap harinya adalah menulis dan menulis. Dimulai dari rumahnya pukul 02.00 pagi, ia bangun dari tidur, dan langsung menulis. Sebagai pegawai negeri, ia juga harus memenuhi kewajibannya untuk datang ke kantor. Mengabdi di pemerintahan di bagian hubungan masyarakat (humas) Pemda Tingkat II Kota  Surabaya (kini pemerintah kota) bukanlah pekerjaan ringan. Tapi semua itu selalu dijalaninya dengan penuh ikhlas dan mengikuti aturan. Mengetik di rumah sejak pagi dinihari sampai shalat Subuh, kemudian jalan pagi guna mencari inspirasi di sekitar tempat tinggalnya. Ketika matahari mulai terbit, Ia sudah menapaki jalanan menuju kantornya. Langsung ketak-ketik ketak-ketik, mengetik tugas di santor sebagai petugas humas. Ini dilakukan hampir saban hari, dari pagi sampai sore. Kadang kantor masih sepi, di ruangan Suparto Brata sudah terdengar suara mesin ketik. Ia dikenal sangat disiplin. Hal itu dijalaninya setiap hari, dengan senang hati, tanpa mengeluh, hingga ia pensiun sebagai PNS pada tahun 1988. Setelah pensiun, ia merasa sangat merdeka karena hari-harinya dapat dimanfaatkan sepenuhnya untuk mengetik, membuat karya. Dan, masa-masa inilah masa produktif bagi Suparto Brata.

new-picture-1Bagi anak-anaknya, Suparto Brata adalah sosok yang sederhana, disiplin, dan kehidupannya dijalaninya dengan penuh semangat, penuh keikhlasan dan tak pernah mengeluh. Meski  sudah berusia lanjut, akan tetapi ia adalah lelaki dan bapak yang mandiri. Anak-anaknya cukup dekat dengan Suparto Brata sebagai seorang ayah. Hampir tiap malam anak-anaknya memijit-mijit sang bapak. Di saat seperti itu, Suparto Brata kerap memberikan pesan-pesan yang bernilai, terutama anak-anaknya ditekankan untuk selalu membaca dan menulis.

Dari ratusan karyanya, karya yang paling monumental menurut anak-anaknya adalah Trilogi, yang isinya bercerita tentang kisah-kisah keluarganya, terutama kedua orangtua Suparto Brata, yakni Raden Suratman Bratatanaya dan Raden Ajeng Jembawati. Ayahnya dulu adalah seorang tentara KNIL, yang tugasnya sering berpindah dari satu daerah ke daerah lain, Kisah hidup kedua orangtuanya itulah yang menjadi inspirasi dari buku Trilogi.

Karya  yang pertama kali ditulis Suparto Brata adalah tentang kedekatannya dengan seekor anjing. Bapak punya bahasa khas sehingga anjing itu jinak. Dalam buku Trilogi, ada juga dikisahkan tentang anjing itu. Adapun karya terakhirnya adalah Tak Ada Nasi Lain, yang pernah dimuat di harian Kompas sebagai cerita bersambung.

new-picture-2Suparto Brata sebetulnya baru belajar menulis ketika di SMA. Akan tetapi kakaknya selalu memengaruhinya agar ia mau belajar IPA. Ini membuat Suparto Brata kurang nyaman. Sebab, menurutnya, hidup tidak harus selalu dengan IPA, dan karena itulah ia memilih menulis sebagai jalan hidupnya. Yang ia jalani hingga akhir hayatnya.

Suparto Brata memang punya keinginan yang sederhana, yakni agar bagaimana karya-karyanya itu menjadi buku, mengingat buku itu akan dibaca orang. Ia akan sangat senang kalau bukunya dibaca orang. Ia pun kerap berharap buku-bukunya tersebut dijadikan koleksi perpusatakaan-perpustakaan agar orang bisa membacanya.

Dalam wejangan kepada anak-anaknya yang selalu ia ulang-ulang, Suparto Brata menegaskan bahwa menulis itu lebih langgeng. Oleh karena itu, katanya, kalau bisa pengetahuan yang kita temukan itu ditulis. Selain itu tentu saja kita terus harus membaca karena dengan membaca otak kita akan berkembang. Maka, begitu kerapnya Suparto Brata menyampaikan pesan kepada anak-anaknya (tentu juga kepada kita, pembaca): “membaca dan menulislah!”

Suparto  Brata

Lahir :  Surabaya, 27 Februari 1932

Wafat :  11 September 2015

Isteri    :  Rara Ariyati (lahir di Meurudu Aceh, 27 Desember 1940)

Orangtua :

Ayah    : Raden Suratman Bratatanaya

Ibu       : Raden Ajeng Jembawati

Anak-anak:

  1. Tatit Merapi Brata
  2. Teratai Ayuningtyas
  3. Neo Semeru Brata
  4. Tenno Singgalang Brata

Pendidikan :

  • Sekolah Rakjat, SR VI Jl. Laut Probolinggo, Surabaya (1946)
  • SMP Negeri II Jl. Kepanjen, Surabaya (1950)
  • SMA Louis Jl. Dr. Sutomo, Surabaya (1956)

Pekerjaan:

– Pegawai Kantor Telegrap PTT, Surabaya, (1952-1960)

– Karyawan Perusahaan Dagang Negara Djaya Bhakti, Surabaya (1960-1967)

– Wartawan lepas (membantu berita/artikel/foto) untuk sejumlah media (1968-1988)

– Pegawai Pemda II Kotamadya Surabaya, Bagian Hubungan Masyarakat (1971- 1988)

– Pengarang “merdeka” (1988 – 2015).

Karya tulis:

  • Menulis berita, feature, ulasan, artikel dan cerita fiksi sejak 1951, dimuat di majalah Siasat, Mimbar Indonesia, Indonesia, Kisah, Seni, Buku Kita, Sastra, Aneka, Vista, Sarinah, Kartini, Putri Indonesia, dan lain-lain. Juga di surat kabar Surabaya Post, Harian Umum, Suara Rakjat, Pikiran Rakjat, Trompet Masyarakat, Jawa Pos, Sinar Harapan, Indonesia Raya, Kompas, Suara Karya, Republika. (Hampir semua yang pernah dimuat di majalah/suratkabar dikliping baik, dan pernah difotokopi oleh Labrousse, Perancis, 1982).
  • Menulis bahasa Jawa sejak 1958, dimuat di Panjebar Semangat, Mekar Sari, Jaya Baya, Djaka Lodang, Jawa Anyar, Dharma Nyata.
  • Menulis cerita pendek, novel, drama, naskah sinetron, buku sejarah, dalam bahasa Jawa dan Indonesia.

Prestasi dan Penghargaan :

  1. Mendapat Hadiah Gubernur Jawa Timur, 1993, sebagai seniman pengarang tradisional.
  2. Mendapat Hadiah Rancagé 2000 sebagai jasanya mengembangkan sastra dan bahasa Jawa.
  3. Mendapat Hadiah Rancagé 2001, karena telah membuktikan kreativitasnya dalam sastra Jawa dengan terbitnya buku Trèm
  4. Mendapat Hadiah Rancagé 2005 karena terbitnya buku Donyane Wong Culika.
  5. Mendapat Hadiah Gubernur Jawa Timur, 2002, sebagai seniman Jawa Timur (bersama 100 orang seniman lainnya).
  6. Penerima The SEA Write Award 2007 dari Pemerintah Thailand di Bangkok.
  7. Menerima Penghargaan dari Perpustakaan Nasional Republik Indonesia 2013 sebagai Penghargaan Nugra Jasadarma Pustaloka dengan Kategori Tokoh Media yang Peduli terhadap Pengembangan Perpustakaan dan Kegemaran Membaca.