Nitisruti: Naskah Anonim Sarat Makna

0
3941
nitisruti
naskah nitisruti
foto: arsipbudayanusantara.blogspot.com

Sebuah naskah kuno sarat akan makna dan nilai kearifan hidup. Namanya Nitisruti. Diduga berasal dari Tatar Sunda. Nitisruti, Bahasa Sansekerta, terdiri dari kata niti dan sruti. Niti bisa berarti “cara menjalankan kebenaran”, “tingkah laku yang benar”, “peraturan”, “kebijaksanaan”,”ilmu tata negara”, atau “rencana yang ditimbang dengan baik”. Sedangkan sruti, artinya “pemberitahuan”, “ilmu pengetahuan suci yang disebarluaskan”, atau “kitab suci tentang tuntunan kebenaran”. Nitisruti dapat disimpulkan sebagai kitab pedoman atau aturan hidup di dunia (ageman) demi kebaikan umat manusia. Naskah ini memuat ajaran-ajaran moral. Termasuk jfuga, hal-hal mistik.

Naskah Nitisruti kini menjadi koleksi Balai pengelolaan Museum Sri Baduga ditulis dengan tinta hitam di atas kertas watermarks bergaris, warna krem kecoklatan. Teks ditulis dengan cara Cacarakan. Berbahasan Jawa Kuno, Jawa Pertengahan dan Jawa Baru. Pada kolofon tertera, naskah ditulis pada tanggal 15, bulan Sura, tahun Wawu (1513 Masehi). Bila melihat pada kertas yang digunakan, yang berasal dari abad ke-19 Masehi, naskah Nitisruti ini jelas merupakan sebuah salinan dari naskah yang lebih tua. Juga, merupakan naskah gubahan yang disusun dalam bentuk tembang macapat. Tembang ini mengisyaratkan kehadiran orang lain dalam penulisan naskah.

Identitas penulis, ataupun penyalin Nitisruti, tak diketahui (anonim). Meskipun demikian dapat diperkirakan, ia adalah seorang guru, kyai, pendeta atau pujangga hidup pada sekitar tahun 1513 Masehi. Ia menguasai soal-soal ajaran agama, atat kehidupan masyarakat, atau aturan-aturan hukum. Ia mempunyai hubungan dekat dengan kalangan istana, atau masyarakat di Tanah Jawa. Pengetahuan tentang kebudayaan leluhur rupanya juga dikuasainya. Dan yang pasti, ia memiliki pengetahuan tentang agama Hindu, Buddha dan Islam. Ini tampak pada penyebutan Kanjeng Nabi, Allah, Tuhan Yang Maha Kuasa, Haji Saka, Empu Widayaka, Wiradarma, Astabrata, Sabdatama, Hyang Brahma, Hyang Bayu, Sanghyang Yama, Sanghyang Candra, Dewa Indra, atau Sanghyang Kuwera. Penulis Nitisruti ini diduga berasal dari Tatar Sunda, karena penyebutan Hyang lebih dominan daripada Dewata.

Naskah Nitisruti intinya berisi tentang ajaran atau pedoman hidup yang patut diteladani. Ajarannya dimaksudkan bagi kehidupan manusia untuk mencapai kemajuan, kesejahteraan, keselamatan, dan kedamaian. Selain moralitas atau tatakrama, Nitisruti juga berbicara tentang hukum, filsafat, sastra, atau pengetahuan lainnya yang berkaitan dengan upaya manusia dalam mencari ketenangan dan kebahagiaan, berdasarkan kebenaran. Dahulu para ahli bahasa memang sangat terpikat pada pengetahuan tentang kehidupan sejati.

Dalam ajaran Nitisruti, yang harus disembah adalah Tuhan Yang Maha Esa. Pencipta alam semesta. Nabi, pendeta, cendikiawan, atau para dewa, semuanya hanyalah perantara, yang sudah menguasai pengetahuan tentang kebenaran sejati. Namun kebenaran yang demikian itu, sesungguhnya tak terbuka dalam hati manusia yang tidak memiliki pengetahuan, pemikiran, atau budi pekerti dan budi bahasa yang baik. Oleh karena itu, haruslah kita terus berusaha mengambil teladan dari para nabi, pendeta, dewa (hyang), dan cendikiawan yang sudah menjadi kemuliaan sejati. Manusia yang telah memahami hal tersebut, dikatakan sebagai sarana sejati. Inilah tujuan utama ajaran Nitisruti.

Nilai-nilai kearifan dalam naskah Nitisruti kiranya dapat menjadi acuan hidup bagi orang banyak. Sebagaimana konsep tindakan dan pikiran, misalnya, Nitisruti mengajarkan bahwa untuk melakukan suatu tindakan, sebelumnya kita harus menstimulasi tindakan tersebut dalam pikiran kita, dengan mempertimbangkan kemampuan dan tujuan yang hendak dicapai. Kemampuan yang dapat diterapkan dalam melakukan tindakan, merupakan hasil dari pemikiran yang tepat. Di sini, niat dan tekad juga harus sanggup bersatu. Apalagi dalam melakukan pekerjaan yang berat. Yang memiliki banyak kesulitan. (Sri Mulyati, dari berbagai sumber)

Sumber:
Mulyati, Sri. 2014. Warisan Kita. Direktorat Internalisasi Nilai dan Diplomasi Budaya: Jakarta