Marzuki Hasan: Seni Tari Indonesia Dikagumi Dunia

0
2610

“Di Tangan Marzuki Hasan, tari tradisi Aceh berhasil menjumpai penonton di empat benua. Sementara tari kontemporer karyanya memberikan dampak pemulihan pada anak-anak pengungsi akibat tsunami di Aceh dan mendekatkan kebudayaan Indonesia dengan penduduk di Namibia.”

 

Tarian bagi Pak Uki—begitu biasa ia disapa— memang bukan sekadar hobi. Tarian telah menjadi dunianya. Sebab, melalui tarian ia dapat mengungkapkan rasa beragama, etika, kritik dan semangat pembangunan bangsanya. Melalui tarian, dosen Institut Kesenian Jakarta (IKJ) ini mengungkapkan rasa cintanya pada budaya Indonesia yang ia siarkan ke berbagai negara.

Marzuki Hasan yang akrab dipanggil Pak Uki membuka perbincangan dengan mengenang masa kecilnya di Kampung Meudang Ara, Blangpidie, Aceh Barat Daya. Di kampungnya terdapat kebiasaan anak laki-laki tidur di meunasah. Di sana Pak Uki belajar seni tutur dan tari duduk. Sementara di rumahnya, ibunya yang pandai bersyair menjadi guru pertamanya dalam melantunkan syair. Kampung Meudang Ara, di masa Uki kecil, kaya akan berbagai pertunjukan seni tari. Perlombaan tari tradisi sering diselenggarakan. Pertunjukannya berlangsung lama, dari pagi hingga sore. Tak jarang Uki kecil menonton pertunjukan tari sampai tertidur di bawah pohon kelapa.

Ketika duduk di sekolah dasar, Uki mulai mengikuti perlombaan tari Seudati dan Saman dari kampung ke kampung. Setelah duduk di bangku SMA, berbagai perlombaan terus ia ikuti. Di usia itu, Uki mulai berlomba dengan penari-penari dewasa. Keahliannya bersyair pun semakin matang. Tahun 1965, Uki melanjutkan studi di Jurusan Olahraga di IKIP Yogyakarta (kini, Universitas Negeri Yogyakarta). Di masa bersamaan ia juga terus mengembangkan bakatnya. Uki mulai melakukan pertunjukan tari dan memberikan pelatihan tari tradisi Aceh di Yogya, kota-kota di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Tahun 1970, Uki pindah ke Jakarta dan bertemu dengan sesama seniman Aceh. Saat itulah ia mulai meyakini bahwa seni tari baginya bukan sekadar hobi, tapi telah menjadi dunianya.

Tahun 1975, Pak Uki menjadi pengajar di Lembaga Pendidikan Kesenian Jakarta (LPKJ, sekarang IKJ) hingga saat ini. Ia mengajar mata kuliah Kesenian Aceh, khususnya tari Seudati dan seni vokal. Pengajaran seni vokal ini utama dalam tari tradisi Aceh. Ini karena secara umum musik yang pokok pada seni tradisi Aceh bersumber dari vokal dan bunyi musik body yang dihasilkan oleh gerak tari. Walaupun, memang, beberapa di antaranya menggunakan alat musik seperti musik serune kalee (menyerupai terompet dimainkan dengan ditiup), rapai (menyerupai rebana dimainkan dengan cara dipukul), geundrang (genderang), dan canang (menyerupai kenong atau gong kecil). Keselarasan antara tarian dan syair sangat erat. Antara irama dan power harus harmonis. Adanya perpaduan antara vokal dan gerak itulah yang menjadi tontonan seni tari Aceh, musik hanya satu dua saja,” jelas Pak Uki.

Selanjutnya, Pak Uki menciptakan tarian yang berakar dari tradisi Aceh antara lain tarian Hu yang dalam bahasa Aceh bermakna merah menyala. Hu juga dapat bermakna Allah. Tarian Hu berkisah tentang manusia yang diturunkan dalam keadaan berkeluh kesah. Adapun karya yang paling menyentuh rasa kemanusiaannya adalah tarian Meusaboh Hatee (menyatukan hati). Tarian ini ia gubah setelah melakukan penelitian di barak-barak pengungsian yang terpapar tsunami. Sambil berlinang air mata, Pak Uki menuturkan perjumpaannya dengan anak-anak yang kehilangan orangtuanya. Perenungannya itu kemudian melahirkan karya tari Meusaboh hatee. Di masa penelitiannya, Pak Uki juga membuat master class selama dua minggu yang diikuti oleh para seniman Aceh. Tujuannya, antara lain, untuk mengembangkan pengajaran tari bagi anak-anak yang menghadapi peristiwa tsunami. Master class tersebut berhasil memberikan pertunjukan tarian yang diikuti oleh 70 anak-anak yang tinggal di pengungsian.

Di tangan Pak Uki, tari tradisi Aceh dan karyanya berhasil berjumpa dengan penonton di empat benua. Tahun 1984, ia menampilkan pertunjukan tari tradisi di Amerika Serikat dan Jerman. Ia juga pernah selama 40 hari keliling Amerika Serikat untuk pertunjukan tari Seudati. Di Eropa, Pak Uki melakukan pertunjukan keliling untuk tari Rampai Aceh. Pak Uki juga diundang ke Amerika Latin, Kanada, Nikaragua. Pak Uki juga sempat diundang ke Konferensi Orang-orang Kaya Se-Dunia di Davos, Switzerland. Pertunjukan yang paling membekas baginya adalah saat diundang dan tampil pada acara 50 Tahun Konferensi Asia Afrika di Namibia. Di sana Pak Uki diminta mengajari penduduk setempat untuk tampil menari di depan para pemimpin negara yang menghadiri koferensi.

Dengan kemampuan bahasa Inggris yang terbatas, Pak Uki memberikan pengajaran dalam bahasa Inggris, Indonesia dan Aceh. Tetapi rupanya tantangan itu membuat Pak Uki dan peserta memiliki kedekatan tersendiri. Alhasil, pertunjukan mereka mendapat sambutan meriah dari hadirin. Kenangan manis lainnya, saat Pak Uki menampilkan pertunjukan tari di Harare yang sedang mengalami konflik. Karena keadaan tersebut, banyak media internasional hadir di negara Zimbabwe tersebut. Tak diduga kehadiran media dalam situasi konflik itu memberi dampak positif terhadap liputan pertunjukannya. Liputan pertunjukan tarian yang dibawakan Pak Uki tayang tiga hari berturut-turut di CNN. Tak heran bila kemudian Duta Besar RI di Zimbabwe menemui Pak Uki untuk mengucapkan terima kasih karena dianggap telah mengangkat wajah budaya Indonesia di panggung dunia.

Menurut Pak Uki, tari tradisi itu telah hidup ribuan tahun, daya pikatnya juga tak bisa disamakan dengan tari kreasi. Namun, bagaimanapun, tari tradisi itu dapat lestari akan sangat bergantung pada manusianya. “Tapi saya yakin dengan anak-anak bangsa yang sangat memperhatikan tradisi,” ujar Pak Uki optimistis.

Ia tidak takut tradisi akan hilang. Untuk situasi di Aceh misalnya, meskipun masyarakatnya pernah melalui masa perang yang lama, kemudian sempat ada polemik karena adanya pelembagaan syariat Islam sehinga tarian sempat dilarang oleh ulama-ulama, akan tetapi kemudian keluar buku hijau yang menjelaskan mana yang haram dan mana yang tidak. Lalu muncul satu pandangan yang menjelaskan bahwa yang haram bukan tariannya. Dalam sejarah masyarakat Aceh, tarian justru berfungsi sebagai dakwah mengislamkan orang-orang di Aceh. Setelah Islam berkembang, tarian menjadi milik rakyat. Menurut Pak Uki, dalam tari tradisi Aceh yang disampaikan tidak hanya soal agama, tapi juga etika, kritik, dan pembangunan.

Oleh karena itu, Pak Uki berharap agar seniman Indonesia terus berjuang untuk seni. Berangkat dari pengalaman tampil dalam pertunjukan di berbagai negara, Pak Uki sampai pada satu kesimpulan: seni tari Indonesia sangat dikagumi! Kareba itu pula, ia berharap agar pemerintah lebih memperhatikan dan memberikan dukungan pada seni tradisi. “Di negara maju saja seni tradisi masih disubsidi oleh negara, akan tetapi mengapa di Indonesia tidak?” ujarnya.

Menanggapi anugerah kebudayaan untuk kategori Pencipta, Pelopor dan Pembaharu yang ia terima dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Pak Uki merasa tersanjung karena pemerintah mau memberikan perhatian. Baginya penghargaan ini juga bermakna bagi seniman lain yang memelopori dalam mengembangkan seni tradisi. “Para pengembang seni tradisi ini sudah bekerja dari kecil hingga tua. Kebanyakan mereka tidak punya apa-apa karena mencurahkan hidupnya pada seni tradisi. Tentu untuk mereka juga penghargaan ini,” ujar Pak Uki dengan tatapan haru.