“Keris, Melati, dan Apa-Apa yang Belum Kau Ketahui di Balik Itu”

0
224

Notice: Trying to get property 'roles' of non-object in /home/website/web/kebudayaan.kemdikbud.go.id/public_html/wp-content/plugins/wp-user-frontend/wpuf-functions.php on line 4663

Pemenang Lomba Penulisan Cerita Rakyat 2015, KATEGORI UMUM/DEWASA, Penulis: Kukuh Purwanto.

~Dua puluh delapan tahun lalu di tempatnya berdiri saat ini, dia menangis tanpa suara ketika mendapati ayahnya mati di tepi bengawan. Dia ingat warna baju sang ayah dan posisi tubuhnya yang telungkup dengan dua tangan tertekuk ganjil. Dia ingat anyir darah yang memenuhi udara. Namun, memori selanjutnya buram: ratapan sang ibu yang melengking di samping jasad ayahnya, hiruk pikuk orang-orang bermuka kalut di sekelilingnya, segala sumpah serapah yang tak pernah dia dengar sebelumnya, kabut–ataukah asap?–yang datang tiba-tiba dan membutakan matanya.

Setelah itu gelap. Setelah itu dia tahu bahwa masa kanaknya tamat. Dua puluh delapan tahun lalu.

“Tapi sekarang kita menang, Gusti,” ujar Patih Matahun, orang yang paling dia percaya setelah dirinya sendiri. “Dendam Gusti telah lunas.”

“Belum. Kita memang berhasil membunuh raja Demak, tapi ini hanya awal.”

“Ampun, Gusti. Bukankah sedari awal tujuan kita hanya sepupu Gusti itu–”

“Dia bukan sepupuku!” Patih Matahun menunduk dalam mendengar

junjungannya murka. “Pantaskah, Paman, pantaskah aku menganggapnya

sepupu setelah dia membunuh ayahku?”

Tak ada jawaban, tetapi dia memang tak mengharap jawaban apa pun.

Beberapa saat mereka diam, dan Patih Matahun tak berani memecah kesunyian.

Junjungannya menatap jauh ke dermaga bengawan, setengah kilometer dari tempatnya berdiri sehingga perahu para pedagang tampak seperti kumpulan noktah tak berarti dan suara-suara mereka seperti bisikan kidung dari dimensi lain.

“Prawoto memang mati. Demak diambang kehancuran. Namun, kita telah bermain api, meski bukan kita yang menyulutnya pertama kali. Lingkaran dendam ini tak berakhir di sini.

“Aku mencurigai Pajang dan Jepara akan menuntut balas. Kita tak akan bergerak lebih dulu, tapi aku minta Paman menyebar telik sandi ke daerah mereka sesegera mungkin.”

“Hamba mengerti.”

“Ada yang aku ingat selain kengerian setelah terbunuhnya Ayahku.”

“Apa itu, Gusti?”

“Aku menjabat adipati dalam usia muda, Paman tahu itu. Hari-hari pertamaku disibukkan oleh kabar mengerikan tentang penduduk-penduduk di wilayah perbatasan yang hilang dan ditemukan tergantung di pohon asam setelahnya.

Enam puluh tiga nyawa yang gagal kulindungi. Tak ada yang menyalahkanku kala itu, tentu saja, sebab situasi kadipaten benar-benar kalut oleh ketakutan dan kesedihan.

“Tapi, aku merasa begitu terkutuk tak bisa melakukan apa pun untuk mencegah rakyatku terbunuh sekeji itu. Namun, saat ini, aku, Arya Penangsang, akan melindungi tiap nyawa yang bermukim di kadipaten Jipang. Akan kuhancurkan Pajang bila mereka berani menyentuh rakyatku.”

Patih Matahun merasakan sengit amarah dari tiap tutur Arya Penangsang.

Ia menghormat takzim ketika Arya Penangsang berlalu dengan Gagak Rimang,

kuda kesayangan sang junjungan. Kuda itu berwarna hitam, begitu legam seperti bayangan, dan beberapa kisah mengenai kesaktiannya akan membuatmu menduga bahwa kuda itu sesungguhnya jelmaan iblis. Beberapa prajurit berani bersumpah telah melihat Gagak Rimang melompati bengawan, dua puluh meter jaraknya, dan salah seorang di antara mereka yakin telah melihat sayap tumbuh begitu saja dari kedua sisi tubuhnya, sayap yang besar dan legam dan perkasa.

Patih Matahun sendiri pernah menjadi saksi kesaktian kuda sang adipati.

Ketika itu ia dan beberapa telik sandi menyusup ke kadipaten Terung, tetapi keadaan menjadi genting saat jaga satru kadipaten mendapati mereka.

Sepasukan prajurit bersenjata mengepung, tak ada celah untuk melarikan diri.

Pilihan mereka hanya dua: diam di tempat dan menunggu ajal, atau bertempur layaknya satria dan tetap tumpas pada akhirnya. Patih Matahun memilih yang kedua, toh setidaknya ia bisa menunda kematian beberapa jenak.

Di tengah pekik pertempuran dan gemerincing senjata beradu, ketika satu demi satu telik sandinya berguguran, Patih Matahun merasa kepastian ajalnya tiba sebentar lagi. Tiba-tiba sekelebat bayangan menerjang kerumunan,

menghancurkan apa pun yang dilaluinya seperti puting beliung yang datang mendadak di malam buta. Bayangan itu menyambar Patih Matahun yang kepayahan, dan setelah itu yang ia rasakan hanya dingin malam dan deru angin.

Ia dibawa pergi dari Terung, meninggalkan arena pertempuran yang kini luluh lantak, menjauhi aroma darah yang membikin dada sesak. Ketika bayangan itu memperlambat kecepatan sehingga Patih Matahun tak lagi perlu menutup mata, tahulah ia bahwa Gagak Rimang yang menyelamatkannya. Kuda yang satu itu memang sakti, tetapi orang yang bisa mendapat kesetiaannya tentulah lebih linuwih. Dan orang yang berada di punggung Gagak

Rimang itu adalah junjungan tiap orang di kadipaten Jipang: Arya Penangsang.

Kadipaten Jipang terletak di wilayah yang kau sebut Cepu saat ini, diapit oleh Perbukitan Kendeng dan Bengawan Solo, satu kombinasi yang menjanjikan kesuburan lahan seperti yang biasa kau dapati di wilayah Jawa Barat. Namun, tekstur tanah berkapur tak cocok untuk padi, sebanyak apa pun air yang kau tuang di atasnya, dan berita mengenai kelaparan bisa kau peroleh di sepanjang wilayah perbukitan kapur ini.

Namun, tanah kapur adalah tempat terbaik bagi pohon jati, dan inilah yang menyangga perekonomian Jipang. Kayu kualitas terbaik, yang begitu keras sampai-sampai rayap enggan menjamahnya, lebih mudah didapat ketimbang

beras.

Sedari dulu, wilayah Jipang adalah surga bagi pemberontak. Perbukitan Kendeng yang mengular menjadi semacam benteng alam. Bengawan Solo, satu-satunya jalan masuk termudah, dijaga sedemikian ketat di kedua sisinya sehingga tak sembarang kapal boleh melintas. Arya Penangsang, yang dicekam trauma pembunuhan di usia mula, membangun kekuatan militer secara masif dan melindungi wilayahnya dengan cara-cara yang amat canggih. Kau yang hendak menyusup ke Jipang hanya memiliki dua cara: menghilang atau terbang.

Tetapi, belum ada pesawat atau, sekurang-kurangnya, balon gas saat itu, dan tak setiap orang mampu membuat tubuhnya transparan.

Akibat sistem pertahanan yang luar biasa itu, kerajaan Demak di sisi barat dan sisa Majapahit di timurnya kesulitan menaklukkan kadipaten Jipang. Arya Penangsang sendiri tak menginginkan jabatan raja, dia sudah cukup puas menjadi adipati dan tujuan utamanya hanyalah menuntaskan dendam lama.

Prawoto telah mati, tetapi ekses dendam tak berhenti di sini. Segera setelah Raja Demak terakhir itu terbunuh, kerabat kerajaan bersumpah menuntut balas. Dan Arya Penangsang tahu itu. Ditandainya dua orang yang dianggapnya paling berbahaya: Sultan Hadiwijaya, penguasa Pajang, dan Ratu Kalinyamat, orang nomor satu di Jepara. Namun, dia memberi perhatian khusus pada nama yang kedua.

Baru tiga pekan setelah keberhasilannya membunuh Sunan Prawoto, telik sandi di perbatasan utara mendapati serombongan penyusup. Mereka menerobos perbatasan pada malam gulita, ketika bulan mati, dan membunuh

prajurit penjaga yang tak sempat menghunus senjata, atau setidaknya bersuara.

Dalam pekat yang sangat, mereka menelusuri rimbun hutan jati, membunuh satu-dua prajurit patroli, dan terhenti dua kilo dari gerbang istana adipati.

Mereka ketahuan telik sandi.

Itu prestasi yang fenomenal; belum ada penyusup yang berhasil melangkah hingga sebegitu jauh sebelumnya. Kau tentu ingat, betapa kuat pertahanan Jipang. Disusupi beberapa orang sampai nyaris menerobos istana, muntablah Gusti Arya.

Dalam kemarahan yang memuncak dia masih sempat menghitung: ada sembilan cecunguk. Mereka berpakaian serba hitam dan memakai topeng ledek, penari dalam tradisi tayuban yang mengajarimu ekstasi dengan pinggul

dan aroma ciu. Namun, satu orang di baris belakang memakai topeng yang tak dia kenal: tak ada gurat apa pun kecuali dua lubang bagi mata, dan warnanya tembaga. Pastilah ia pemimpinnya, tebak Arya Penangsang.

Sembilan orang itu dikepung. Mereka menghunus keris dan pedang, berputar pelan dalam formasi melingkar. Prajurit penjaga istana–dua puluh tujuh jumlahnya–mengacungkan tombak ke arah penyusup, menunggu titah

Arya Penangsang. Sementara Arya Penangsang sendiri berdiri di samping Gagak Rimang, enam belas langkah dari kerumunan.

Akan tetapi, bukan perintah penyerangan yang terdengar, melainkan untuk mundur. Prajurit keheranan, tetapi mereka patuh dan membubarkan formasi, membiarkan sembilan incaran mereka tercekam tegang. “Kuurus begundal ini sendiri,” serunya, “kalian cukup melihat.”

Arya Penangsang menepuk belikat Gagak Rimang, tetapi sebelum kudanya melesat dia berpesan, “Sisakan untukku yang satu itu.”

Menerjanglah kuda hitam itu, dan percepatan membuatnya menjadi bayang-bayang.

Satu orang, dua orang, tiga, lima tubuh yang meregang dengan mata terbelalak mengerikan. Mereka mati sebelum sempat mengayunkan senjata andalan. Mereka mati sebelum sempat mengeluarkan pekikan kengerian.

Mereka mati sebelum sempat menyadari maut yang tinggal sejengkal lagi.

Tinggal tiga yang harus dibereskan; satu orang bertopeng aneh adalah sisa bagi tuannya. Tiga orang itu dicekik oleh kengerian akibat tubuh-tubuh rekannya yang tumpas. Mereka mengatur formasi, tetapi niat bertarung yang hampir padam membuat mereka tampak seperti terpidana mati menunggu eksekusi.

Dan algojo menjajarkan mereka di altar, bersisian, memasung leher mereka di bawah pisau pancung.

Gagak Rimang yang tak mengenal kata gagal. Ia kembali pada tuannya, meninggalkan tubuh-tubuh koyak tersalut debu dan kegentaran yang kentara sungguh dari balik topeng satu sisa penyusup yang ia sisakan bagi kesenangan

sang tuan. Prajurit-prajurit memekikkan kemenangan.

“Cukup!” Seru Arya Penangsang sembari mengangkat tangan, menenangkan tempik-sorak prajuritnya.

“Kau.” Dia menuding sosok bertopeng tembaga. “Berani menyusup ke Jipang dan membuat kekacauan. Membunuh prajurit-prajuritku. Itu … terlalu susah kuampuni.

“Tetapi, sebaiknya kau mengaku. Mengaku apa pun yang ingin atau tidak ingin aku dengar. Dengan begitu, kau kupersilakan mencabut nyawamu sendiri.”

Tak ada sahutan.

“Aku sedang tak ingin mencabut kerisku,”kata Arya Penangsang sambil mengusap-usap sarung keris bermotif rumit yang terselip di perutnya–dia tak pernah menyelipkan keris di belakang badan seperti lazimnya orang Jawa, sebab baginya pusaka tak sepatutnya terletak amat dekat dengan pantat. “Tapi

melihat gelagatmu, aku menduga bahwa kau terlalu takut mencabut sendiri nyawamu. Tentu, dengan bahagia, kubantu kau bertemu kematian.”

Sosok bertopeng tembaga itu menghunus kerisnya dan memasang kudakuda. Ia menerjang. Kerisnya teracung, matanya nyalang. Namun, dua jengkalsebelum ia menyayat tubuh Arya Penangsang, sesuatu yang tajam dan pedih

menggores dadanya. Dua kali. Enam kali. Ia tak merasa apa pun selain perih hebat, seperti luka yang tersiram cuka. Tak ada dingin, tak ada embus angin.

Hanya perih. Juga hitam yang lebih pekat dari malam.

Arya Penangsang membatu di tempatnya berdiri, tersenyum sinis.

Disarungkannya kembali keris pusakanya, Setan Kober, yang begitu ampuh hingga mampu membunuh tanpa menyentuh musuh. “Periksa!” Titahnya.

Seorang prajurit maju dan berlutut di samping jasad lelaki bertopeng tembaga.

Ia membuka selubung wajahnya.

Sekejap Arya Penangsang kaget mengetahui sosok yang dia kalahkan. Ia Pangeran Hadiri, penguasa Jepara, suami dari sepupunya, Ratu Kalinyamat. Dia berlalu bersama Gagak Rimang setelah menitahkan prajurit untuk mengurus

jasad mereka baik-baik. Dia akan mengirim mereka kembali ke Jepara beserta sepucuk surat yang menjelaskan semuanya. Pangeran Hadiri–bagaimana bisa ia begitu nekad menyerbu sarang musuh yang ia tahu tak akan mampu ia taklukkan? Mungkin ini hasutan sang istri, mengingat Prawoto, Raja Demak tengik itu, adalah saudara kandung istrinya.

Namun, di punggung kudanya Arya Penangsang tak sempat berpikir ini-itu.

Dia hanya tahu bahwa lingkaran dendam ini belum terputus, dan titik akhir masih jauh. Barangkali titik itu ada di penghabisan hidupnya sendiri.

Seperti keris Pu Gandring yang melegenda dan lenyap bersamaan dengan keruntuhan Singosari, keris Setan Kober pun menjadi legenda karena hal yang sama. Tak ada yang tahu siapa yang menempa keris ini. Melihat kesamaan nasib dua keris ini, kau bolehlah curiga seorang saudara jauh Pu Gandring terlibat dalam pembuatannya. Namun, yang jelas, keris ini dimiliki kali pertama oleh Sunan Kudus, guru spiritual Arya Penangsang, yang juga menjadi guru Hadiwijaya.

Keris ini berpindah tangan dan mencabut nyawa, barangkali untuk kali pertama, Raden Kikin, ayah Arya Penangsang. Entah, aku tak tahu cara Sunan Prawoto menggondol Setan Kober–tentu tak terbayangkan juga bagimu mencuri sesuatu dari seorang guru ruhani sekaliber Sunan Kudus. Yang pasti, Raden Kikin mati, dan sejak itu ia digelari Pangeran Sekar Seda ing Lepen. Kisah berdarah keris ini belum berhenti.

Lagi-lagi aku harus meminta maaf atas ketidaktahuanku. Keris ini berpindah tangan ke Arya Penangsang, dan membunuh pemilik sebelumnya. Spekulasiku mungkin sama denganmu: Arya Penangsang, yang sudah sakti sebelum mendapat Setan Kober, menyatroni Demak dan berduel dengan sang raja,

lalu menikamnya bukan dengan senjata miliknya melainkan dengan pusaka

sang lawan. Barangkali untuk maksud menghina. Barangkali Arya Penangsang memang tertarik pada keris ini dan ingin menjajalnya saat itu juga, menjadikan Raden Kikin sebagai bahan percobaan.

Dengan keris ini pula Arya Penangsang menghabisi Pangeran Hadiri–kau masih ingat?

Sunan Kudus, pemilik pertama keris ini, selamat dari maut, tak seperti Pu Gandring yang tumpas oleh karyanya sendiri dan menebar kutuk sebelum terpejam. Namun, Sunan Kudus menghadapi dilema: dua muridnya terkasih bermusuhan dan seperti tak ada celah untuk didamaikan. Bahkan, sepekan setelah Raden Kikin tewas, ia didatangi Ratu Kalinyamat yang muntab atas kematian saudaranya–ia berpikir bahwa Sunan Kudus terlibat.

Belum reda masalah, Arya Penangsang kembali berulah. Pangeran Hadiri dibunuhnya. Ratu Kalinyamat tak muncul melabrak, tetapi Sunan Kudus merasa sikap diam sang ratu pertanda gawat. Ia memanggil Arya Penangsang ke pesantrennya, juga Hadiwijaya. Ia ingin rekonsiliasi di antara mereka berdua, dan lagi pula instingnya berkata bahwa Hadiwijaya akan membantu Ratu Kalinyamat menuntaskan dendam.

Dua murid yang berseteru itu datang menghadap. Mereka duduk berhadapan, saling diam, tetapi aroma permusuhan merebak memenuhi tiap jengkal udara. Sunan Kudus datang kemudian, berpakaian putih dan bersorban hijau dan tampak seratus tahun lebih tua dari biasanya. Kedua muridnya

mengucap salam dan menyembah takzim hampir bersamaan, suatu tindakan yang membuat Arya Penangsang berjengit dan tak menggubris jawaban sang guru yang bergetar letih. “Kalian masih seperti anak-anak, selalu, tapi tindakan kekanak-kanakan kalian kali ini berbahaya, mungkin juga bodoh,” kata Sunan Kudus.

“Ampun, Guru,” sembah Hadiwijaya. “Tak pernah aku membuat guru bersedih sebelum ini. Mungkin aku bersalah, dan guru boleh menghukumku atas kesalahanku yang tak pernah aku harap untuk kulakukan.” “Guru kira aku mau melumuri tanganku dengan darah?” tanya Arya Penangsang. “Ayahku dibunuh dan rakyatku terancam. Aku menjabat adipati di usia mula, dan menyaksikan pembunuhan-pembunuhan keji terhadap orang-orang di wilayahku tanpa bisa mencegahnya. Pemimpin macam apa aku, bila rasa tenang saja tak bisa kuberikan pada tiap nyawa di Jipang?” “Pangeran Hadiri–kau yang membunuhnya?” Sunan Kudus menatap Arya Penangsang.

“Siapa lagi, Guru. Tapi, masih tidak bolehkah aku membinasakannya? Aku tak pernah menyuruhnya untuk menyusup ke kadipatenku dan membunuhi prajuritku. Aku menghadiahinya kematian yang bermartabat.”

“Jadi, benar dugaanku.” Hadiwijaya menggumam, jemarinya terkepal. “Lebih baik bagimu untuk menyimpan kata-kata dan menggunakannya nanti ketika giliranmu bersuara tiba.” “Apa maumu sebenarnya, Kakang Arya? Demak sudah kau gulung, masihkan itu belum cukup?” “Mauku?” suara Arya Penangsang meninggi. “Pernahkah kau berpikir apakah keinginankulah ayahku terbunuh dan rakyatku terancam? Apakah ini kesalahanku bila Demak runtuh akibat kubalas kematian ayahku? Salahku juga kah bila serombongan penyusup bertopeng membunuhi prajuritku dan kubunuh mereka setelahnya? Demak kehilangan Rajanya, dan bila aku mau tentu akan kududuki tahta Demak semudah aku berkata-kata kepadamu saat ini, tapi aku tetaplah adipati Jipang sekarang, dan selamanya. Andai Hadiri tak melakukan tindakan bodoh, atau setidaknya ia membiarkan wajahnya telanjang, hari ini ia tentu masih berkumpul bersama istrinya dan memimpin Jepara dengan tenteram dan bahagia. Oh, setelah lebih dulu kupotong kupingnya, agar ia paham bahwa menyusup ke wilayahku malam-malam adalah sebentuk kedunguan.” “Pembelaan yang bagus, Kakang.” “Sebetulnya aku lelah melihat darah. Aku juga tak ingin menambah rasa malu guruku.” Arya Penangsang menggambar sesuatu di ubin dengan telunjuknya. “Aku tak ingin berseteru denganmu, tetapi bila itu keharusan maka akan kulakukan.”

“Sebentuk tantangan kah ini?”

“Kau boleh menganggapnya begitu.”

Sunan Kudus mencium sengit permusuhan di antara muridnya yang kian tak terjembatani. Ia merasa sesuatu yang amat buruk akan terjadi. Sebelum sempat ia mendinginkan kepala mereka yang mengepul, muncul sinar terang berbentuk huruf kawi yang berarti “sirna” dari permukaan ubin yang sebelumnya digurat oleh telunjuk Arya Penangsang. Ini rajah yang terkutuk. Sinar itu mengambang di depan telunjuknya yang teracung ke dada Hadiwijaya, menyinari mukanya dengan cahaya pucat seperti matahari pukul sepuluh. Satu sentakan tangannya membuat sinar itu melesat cepat, lurus menuju Hadiwijaya yang tercekat. Sunan Kudus cepat bereaksi, mengibaskan tangannya seperti mengusir lalat yang membuat sinar itu terpelecat, memantul dari satu tiang ke lain dinding dan meninggalkan jejak retak dan hangus, lalu menghantam Arya Penangsang tepat di dada. Dia terpental empat tombak jaraknya. Telentang dengan napas memburu tanpa mampu bangkit. Sunan Kudus menyuruh Hadiwijaya pergi. Ia tak mengacuhkan Hadiwijaya yang berlalu dalam gugup dan terguncang. Dihampirinya Arya Penangsang.

“Apa yang guru lakukan?”

“Apa yang kau lakukan?”

“Menghabisi dia, sebelum dia menghabisiku.”

“Di depanku? Di pesantrenku? Kau gila!” Arya Penangsang menggumamkan sesuatu, tetapi Sunan Kudus telanjur tak ingin mendengar apa pun. Ia memapahnya ke dalam, dan menyadari bahwa keributan tadi membuat santri-santrinya cemas. Puluhan pasang mata yang menatap nanar. Sebelum tengah malam Arya Penangsang pamit pulang. Patih Matahun, yang begitu panik seperti ibu yang mendapat kabar kematian anaknya, mengontak sepasukan prajurit perang dari Jipang untuk pengawalan. Sunan Kudus menyuruhnya berpuasa empat puluh hari lamanya demi menghilangkan tuah rajah Kalacakra, dan itu berarti empat puluh hari penuh tirakat tanpa mencari masalah. Hadiwijaya yang terguncang memutuskan untuk singgah di pertapaan Ratu Kalinyamat di lereng Muria. Sang ratu memintanya dengan sangat untuk menghabisi Arya Penangsang, sebelum adipati itu kembali berulah. Lagi pula, ia masih dendam atas kematian suaminya. Hadiwijaya menolak sebab ia tahu itu akan menyakiti hati gurunya. Arya Penangsang juga lebih linuwih disbanding dirinya. Ia tak akan menang. Ratu Kalinyamat memberi ide: buat sayembara dan aku akan menyerahkan Jepara kepada pemenangnya. Juga Mataram, tambah Hadiwijaya. Pendaftar datang seperti air bah, tetapi ada dua yang tampaknya tahu benar apa yang harus dilakukan. Ialah Ki Ageng Pemanahan dan anaknya, Sutawijaya—kau mungkin mengenalnya dengan namanya yang lain: Joko Tingkir. Ki Ageng Pemanahan adalah orang dalam kadipaten Pajang, dan Sutawijaya menjadi anak angkat Hadiwijaya sejak lama. Mereka dua orang berilmu tinggi. Namun, yah, musuh mereka adalah Arya Penangsang, satu-satunya adipati yang menolak beraliansi dengan Demak atau Majapahit atau Giri dan baikbaik saja selama ini. Seseorang yang menjadi penyebab runtuhnya Demak, dan Jepara. Hadiwijaya membekali mereka dengan tombak Kyai Plered dan penasihat kerajaan yang waskita, Ki Juru Mertani. “Ini adalah tombak yang ampuh, meski Setan Kober tetaplah yang terbaik. Tetapi, anakku, kemenangan juga membutuhkan strategi, dan Ki Juru Mertani adalah yang terbaik dalam hal ini.” Mereka ingin segera menyatroni Jipang, tetapi Ki Juru Mertani melarang. “Gegabah menyerangnya saat ini. Tunggu hingga Arya Penangsang menjalani puasanya yang keempat puluh. Sebelum ia berbuka, itulah saat yang tepat. ”Baik Sutawijaya maupun Ki Ageng Pemanahan tak bertanya alasan penundaan perang. Mereka hanya yakin bahwa pemilihan waktu adalah sebentuk strategi ciamik Ki Juru Mertani. Permainan psikologi barangkali. Sembari menunggu, mereka meningkatkan kemampuan tempur dan merancang ini-itu. Gagak Rimang, kuda siluman tunggangan Arya Penangsang, tetaplah memiliki kelemahan naluriah: birahi. Maka Ki Juru Mertani memangkas habis ekor kuda betina yang akan mereka tunggangi nanti. Lalu tibalah hari itu. Ketika matahari mulai condong ke barat dan sinarnya membikin bayangbayang memanjang di timur, tergopoh-gopoh seorang prajurit menuju bangsal kadipaten. Enam teman yang mendampinginya bermuka pucat pasi, dan prajurit itu sendiri dipapah kiri-kanan dan wajahnya serupa mori. Gusti, Gusti, seru mereka panik. Arya Penangsang bangkit dan keluar. Dia terperanjat mendapati tujuh abdinya datang menghadap dengan darah mengucur dari kuping kiri prajurit yang sempoyongan di tengah. Sepucuk surat terselip di luka kupingnya,

merah dan anyir.

Terkutuuuk! Arya Penangsang menjerit berang dengan dada naik-turun.

Dia meremas surat itu dan mencampakkannya di tanah setelah membacanya.

“Kutantang kau di seberang bengawan, itu bila kau benar bernyali,” begitu yang tertulis di surat itu, dan cap kadipaten Pajang di sudut kanan, agak luntur oleh rembesan darah, membuatnya yakin ini ulah Hadiwijaya. Arya Penangsang bersuit panjang, memanggil Gagak Rimang. “Gusti, ini hanya jebakan.” Patih Matahun memohon dengan sangat seperti pengemis paling payah yang menuntut derma. “Hamba mohon, tunggu hingga kesaktian Gusti kembali senja nanti. Tinggal beberapa saat lagi.” Namun, junjungannya bergegas naik ke punggung Gagak Rimang dan berkata, “Jaga kadipaten, Paman.” Paman pastilah tahu apa yang harus diperbuat, dan perhitungan kita yang meleset ini adalah awal dari kengerian yang akan menimpa Jipang, menimpa diriku dan rakyatku. Rakyatku. Aku akan mengulur waktu, sementara Paman bisa memikirkan sesuatu untuk melindungi tiap jiwa yang berada di bawah lindunganku. Namun, tak dia katakan itu pada Patih Matahun. Lamat dia mendengar jawab, “Sendika, Gusti,” dan tanpa menengok lagi dia memacu kudanya pergi. Dia melupakan urusan berpuasa dan efek buruk yang pasti didapatnya bila memaksa bertarung dengan siapa pun sebelum berbuka di hari ke empat puluh, kurang dari satu jam lagi. Dia mengabaikan kemampuannya yang hilang akibat Kalacakra, membuatnya tak lebih sakti dibanding prajuritnya yang paling dungu dalam olah kanuragan, dan perjalanannya ini seperti menjemput maut yang telah pasti, sepasti matahari terbit dari timur dan bukannya barat kecuali menjelang kiamat. Kiamat dirinya dimulai, sayang sekali. Dilihatnya tiga orang yang dia kenal betul berdiri di seberang bengawan: Ki Juru Mertani, Ki Ageng Pemanahan, dan bocah kemarin sore yang hanya dia ingat mukanya. Surawijaya atau Samudra atau entah siapa itu. Tapi, bocah itu memegang tombak yang dia tahu dimiliki oleh Hadiwijaya, sedangkan ke mana itu cecunguk yang mengajukan tantangan? Hadiwijaya tak tampak, dan Arya Penangsang merasa sesuatu sedang berjalan tak sesuai dengan apa yang dia duga. Ini pasti jebakan. Semakin gusar dia ketika Gagak Rimang bertingkah di luar kewajaran. Kuda itu menderap-derap dan meringkik dan mengibaskan ekornya berulang-ulang. Seperti birahi. Dan, benar saja, saat Ki Juru Mertani memutar posisi kudanya yang tak berekor sehingga membokongi Gagak Rimang, melompatlah kuda sakti itu menyeberangi bengawan, demi menuntaskan birahi yang telanjur terjerang. Gagak Rimang belum mendaratkan ke empat kakinya ketika Tombak Kyai Plered mengoyak perutnya dan menikam pula penunggangnya. Kuda malang itu tumbang. Namun, Arya Penangsang bangkit meski ususnya terburai dan darah mengalir hingga mata kaki. Parasnya pasi, sebab tak pernah dia dipermalukan sebrutal ini di usia dewasanya, bahkan oleh bocah yang namanya pun tak dia hafal. Dia menjerit murka. Dia menolak kalah. Dia mengumpulkan tenaga dan harga diri demi bangkit tegak melawan. Sayup azan magrib dari surau berkumandang. Kesaktiannya pulang. Disampirkannya usus yang terburai itu ke pangkal kerisnya. Cukup tangan kosong untuk mengalahkan dua jompo dan seorang ingusan, pikir Arya Penangsang, menganggap kematian Gagak Rimang dan perutnya yang koyak sekadar hasil untung-untungan. “Mati!” tudingnya pada Sutawijaya yang gemetar. Arya Penangsang menerjang. Dia meladeni tiga orang sekaligus, dan tampaklah perbedaan kesaktian mereka. Ki Juru Mertani terpental jauh kesemak-semak, tiga iganya patah, setelah satu jurus mengenainya telak di dada. Dua yang tersisa masih sanggup meladeni, tetapi Ki Ageng Pemanahan tampak kepayahan sungguh. Mereka berdua sedari tadi hanya bertahan, tak ada celah satu jurus pun untuk balik menyerang. Arya Penangsang membabi-buta. Dia tak peduli pada ususnya yang terburai dan darah yang terus mengalir. Sutawijaya berharap banyak pada kondisi Arya Penangsang–semakin lama tentunya dia akan semakin lemah akibat kekurangan darah, atau bisa saja di satu titik lelaki mengerikan ini akan ambruk juga ketika tak lagi bisa menahan sakit di perutnya yang luka. Namun, harapannya tak kunjung terkabul, malah kini ia harus bertarung sendiri karena Ki Ageng Pemanahan tertaklukkan. Ayahnya terkapar di tanah, diam, tetapi hawa kehidupan belum meninggalkannya. Ia bertambah gentar. Sutawijaya bertahan semampu kekuatan. Ia berkelit ke sana ke mari, dan, lagi-lagi, berharap keajaiban akan tiba. Pasukan Pajang mungkin akan datang memberi bantuan karena ayah angkatnya tahu entah darimana perihal keadaan mereka. Ia menangkis dan terus berharap. Ia mulai letih dan masih berharap. Tolong, tolong kami. Tolong. Kami. Sebuah pukulan di perut membuatnya tersungkur. Sebelum hanya gelap yang ia lihat, ia menatap Arya Penangsang yang mengangkanginya dengan wajah murka. Amat murka. Ia tahu waktunya tinggal sebentar, mungkin satu nafas lagi. Jadi biarkan aku berharap, ujarnya dalam hati. Ia menutup matanya, bersiap menyambut entah sakit apa yang akan tiba. Barangkali tak ada sakit. Barangkali ini perpindahan yang mudah dan cepat, seperti bintang jatuh, dan ketika ia membuka mata ia akan dapati realita yang lain, alam yang lain, di mana tak ada kata “sakit” sebab segala rasa tak lagi relevan. Tapi, masih bolehkah aku menaruh harap? Tolong, tolong. Siapapun, tolong kami. Arya Penangsang amat bernafsu menghabisi Sutawijaya yang tergolek di kakinya. Amarah menaklukkan akal sehatnya, sehingga dia menghunus keris Setan Kober dan memotong usus yang sebelumnya tersampir di gagangnya. Kelebat memorinya mengalahkan lengking kesakitannya sendiri: dia teringat ayahnya dan horor yang menghantui tiap malamnya hingga kini. Dia mencium aroma yang telah dia coba halau semenjak usia dini, semacam campuran antara amis dan busuk dan langu yang membawa teror. Suara ibunya yang meratap. Dingin yang menyengat. Namun, sebelum matanya hanya melihat gelap, dia memikirkan Patih Matahun dan keluarganya, dan rakyat yang selama ini dia coba lindungi meski yang musuh-musuhnya lihat hanya arogansi. Aku berakhir

di sini, kata Arya Penangsang dalam hati, tetapi setelah ini tak ada rakyat yang mati. Semoga.

Arya Penangsang takluk. Dia padam, tetapi tubuhnya tak rebah di tanah. Dia bertumpu pada dua lututnya. Tangan kiri menyangga tubuhnya, dan tangan kanannya masih menggenggam erat Setan Kober yang terlilit ususnya di gagang, menjuntai hingga pergelangan tangan. Kau lihat, bahkan dalam kematiannya dia menolak terpuruk di hadapan lawan.

“Alangkah indah,” gumam lirih Ki Juru Mertani yang menyaksikan semuanya dari tempat ia tergolek, “bila tiap lelaki Jawa menghias gagang kerisnya dengan ususnya sendiri.”

Hingga kini, ketika kututurkan kisah ini kepadamu, tiap mempelai lelaki di bekas wilayah Jipang dan sekitarnya selalu memakai keris yang terbelit untaian melati, pengganti usus yang tak mungkin mereka kenakan dalam upacara pernikahan, sebagai perlambang, barangkali pengingat, sikap ksatria Arya Penangsang.