Hubungan Kekeluargaan dan Dinamika Politik di Ajatappareng Abad XV-XVI

0
3859
gsgdrhdfbdfhdfhd

HUBUNGAN KEKELUARGAAN DAN DINAMIKA POLITIK

DI AJATAPPARENG ABAD XV-XVI

 

Muhammad Amir

Balai Pelestarian Nilai Budaya Makassar

Jalan Sulta Alauddin/Tala Salapang Km.7 Makassar, 90221

Telepon (0411) 885119, 883748; Faksimile (0411) 865166

Pos-el: muhabpnb@yahoo.co.id

Handphone: 081343797300, 082194080034

 

ABSTRAK

 

Kajian ini bertujuan mengungkap dan menjelaskan hubungan kekeluargaan dan dinamika politik di wilayah Ajatappareng. Metode yang digunakan adalah metode sejarah yang menjelaskan suatu persoalan berdasarkan perspektif sejarah. Hasil kajian menunjukkan bahwa hubungan kekeluargaan melalui perkawinan antarkerajaan  di wilayah Ajatappareng telah terjadi pada pertengahan abad ke-15 dan dengan kerajaan di luar di wilayah tersebut pada akhir abad ke-15. Jalinan kekeluargaan ini telah menjadi salah faktor penting terbentuknya persekutuan Lima Ajatappareng pada abad ke-16. Persekutuan yang dibentuk dalam rangka membangun kerjasama untuk mewujudkan kesejahteraan dan ketenteraman bersama di wilayah Ajatappareng, bukan hanya dilatari oleh meningkatnya persaingan antarkerajaan dalam mengontrol perdagangan dan lahan pertanian, melainkan juga karena terjadinnya penurunan eksport seiring dengan meningkatnya permintaan luar atas barang-barang atau komoditas, terutama beras dari wilayah Ajatappareng.

Kata kunci: kekeluargaan, dinamika politik, dan Lima Ajatappareng

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

PENDAHULUAN

Jika mencermati kehidupan kenegaraan kita dewasa ini, maka tampak bahwa gejolak sosial, baik berupa konflik politik dan konflik horizontal maupun tawuran antarpelajar dan mahasiswa senantiasa terjadi. Gejolak sosial yang terjadi di berbagai daerah itu, tidak hanya mengusik panorama kehidupan kebangsaan dan kenegaraan kita, tetapi sebagian juga telah mengarah pada gejala disintegrasi bangsa. Selain itu, di dalam penataan pemerintahan juga telah memperlihatkan gejala etnosentrisme dan sifat kedaerahan. Hal ini jelas merupakan ancaman bagi persatuan dan keutuhan bangsa dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Sebagai contoh, adanya justifikasi isu-isu kesukuan dan kedaerahan dalam pemekaran wilayah, sedangkan dalam pemilihan kepala daerah dimunculkan isu “putra daerah” dan menggunakan simbol-simbol budaya lokal yang sempit. Sementara itu berbagai persoalan yang ditimbulkan oleh globalisasi memerlukan kekuatan dan ketangguhan budaya bangsa (Zuhdi, 2003:3).

Kerajaan-kerajaan di Sulawesi Selatan dalam menata kehidupan kenegaraan mereka, juga tidak luput dari gejolak sosial berupa konflik baik internal maupun eksternal, sehingga dinamika kesejarahannya senantiasa diwarnai oleh perang dan damai. Oleh karena itu, hubungan antarkerajaan di daerah ini, tidak hanya diwarnai oleh konflik, tetapi juga tidak sedikit dan bahkan melahirkan puluhan konsensus berupa perjanjian perdamaian atau kerjasama antarkerajaan (Amier,1989:xii-xv). Pada umumnya konsensus yang mendasari hubungan antarkerajaan di Sulawesi Selatan, tidak hanya berlandaskan pada sikap persatuan dan kesatuan, tetapi juga pada sikap toleransi dan persaudaraan di dalam menata kehiduapan bersama di daerah ini. Sebagai contoh hubungan antara Kerajaan Gowa dengan Kerajaan Bone, yang dinyatakan dalam lontarak bahwa apabila orang Gowa ke Bone dan bermalam, maka ia (orang Gowa) menjadi orang Bone. Demikianpula sebaliknya apabila orang Bone ke Gowa dan bermalam, maka ia (orang Bone) menjadi orang Gowa (Lontarak Akkarungeng Bone; Patunru, 1983; Patunru,1989).[1]

Konsensus antarkerajaan tersebut, bukan hanya memberikan petunjuk tentang tingkat toleransi dan simpati masyarakat daerah ini serta keterbukaan diri dan kesediaan mengintegrasikan diri dengan orang lain. Akan tetapi sikap inilah yang juga mendasari lahirnya sejumlah ikrar atau perjanjian persahabatan yang dikenang oleh masyarakat sebagai suatu konvensi dalam kehidupan bersama dan hubungan antarkerajaan di daerah ini. Namun kenyataan itu kurang disadari oleh sejumlah peneliti dan penulis sejarah daerah ini, sehingga pembentukan persekutuan atau aliansi senantiasa dihubungkan dengan usaha untuk melindungi dan mempertahankan diri terhadap ancaman dari kerajaan lain. Terintegrasinya Kerajaan Gowa dan Tallo misalnya, yang kemudian dikenal dengan sebutan Kerajaan Makassar dipandang sebagai aliansi yang bergiat memperluas wilayah kekuasaan semata. Demikian pula dengan pembentukan per-sekutuan Tellumpoccoe (Bone, Wajo, dan Soppeng) dipandang sebagai usaha untuk melindungi daerahnya bersama terhadap ancaman Kerajaan Makassar. Pada hal sejumlah persekutauan antarkerajaan di daerah ini, tidak hanya berlandaskan pada kepentingan politik dan pertahanan semata, tetapi juga pada hubungan persaudaraan atau kekerabatan melalui perkawinan untuk kepentingan ekonomi atau kesejahteraan bersama seperti hubungan antarkerajaan di wilayah Ajatappareng.

Hubungan antarkerajaan melalui perkawinan di wilayah Ajatappareng tampak-nya telah terjalin sejak pertengahan abad ke-15. Di wilayah ini setidaknya terdapat lima kerajaan, yaitu Kerajaan Sidenreng, Sawitto, Suppa, Rappang, dan Alitta. Sementara hubungan antarkerajaan melalui jalinan perkawinan antara raja-raja di wilayah Ajatappareng dengan raja kerajaan lain seperti Soppeng, Wajo, dan Gowa telah terjadi pada akhir abad ke-15. Meskipun hubungan perkawinan itu telah dapat merapatkan hubungan di antara dua kerajaan, tetapi dalam perkembangannya juga tidak terlepas dari konflik bahkan perang saudara. Oleh karena itu, hubungan kekeluargaan yang terwujud melalui perkawinan di antara mereka tidak menghalangi terjadinya konflik jika terdapat perbedaan kepentingan politik di antara kerajaan-kerajaan tersebut.

Jalinan kekerabatan melalui perkawinan antara para pengauasa kerajaan bukan hanya bertujuan untuk mempertahankan kemurnia darah kebangsawanan mereka, tetapi juga untuk mempertahankan kekuasaan. Oleh karena perkawinan adalah salah satu cara untuk melahirkan generasi yang mempunyai kadar darah kebangsawanan murni yang memiliki keturunan darah Tomanurung.[2] Itulah sebabnya hanya mereka yang berdarah murni dan berketurunan Tomanurung yang boleh dilantik menjadi raja. Tomanurung ialah tokoh utama yang menjadi peletak dasar terbentuknya kerajaan dan menjadi patokan utama dalam pewarisan kekuasaan. Oleh karena itu, seseorang yang mem-punyai garis keturunan kebangsawanan dari dua atau lebih tokoh Tomanurung, maka dapat dipastikan bahwa ia yang paling berhak dilantik menjadi raja (PaEni, 1986:13).

Berdasarkan uraian singkat tersebut, maka kajian ini tidak hanya berupaya untuk memberikan gambaran dan penjelasan tentang dinamika kesejarahan kerajaan-kerajaan di wilayah Ajatappareng, tetapi juga tentang hubungan antarkerajaan yang dilandasi semangat persatuan dan kesatuan serta toleransi dan persaudaraan. Oleh karena itu yang menjadi persoalan dalam kajian adalah bagaimana hubungan kekeluargaan antarkerajaan melalui perkawinan di wilayah Ajatappareng. Selain itu, juga tentang persoalan bagaimana dinamika atau perkembangan politik yang senantiasa mewarnai hubungan antarkerajaan di wilayah Ajatappareng. Untuk mejawab pertanyaan tersebut, maka persoalan-persoalan yang melatari terbentuknya jalinan kekerabatan antarkerajaan dan perubahan sosial yang menyertainya harus diungkapkan atau tidak dapat diabaikan dalam memahami dinamika hubungan antarkerajaan di wilayah Ajatappareng.

Metode yang dipergunakan dalam kajian ini adalah metode sejarah, yang mengungkap dan menjelaskan suatu persoalan berdasarkan perspektif sejarah deskriptif analitis. Pada intinya metode sejarah ini, meliputi empat tahap yaitu heuristik (pencarian dan pengumpulan sumber), kritik sumber (analisa dan seleksi data), interpretasi (penafsiran), dan historiografi dalam bentuk kisah. Prosedur kerjanya dilakukan secara sistematis. Maksudnya, kritik sumber dilakukan setelah data terkumpul, begitu pula interpretasi dilakukan setelah melalui tahap penilaian atau kritik sumber. Tahapan terakhir dari seluruh rangkaian ini adalah historiografi, yaitu penulisan dalam bentuk kisah sejarah yang bersifat deskriptif analitis, tanpa mengabaikan penggunaan bahasa yang baik dan benar.

 

 

HASIL DAN PEMBAHASAN

Jalinan Kekeluargaan

Tomanururng di Bacukiki yang bernama La Bangenge adalah Addatuang Sawitto ke-1 (1441-1466).[3] Ia kawin dengan Tomanurung di Suppa yang bernama We Teppulinge Datu Suppa ke-1 (1441-1466). Sementara Tomanurung di Bulu Lowa merupakan Addatuang Sidenreng ke-1 tidak disebutkan namanya dalam lontarak  (Lontarak Addatuang Sidenreng, 97).[4] Namun anak mereka yang bernama Songkopulawengnge merupakan Addatuang Sidenreng ke-2 kawin dengan We Pawawoi Arung Rappang ke-2, anak dari La Bangenge Addatuang Sawitto ke-1 dan We Teppulinge Datu Suppa ke-1. Fakta ini menunjukkan bahwa sejak awal pembentukan kerajaan-kerajaan di wilayah Ajatappareng, telah terjadi jalinan kekeluargaan melalui perkawinan antara raja-raja dan bangsawan di wilayah tersebut. Perkawinan dengan raja-raja di luar wilayah Ajatappareng mulai dilakukan oleh La Putebulu Addatuang Sawitto ke-3 (1494-1519) yang juga sebagai Datu Suppa ke-3 dengan isteri keduanya yang bernama We Tappatana Datu Mario Riwawo di Soppeng. Hasil perkawinan mereka melahirkan La Makkarawi Datu Suppa ke-4 (1519-1564).[5] Setelah We Tappatana bercerai dengan La Putebulu, maka ia kawin dengan La Pasampoi Addatuang Sidenreng ke-4 yang kemudian melahirkan La Pateddungi (Lontarak Addatuang Sidenreng, 5).[6] Mengapakah Soppeng menjadi target pertama perkawinan bangsawan Ajatappareng dengan kerajaan di luar Ajatappareng. Hal ini dapat dikatakan bahwa Bacukiki, Suppa, dan Soppeng adalah tiga kerajaan yang memegang peranan penting dalam dinamika politik dan ekonomi pada abad ke-14 ( Pelras,2006; Caldwell, 1988; Druce,2009). Tambahan pula bahwa Suppa dan Sidenreng berbatasan dengan Soppeng.

Jika La Putebulu Addatuang Sawitto ke-3 dan Datu Suppa ke-3 menjalin hubungan kekeluargaan dengan bangsawan Soppeng, maka anaknya yang bernama La Paleteang Addatuang Sawitto ke-4 (1519-1549) kawin dengan putri Arung Belawa (Wajo), yang melahirkan La Cella Mata dan We Gimpo. We Gimpo kawin dengan La Pateddungi Addatuang Sidenreng ke-5 yang melahirkan La Patiroi dan We Renritana.[7] Fakta ini membuktikan bahwa setelah Soppeng, maka para raja di Ajatappareng melihat bahwa Wajo utamanya Belawa mempunyai peranan sangat penting pada awal abad ke-15. Mengapakah Wajo sangat penting peranannya pada pertengahan abad ke-15. Hal ini disebabkan pada masa itu Wajo yang terletak antara Luwu di utaranya dan Bone di selatannya menyebabkan beberapa bangsawan Luwu dan bangsawan Bone kawin dengan bangsawan atau Matowa Wajo (Lontarak Akkarungeng Bone; Abidin, 1985; Caldwell, 2005).

Pada masa kekuasaan We Lampewelua Datu Suppa ke-5 (1546–1554), Kerajaan Gowa menaklukkan Suppa dan Sawitto. Setelah penaklukan ini, Tunipallanga Ulaweng (1546-1565) Sombaya Gowa ke-10 melantik anaknya yang bernama We Tosappai menjadi Datu Suppa ke-6 (1554-1602).[8] We Tosappai kawin dengan La Patiroi Addatuang Sidenreng ke-6 (1564-1612).[9] Ini bermakna bahwa perkawinan antara raja di Ajatappareng dengan bangsawan Gowa dimulai setelah penaklukan Gowa ke atas Suppa dan Sawitto pada pertengahan abad ke-16. Sementara itu perkawinan antara bangsawan di Ajatappareng dengan bangsawan Bone dimulai oleh We Bungabau anak dari La Suni Karaeng Massepe Addatuang Sidenreng ke-9. We Bungabau kawin dengan Towaccalo Arung Amali Petta Ponggawae Bone (Lontarak Addatuang Sidenreng, 15).[10] Perkawinan dengan bangsawan Bone diperkuat oleh Todani (1677-1681) yang berkuasa di lima kerajaan di Ajatappareng (Sidenreng, Sawitto, Suppa, Rappang, dan Alitta) kawin dengan We Kacimpureng kakak dari Arung Palakka Mangkau Bone (1672-1696). Todani ialah anak dari We Tasi’ Arung Rappang ke-10 dan Datu Suppa ke-11 dan La Pabila Datu Citta (Soppeng). Perkawinan ini menyebabkan Citta menjadi palili dari Bone. Dalam lontarak dikisahkan, bahwa Citta dan seluruh isinya dijadikan mahar (Lontarak Akkarungeng Sawitto,18).[11] Mengapakah para bangsawan dan raja-raja di Ajatappareng melakukan perkawinan dengan bangsawan atau Mangkau Bone. Perlu dikemukakan bahwa seusai Perang Makassar (1666-1669) Bone muncul sebagai satu-satunya kerajaan yang memegang peranan politik yang sangat penting. Peranan penting Bone dalam dinamika politik pada masa itu menyebabkan para raja dari sejumlah kerajaan di Sulawesi Selatan melakukan perkawinan dengan bangsawan atau Mangkau Bone. La Patau Mangkau Bone (1696-1714) kawin dengan We Ummung Arung Larompong (Luwu) anak dari Settiaraja Sultan Alimuddin Datu Luwu (Lontarak Akkarungeng Bone,104; Patunru,1989:195).[12] La Patau juga berkahwin dengan I Mariama Karaeng Pattukangan anak dari I Mappadulung Daeng Mattimung Karaeng Sanrabone Sultan Abdul Jalil Sombaya Gowa kesembilan belas (Lontarak Akkarungeng Bone, 106-107;Patunru,1983:70).[13]

Perkawinan para bangsawan atau raja-raja di wilayah Ajatappareng dengan bangsawan atau Datu Soppeng, Matowa Wajo, Sombaya Gowa, Datu Luwu, dan Mangkau Bone menyebabkan para raja di Ajatappareng mempunyai hubungan kekerabatan atau jalinan kekeluargaan dengan semua raja di semua kerajaan di Sulawesi Selatan, baik kerajaan besar mahupun kerajaan kecil atau daerah bawahan. Mengapa demikian, sebagaimana yang berlaku di kelima kerajaan di Ajatappareng membuktikan bahwa para arung atau ketua wanua atau palili mempunyai hubungan kekeluargaan dengan raja yang berkuasa di kerajaan pusat. Hubungan kekelurgaan antara ketua wanua atau palili dengan kerajaan pusat juga berlaku di semua kerajaan besar, termasuk di Luwu, Soppeng, Wajo, Gowa dan Bone. Oleh karena itu, hubungan kekeluargaan melalui perkawinan antara para bangsawan atau para raja dari sejumlah kerajaan senantiasa terjadi. Jadi perkawinan antara bangsawan yang bermotivasikan kekuasaan akhirnya menyebabkan para bangsawan atau para raja di Sulawesi Selatan mempunyai hubungan kekeluargaan antara satu dengan lainnya.

 

Dinamika Politik

Pada masa kekuasaan La Pateddungi Addatuang Sidenreng ke-5 (1508-1546) terjadi konflik antara Sidenreng dengan Luwu. Konflik ini disebabkan Sidenreng berusaha merebut Larompong dan Siwa yang pada masa itu berada di bawah kekuasaan Luwu. Tosengareng Dewaraja Datu Luwu tidak bersedia menyerahkan kedua wanua itu kepada Sidenreng, maka Datu Luwu pun pergi ke Wajo meminta bantuan supaya Wajo membantu Luwu menyerang Sidenreng. Wajo bersedia membantu Luwu menyerang Sidenreng apabila Larompong dan Siwa yang dipersengketakan itu dibagikan kepada Wajo. Syarat ini disetujui oleh Tosengareng Dewaraja Datu Luwu. Pada masa perang Rappang dan Sawitto membantu Sidenreng, tetapi walau bagaimanapun pasukan gabungan Luwu dan Wajo sangat kuat menyebabkan pasukan Sidenreng mengalami kekalahan. Setelah itu pasukan Wajo dan Luwu meneruskan menyerang terhadap pusat Rappang (Abidin,1985:228).[14] Persoalannya mengapakah Sawitto membantu Sidenreng berperang melawan Luwu dan Wajo. Hal ini disebabkan karena isteri dari La Pateddungi yang bernama We Gempo adalah anak kepada La Paleteang Addatuang Sawitto ke-4 (Lontarak Addatuang Sidenreng, 5; Lontarak Akkarungeng Sawitto,14).

Kekalahan tersebut bukan hanya mempengaruhi perdagangan Sidenreng, karena sebagian daerah kekuasaannya di wilayah Pitu ri Awa dan Pitu ri Ase yang merupakan penghasil utama komoditi perdagangan, baik hasil pertanian maupun hasil hutan kini dikuasai oleh Wajo. Tetapi juga berdampak pada perekonomian Suppa dan Alitta, sebab komoditi perdagangan untuk ekspor kedua kerajaan ini senantiasa disuplai dari jaringan perdagangan dengan Sidenreng dan Rappang yang kini berada di bawah kekuasaan Luwu dan Wajo. Bahkan Luwu dan Wajo mengalihkan jaringan perdagangan hasil pertanian dan hasil hutan dari Sidenreng dan Rappang yang selama ini bertumpu pada pantai barat ke pantai timur jazirah selatan Sulawesi dan diperdagangkan ke pasar luar negeri melalui Sungai Cenrana. Itulah sebabnya tidak berapa lama setelah kekalahan Sidenreng dan Rappang, Kerajaan Suppa memprakarsai perjanjian persaudaraan dengan Sawitto untuk mengimbangi kemungkinan penurunan produksi ekspor Sidenreng, terutama karena adanya gejala peningkatan permintaan luar atas barang-barang dari Sulawesi Selatan pada abad ke-16 (Druce, 2009:228-233).[15]Jalinan kerjasama antara Suppa dengan Sawitto itu pula yang kemudian turut melapangkan terbentuknya persekutuan Lima Ajatappareng.

Berdasarkan sumber Portugis diperoleh keterangan bahwa kerajaan-kerajaan di kawasan ini dalam keadaan kurang siap untuk menghadapi kekuatan dari luar (asing), karena terjadi konflik di antara kerajaan-kerajaan lokal di wilayah tersebut (Poelinggomang, 2005a:61).[16] Ketika Antonio de Paiva kembali ke Sulawesi Selatan pada tahun 1544, ia terlebih dahulu singgah di Suppa sebelum melanjutkan perjalanan ke Siang dan Gowa. Diberitakan bahwa Paiva inilah yang membaptis Karaeng Siang yang diberi nama Don Luis, sebagai penghormatan terhadap putera mahkota raja Portugal. Kemudian ia juga yang membaptis Datu Suppa yang diberi nama Don Joao (Pelras,1977:230),[17] sebagai penghormatan terhadap raja Portugal. Sementara sumber lontarak antara lain menyebutkan bahwa ketika La Makkarawi (1519-1546) menjadi Datu Suppa datang seorang Pendeta Kristen Katolik yang bernama Antonio de Paiva dari Ternate pada tahun 1544 (Lontarak Akkarungeng Suppa, 3-4).

Sumber Portugis dan Lontarak Akkarungeng Suppa tersebut, menunjukkan bahwa Datu Suppa yang dibaptis oleh Antonio de Paiva adalah La Makkarawi dan diberi nama Don Joao. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa persekutuan Lima Ajatappareng dibentuk pada masa kekuasaan Datu Suppa La Makkarawi atau sebelum Suppa, Sawitto, Alitta ditaklukkan oleh Raja Gowa Tunipalangga Ulaweng (1546-1565).[18] Sejumlah sumber tentang perjanjian persahabatan atau persaudaraan itu, menyebutkanbahwa persekutuan itu dibentuk di Suppa oleh para penguasa dari lima kerajaan di wilayah Ajatappareng pada awal atau pertengahan abad ke-16. Pada masa itu Kerajaan Suppa dipimpin oleh Datu Suppa yang bernama La Makkarawi, Sawitto dipimpin oleh Addatuang Sawitto yang bernama La Paleteang, Sidenreng dipimpin oleh Addatuang Sidenreng yang bernama La Pateddungi, Rappang dipimpin oleh Arung Rappang yang bernama La Pakallongi, dan Alitta diwakili oleh La Pakallongi sebab pada masa itu ia juga yang berkuasa di Kerajaan Alitta ((Pabitjara, 2006:125).[19]

Meskipun peserta pertemuan pembentukan persekutuan yang mewakili kelima kerajaan di wilayah Ajatappareng, masih terdapat perbedaan dari para sejarawan atau penulis sejarah ( Latif,2012:138).[20] Namun berdasarkan sejumlah Lontarak Akkarung di wilayah tersebut, menunjukkan bahwa Datu Suppa La Makkarawi, Addatuang Sawitto La Paleteang, Addatuang Sidenreng La Pateddungi, dan Arung Rappang La Pakallongi adalah tokoh yang sejaman. Selain itu, juga keempat tokoh sejarah itu berasal muasal dari latar keluarga yang sama (Tomanurung di Bacukiki dan Tomanurung di Lawaramparang-Suppa) dan masih mempunyai ikatan kekeluargaan yang dekat atau memiliki hubungan darah sebagai orang yang bersaudara. Sebab antara La Makkarawi dengan La Paleteang adalah bersaudara seayah (La Putebulu), dan La Makkarawi dengan La Pateddungi adalah bersaudara seibu (We Tappatanah). Sementara antara La Pateddungi dengan La Pakallongi adalah bersaudara sepupu satu kali, sebab kedua orang tua (ayah) mereka bersaudara kandung (La Pasampoi dan La Mariase) (Lontarak Akkarungeng Sidenreng,4-5; Lontarak Akkarungeng Suppa,3-4; Lontarak Akkarung Sawitto,9-11). Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa keempat penguasa itu sebagai tokoh yang berperan di balik pembentukan persekutuan Ajatappareng.

Perjanjian persekutuan kelima kerajaan tersebut, pada hakekatnya bukan hanya bertujuan untuk kepentingan ekonomi dalam arti meningkatkan kesejahteraan bersama, tetapi juga tidak terlepas dari kepentingan politik dan keamanan dalam arti mewujudkan ketenteraman bersama di wilayah Ajatappareng. Adapun isi dari salah satu versi perjanjian persekutuan Ajatappareng, sebagai berikut:

“Adapun persetujuan mereka bersama menegaskan perjanjian yang terdahulu dari orang pendahulunya. Adapun perjanjian kelima raja Ajatap-pareng; Sebuah rumah lima sekatnya, lima petaknya, lima kamarnya, yang mana saja disukai anaknya itulah yang dimasuki, terbuka kelima pintu untuk dilalui anaknya, terbuka juga kelima pintu tersebut dilalui anaknya keluar. Adapun janji kita di Ajatappareng tidak dipaksakan ketidak mauan anaknya, tidak menghalangi keinginannya. Salah satu janji kita di Ajatappareng, menunjukkan garis tanah tidak diberikan perbatasan, mengambil hasil bersama, berusaha bersama-sama, membuat rumah berdampingan, saling mengawinkan anak keturunan. Salah satu janji kita di Ajatappeng, hilaf saling memperingatkan, bersalah saling memaafkan,  yang berujung kebai-kan selalu berulang-ulang diakhiri kebaikan/rebah saling membangunkan hanyut saling mendamparkan, tidak saling membikin kecelakaan, tidak saling menyembunyikan sesuatu kelima berfamili tidak saling tuding menu-ding tidak saling cela mencela/kebaikan kita pelihara bersama kejahatan kita tolak berdua, tidak dinamai kebaikan kalau hanya satu yang diperbaiki, nanti jadi kebaikan setelah memperbaiki kita berlima/kita menganut adat masing-masing, kita mengawasi masalah kita masing-masing/saling percaya mempercayai pada kebenaran, tidak saling bohong-membohongi, satu yang sakit empat yang mengobati, dua sakit tiga mengobati, tiga sakit dua mengobati, sakit empat satu mengobatai, duduk berdampingan kita berlima kita berfamili kita mencari ujung pangkalnya sampai kita dapat, kebaikan pada akhirnya” (Lontarak Akkarungeng Suppa,  28-29).

 

Pembentukan persekutuan Lima Ajatappareng, tidak hanya berpengaruh terhadap  hubungan kekeluargaan atau assiajingeng para penguasa (raja) dan rakyat kelima kerajaan (Suppa, Sawitto, Sidenreng, Rappang, dan Alitta), tetapi juga berpengaruh terhadap dinamika politik dan ekonomi di wilayah Ajatappareng. Perkawinan di antara putra-putri para penguasa dan rakyat kerajaan-kerajaan di wilayah Ajatappareng yang senantiasa terjadi, sehingga hubungan kekerabatan kelima kerajaan itu semakin dekat. Misalnya, perkawinan antara La Cella Mata (putra Addatuang Sawitto La Paleteang) dengan Lampeweluwa (putri Datu Suppa La Makkarawi) dan We Gempo (putri Addatuang Sawitto La Paleteang) dengan La Pateddungi (putra Addatuang Sidenreng La Pasampoi). Itulah sebabnya tidak sedikit tercatat seorang raja, bukan hanya menjabat sebagai raja pada satu kerajaan, tetapi juga terkadang pada dua atau tiga dan bahkan pada kelima kerajaan di wilayah Ajatappareng, misalnya We Pasulle menjadi raja pada dua kerajaan yaitu sebagai Datu Suppa dan Addatuang Sawitto, La Pancai Tana menjadi raja pada tiga kerajaan (Datu Suppa, Addatuang Sawitto, dan Arung Rappang), dan Todani menjadi raja pada lima kerajaan (Addatuang Sidenreng, Arung Rappang, Datu Suppa, Arung Alitta, dan Addatuang Sawitto).

Sementara pengaruhnya terhadap perkembangan politik dan ekonomi pada kerajaa-kerajaan di wilayah Ajatappareng, tampaknya yang patut mendapat perhatian adalah Kerajaan Suppa dan Sawitto. Sebab, kedua kerajaan ini mengalami per-kembangan sangat signifikan, baik dalam aspek politik maupun aspek ekonomi di wilayah Ajatappareng pada awal abad ke-16. Atas dukungan dari kerajaan lain yang tergabung dalam persekutuan Lima Ajatappareng, Kerajaan Suppa dan Sawitto berhasil membentuk kekuatan maritim yang tangguh dan berpengaruh di sepanjang pesisir barat Sulawesi pada permulaan abad ke-16 (Druce,2009:233-234). Dalam sumber lontarak antara lain disebutkan bahwa  Suppa dan Sawitto berhasil menaklukkan sejumlah negeri dan mengambil seqbukati (pampasan perang atau upeti) terhadap Leworeng, Lemo-lemo, Bulu Kapa, Bonto-bonto, Bantaeng, Segeri, dan Passokkoreng. Selain itu, mereka juga menakluk-kan Baroko, Toraja, Mamuju, Kaili, Kali dan Toli-toli (Mikrofilm Lontarak, Rol. 60/7:40).

Gambaran singkat tersebut menunjukkan bahwa pengaruh dan wilayah kekuasaan Kerajaan Suppa dan Sawitto, tidak hanya meliputi sejumlah daerah atau negeri di pesisir barat Sulawesi Selatan, tetapi juga sejumlah negeri di pesisir barat Sulawesi Barat dan Sulawesi Tengah. Bahkan pengaruh dan wilayah kekuasaan kedua kerajaan ini, juga mencakup sejumlah negeri di jantung pedalaman Sulawesi  yang membentang dari Mamuju hingga perbatasan Luwu. Perluasan wilayah kekuasaan dan pengaruh tersebut, tentu tidak terlepas dari upaya untuk mengontrol perdagangan di sepanjang pantai barat Sulawesi. Oleh karena itu, diperlukan kekuatan maritim yang tangguh, sehingga daerah taklukan seperti Mandar misalnya diperintahkan untuk membuatkan perahu Datu Suppa La Makkarawi yang bernama Soena Gading, perahu Arung Parengki yang bernama Lapewajo, dan perahu Addatuang Sawitto La Paleteang yang bernama Lapenikkeng (Mikrofilm Lontarak, Rol.50/10:52) . Menurut Antonio de Paiva bahwa Datu Suppa La Makkarawi dapat menyiapkan sebuah armada sekitar dua puluh kapal dalam waktu singkat dan berlayar sekitar ratusan kilometer di sepanjang pesisir barat Sulawesi Selatan. Bahkan Paiva menggambarkan Datu Suppa La Makkarawi sebagai seorang raja yang terkenal suka berperang dan amat ditakuti di daerah sekitarnya (Wicki,1955; 251-305;Pelras, 1977:241-250).

Selain sebagai pembuat perahu, pengabdian (kasuwiyang) Mandar terhadap persekutuan Ajatappareng lainnya adalah membuat sejumlah rumah kediaman raja atau istana kerajaan di wilayah Ajatappareng. Bangunan itu antara lain langkanae (istana) di Suppa yang bernama Lamalaka, salassae (istana) di Sawitto yang bernama Lamancapai, saworajae (istana) di Alitta yang bernama Labeama, istana di Rappang, dan istana Sawolocie di Sidenreng. Dikisahkan dalam lontarak bahwa tiang istana (langkanae) di Suppa berasal dari Malaka dan mendarat di Ujung Lero. Itulah sebabnya istana Datu Suppa La Makkarawi disebut dengan Lamalaka (Mikrofilm Lontarak, Rol.50/10:52).[21] Hal ini tidak hanya dapat bermakna bahwa pembangunan istana itu adalah hasil dari jalinan kerjasama antara Suppa dan Malaka, tetapi juga dapat dimaknai bahwa kemajuan Suppa tidak terlepas dari kehadiran atau hubungan perdagangan dengan para pedagang Melayu dari Malaka. Oleh karena sejak Malaka jatuh ke tangan Portugis, tidak sedikit pedagang terutama para pedagang Melayu yang meninggalkan kota itu dan mengungsi ke sejumlah bandar niaga di kawasan timur Nusantara, termasuk Siang, Suppa, dan Bacukiki di jazirah selatan Sulawesi ((Poelingomang, 2002:23; Pelras, 1973: 47; Andaya, 2004: 26). [22]

Kehadiran pedagang-pedagang Melayu tersebut, tidak hanya semakin menambah kesibukan kegiatan perdagangan pada sejumlah bandar niaga di jazirah selatan Sulawesi, termasuk Suppa dan Bacukiki. Tetapi kehadiran mereka juga semakin melapangkan atau membuka kesempatan bagi perkembangan dan kemajuan bandar niaga itu dan kerajaan-kerajaan di wilayah Ajatappareng. Pembangunan sejumlah istana (langkanae, salassae, saworajae) di Suppa, Sawitto, Sidenreng, Rappang, dan Alitta, merupakan suatu bukti kemajuan atas persekutuan kerajaan-kerajaan di wilayah Ajatappareng pada waktu itu. Namun kemajuan dan pengembangan bandar niaga itu pula yang menjadi penyebab mereka berkonflik dengan Kerajaan Gowa yang senantiasa pula memperluas pengaruh dan wilayah kekuasaan di sepanjang pesisir pantai barat Sulawesi Selatan. Sebagaimana yang telah disebutkan bahwa setelah Tumapa’risi Kallonna (1510-1546) diangkat menjadi Raja Gowa ke-9, ia senantiasa memperluas wilayah dan pengaruh kekuasaannya. Perluasan wilayah kekuasaan itu, tampaknya berkaitan dengan usaha memajukan bandar niaga Sombaopu. Itulah sebabnya sejumlah kerajaan pesisir yang bergiat dalam perdagangan diperangi. Tindakan penaklukan itu terkandung harapan bahwa kerajaan-kerajaan itu akan mengalihkan kegiatan mereka ke bandar niaga kerajaan itu (Patunru, 1983:12; Poelinggomang, 2005a: 55; Wolhoff, tt: 25-27).[23]

Ketika Tunipallangga Ulaweng menduduki tahta Kerajaan Gowa-Tallo(1546-1565), ia melaksanakan lagi penaklukan terhadap sejumlah negeri atau kerajaan di jazirah selatan Sulawesi, antara lain Siang, Suppa, Bacukiki, Sawitto, Alitta, dan Nepo (Mandar). Juga terhadap Bajeng, Lengkese, Polombangkeng, Lamuru, Soppeng, Wajo, Lamatti, Duri, Panaikang, Bulukumba, dan sejumlah kerajaan kecil di sekitar Bone, serta kerajaan-kerajaan di daerah Mandar. Bahkan empat negeri orang Mandar dijadikan atarikale, yaitu Bungka, Mapilli, Podapoda, dan Campalagiang (Wolhoff, tt:26-27; Amir, 2011:201; Patunru, 1983: 12-13). Pada dasarnya kerajaan-kerajaan itu melakukan hubungan niaga dengan Kerajaan Gowa-Tallo, tetapi mereka tetap giat mengembangkan bandar niaga mereka masing-masing. Keadaan itu dipandang menghambat usaha untuk mengembangkan dan memajukan bandar niaga Sombaopu. Itulah sebabnya kerajaan-kerajaan pesisir yang bergiat dalam perdagangan maritim terpaksa ditaklukkan. Berbeda dengan pendahulunya (Tumapa’risi Kallonna), Raja Gowa-Tallo, Tunipalangga Ulaweng dinyatakan memaksakan kerajaan-kerajaan yang ditaklukan untuk menyatakan ikrar “makkanama nu mammio” (aku bertitah dan kamu taati) dan mengangkat orang dan barang dari negeri taklukan itu ke bandar niaga Kerajaan Gowa-Tallo (Poelinggomang, 2005a:55; Wolhoff, tt:25-26; Mattulada,1982:13; Sagimun, 1986: 56).

Kebijakan itu tidak hanya menuntut kerajaan yang ditaklukan untuk berjanji menaati perintahnya, tetapi juga bertujuan memudarkan dan melenyapkan bandar niaga kerajaan-kerajaan lain di wilayah Sulawesi Selatan. Pengangkutan orang dan barang ke Gowa-Tallo menyebabkan kerajaan-kerajaan taklukan tidak dapat mengembangkan bandar niaga mereka. Hal ini tidak secara langsung memaksa pedagang-pedagang yang sebelumnya menjadikan Siang, Suppa, Bacukiki, Sidenreng, Nepo, dan lainnya meng-alihkan kegiatan mereka ke bandar niaga Kerajaan Gowa-Tallo. Penduduk wilayah taklukan yang diangkut itu, ditempatkan di daerah antara pelabuhan Sombaopu dan Tallo. Demikian pula para pedagang sehingga kedua kota pelabuhan itu akhirnya menyatu karena sepanjang kawasan pesisir antara muara Sungai Jeneberang di selatan hingga pada muara Sungai Bira di bagian utara telah berjejer pemukiman pedagang dari berbagai daerah. Itulah sebabnya kedua kota pelabuhan itu dipandang telah menjadi satu kota pelabuhan yang kemudian disebut Makassar (Poelinggomang, 2005b:3; Poelinggomang, dkk., 2005a:56).

Kapan Tunipalangga Ulaweng menaklukkan Suppa dan Sawitto, belum dapat dipastikan. Berdasarkan pemberitaan Portugis bahwa Datu Suppa La Makkarawi bersama Antonio de Paiva melakukan perjalanan ke Gowa pada tahun 1544 (Pelras, 1977:230-233).[24] Sementara dalam Lontarak Attoriolong Suppa dan Sawitto yang mengisahkan tentang perjalanan Datu Suppa La Makkarawi ke Gowa tersebut, antara lain disebutkan bahwa:

“Pasal yang menjelaskan Attoriolong di Suppaq dan di Sawitto ketika masih jaya. Puwattaq Makkarawi melakukan perjalanan, dan bertemulah dengan  Karaeng Gowa yang bernama Tunipalangga. Kata yang diucapkan Karaeng: “Apa maksud kedatanganmu, Saudara?” Berkatalah Makkarawi: “Aku hanya pergi berjalan-jalan, Saudara!  Sudah lama rasanya saya mengabdi kepada negerimu di Suppaq.” Bertanya lagi Karaeng: “Apakah engkau mempunyai anak perempuan, Saudara?”Jawaban Makkarawi ialah: “Ada”. Berkatalah Karaeng Tunipallangga: “Baik kiranya jika kita berbesan, Saudara! Agar  tanah Makassar dan tanah Suppaq dapat menjalin keke-rabatan”. Mengangguklah Makkarawi, dan pulanglah ke kampungnya di Suppaq.Karaeng lalu menyuruh pergi mengantar lamaran bersama dengan penjaga. Diterimalah hantaran lamaran dan Puwattaq We Lampeweluwa menerima lamaran” (Mikrofilm Lontarak, Rol. 30/16:107; Lontarak Sidenreng, 157).[25]

 

Berdasarkan sumber lontarak tersebut, dapat dikatakan bahwa ketika Datu Suppa La Makkarawi mengunjungi Kerajaan Gowa-Tallo, ia bersepakat dengan Tunipalangga Ulaweng untuk menjalin hubungan kekeluargaan dan persaudaraan, yaitu mengawinkan puteri La Makkarawi yang bernama We Lampeweluwa dengan putera Raja Gowa. Lebih lanjut disebutkan dalam lontarak, bahwa sebelum pesta perkawinan dilaksanakan, maka datanglah Addatuang Sawitto La Paleteang ke Suppa melamar We Lampeweluwa untuk dikawinkan dengan putranya yang bernama La Cella Mata. La Makkarawi menerima lamaran La Paleteang dan membatalkan secara sepihak lamaran dari pihak Tunipalangga Ulaweng, karena yang datang melamar adalah saudaranya dari lain ibu. Tidak berapa lama kemudian We Lampeweluwa pun kawin dengan La Cella Mata saudara sepupu satu kalinya. Mendengar bahwa We Lampeweluwa telah kawin dengan laki-laki lain, maka Tunipalangga Ulaweng pun mengerahkan tentaranya untuk menaklukkan Suppa dan Sawitto (Lontarak Sidenreng,157-158; Mikrofilm Lontarak Rol. 30/16:107). Atas penaklukan itu, Datu Suppa We Lampeweluwa dan suaminya La Cella Mata serta Addatuan Sawitto La Paleteang dan isterinya bersama puluhan orang lainnya dibawa ke Makassar untuk dijadikan tawanan perang (Lontarak Akkarungeng Sawitto, 11-13; Lontarak Akkarungeng Suppa,  3; Latif, 2012:135-136).[26]

Patut dikemukakan bahwa Datu Suppa La Makkarawi wafat pada tahun 1547. Ia kemudian digantikan oleh puterinya yang bernama We Lampeweluwa menjadi Datu Suppa (Wicki, Joseph, 1955: 420-422; Pelras, 1977: 233-235). Itulah sebabnya ketika Suppa dan Sawitto ditaklukkan oleh Kerajaan Gowa-Tallo, nama La Makkarawi tidak tercatat sebagai salah seorang yang dibawa ke Makassar sebagai tawanan (Mikrofilm Lontarak, Rol. 30/16:116). Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa pada masa kekuasaan We Lampeweluwa di Suppa, Tunipalangga Ulaweng menaklukkan Suppa dan Sawitto. Terlepas dari perbedaan sejumlah sumber mengenai waktu penaklukan Gowa-Tallo terhadap Suppa dan Sawitto (Latif, 2012:135; Pelras,1977:256),[27] jika disimak sejumlah sumber lontarak tentang peristiwa itu, maka dapat diperkirakan bahwa Suppa dan Sawitto berhasil ditaklukkan oleh Gowa-Tallo pada tahun 1553. Hal didasarkan atas Lontarak Attoriolong Sappa dan Sawitto, yang antara lain mengisahkan bahwa “Macai’ni Karaengnge/ mangaru’ni bate’-bate’/ rinorini Suppa/ Sawitto/ tenriulle betai/ wekka pitu  mani/ naribeta/ Suppa/ Sawitto”(Mikrofilm Lontarak Attoriolong Suppa dan Sawitto,Rol. 30/16:107; Lontarak We Lampeweluwa, Rol. 76/19: 157-160).[28]

Selain itu, persoalan lainnya adalah mengapa Gowa-Tallo menaklukkan Suppa dan Sawitto. Apakah karena penolakan lamaran perkawinan itu semata sebagaimana yang disebutkan dalam lontarak. Tampaknya bukan hanya itu, sebab sejumlah sumber menyebutkan bahwa sebab-musabab Gowa-Tallo melakukan penaklukan terhadap Suppa dan Sawitto, karena kedua kerajaan itu memiliki sawah yang luas dan ramai didatangi orang Melayu. Bahkan para pedagang Melayu itu tidak sedikit yang berpindah dari Malaka setelah kota dagang itu ditaklukkan oleh Portugis dan  menjadikan Suppa, Bacukiki, dan Sawitto sebagai koloni dagang mereka. Itulah sebabnya setelah penaklukan tersebut, para pedagang Melayu yang berpengalaman dalam perdagangan antara bangsa yang bermukim di Suppa, Bacukiki, dan Sawitto dibawa ke Makassar. Oleh karena pengalaman mereka dalam bidang perdagangan dan juga produksi beras dari wilayah Ajatappareng sangat diperlukan oleh Gowa-Tallo untuk pengembangan bandar niaga Makassar yang pada masa itu telah masuk dalam jaringan perdagangan internasional (Andaya, 2004:32-34; Latif,2012:137; Poelinggomang, 2005a: 55).

Sementara sumber lain menyebutkanbahwa penaklukan Gowa-Tallo terhadap Suppa dan Sawitto, karena kedua kerajaan pesisir itu senantiasa pula bergiat dalam perdagangan maritim dan mengembangkan bandar niaga mereka. Oleh karena keadaan itu dipandang sebagai penghambat dalam usaha pengembangan dan memajukan bandar niaga Makassar, sehingga Tunipalangga Ulaweng menaklukkan kedua kerajaan yang memegang peranan penting dalam perdagangan maritim tersebut (Poelinggomang, 2005a:56; Mattulada,2011:9; Poelinggomang, 2005b:3). Namun yang tidak kalah pentingnya untuk dikemukakan bahwa sejak terbentuknya persekutuan Ajatappareng, Suppa bukan hanya menjadi bandar niaga komoditi eksport terutama beras dari wilayah Ajatappareng, tetapi Suppa dan Sawitto juga merupakan kekuatan maritim yang tangguh dan berhasil menaklukkan sejumlah daerah pesisir di sepanjang pantai barat Sulawesi (Druce, 2009: 233).[29] Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa penaklukan Gowa-Tallo terhadap Suppa dan Sawitto karena kedua kerajaan ini merupakan salah satu pesaing dalam pergumulan mengontrol perdagangan maritim dan dalam perebutan hegemoni kekuasaan di pantai barat jazirah selatan Sulawesi pada paruh pertama abad ke-16.

Setelah penaklukan Tunipalangga Ulaweng terhadap Suppa, Sawitto, dan Alitta, maka dapat dikatakan bahwa seluruh wilayah Ajatappareng telah berada di bawah kekuasaan Kerajaan Gowa-Tallo. Sebab kerajaan-kerajaan lainnya yang tergabung dalam persekutuan Ajatappareng, seperti Sidenreng dan Rappang telah ditaklukkan pada masa kekuasaan Raja Gowa ke-9, Tumapa’risi Kallonna. Bahkan Sidenreng dan Rappang kemudian turut membantu Gowa-Tallo dalam penaklukan terhadap Otting, Bulucenrana, dan Wajo,  sehingga Sidenreng tercatat sebagai sekutu setia Gowa-Tallo dalam perkembangannya. Untuk lebih mengukuhkan kekuasaannya di wilayah Ajatappareng, Tunipalangga Ulaweng mengangkat puterinya yang bernama We Tosappai menjadi Datu Suppa. We Tosappai pun kemudian dikawinkan dengan La Patiroi Addatuang Sidenreng. Ketika We Tosappai mangkat, ia digantikan oleh La Pancaitana (putra La Cella Mata dan We Lampeweluwa) sebagai Datu Suppa (Lontarak Akkarungeng Suppa, 4-5; Lontarak Akkarungeng Sidenreng, 5-6).

Sementara di Kerajaan Sawitto, La Paleteang digantikan oleh putrinya yang bernama We Gempo sebagai Addatuang Sawitto.We Gempo kemudian digantikan oleh saudaranya yang bernama La Cella Mata sebagai Addatuang Sawitto. La Cella Mata selanjutnya digantikan oleh putranya yang bernama La Pancaitana sebagai Addatuang Sawitto yang juga merangkap sebagai Datu Suppa. La Pancaitana kemudian digantikan oleh putrinya yang bernama We Passulle Datu Bissue sebagai Addatuang Sawitto. Di Kerajaan Alitta pun terjadi suksesi kepemimpinan setelah berada di bawah kekuasaan Gowa-Tallo. We Cella digantikan oleh kemanakannya yang bernama La Gojeng (putra Addatuang Sidenreng La Patiroi dan Datu Suppa We Tosappai) sebagai Arung Alitta. Oleh karena La Gojeng tidak mempunyai keturunan, maka ia kemudian digantikan oleh La Masspora (putra mantan Arung Alitta We Cella) sebagai Arung Alitta (Lontarak Akkarungeng Sawitto,11-16; Lontarak Akkarungeng Alitta,1; Lontarak Akkarungeng Suppa,4-5).

Suksesi kepemimpinan juga terjadi di Kerajaan Sidenreng dan Rappang sejak berada di bawah kekuasaan Gowa-Tallo. La Pateddungi digantikan oleh putranya yang bernama La Patiroi sebagai Addatuang Sidenreng. La Patiroi kemudian kawin dengan putri Raja Gowa-Tallo, Tunipalangga Ulaweng yang bernama We Tosappai Datu Suppa. Selain itu, La Patiroi juga kawin dengan putri Arung Rappang La Pakallongi yang bernama We Dangkawu, dan putri Arung Alitta La Massora yang bernama We Tenrilekka. Sementara di Kerajaan Rappang, La Pakallongi digantikan oleh putrinya yang bernama We Dangkawu sebagai Arung Rappang. We Dangkawu kemudian digantikan oleh putranya yang bernama La Tonang sebagai Arung Rappang. La Tonanng selanjutnya digantikan oleh putrinya yang bernama We Tasi sebagai Arung Rappang (Lontarak Akkarungeng Sidenreng,5-8; Mukhlis, dkk., 1985:112-116; Latif, 2012:336-346).

 

PENUTUP

Hubungan kekeluargaan melalui perkawinan antara satu raja dengan raja lainnya di wilayah Ajatappareng telah terjalin sejak pertengahan abad ke-15. We Teppulinge Datu Suppa ke-1 (1441–1466) merangkangkap sebagai Arung Rappang ke-1 kawin dengan La Bangenge Tomanurung di Bacukiki Addatuang Sawitto ke-1 (1441-1466). Songkopulawengnge Addituang Sidenreng ke-2 kawin dengan We Pawawoi Arung Rappang ke-2. We Pawawoi ialah anak dari La Bangenge Addatuang Sawitto ke-1 dan We Teppulinge Datu Suppa ke-1 dan Arung Rappang ke-1. We Pawawoi digantikan oleh putrinya yang bernama We Maqdupa menjadi Arung Rappang ke-3. Sementara Arung Alitta ke-1 yang bernama We Cella adalah anak kepada La Cella Mata Addatuang Sawitto ke-6 dan We Lampeweluwa Datu Suppa ke-5.

Adapun perkawinan yang dilakukan oleh Datu Suppa, Addatuang Sawitto, dan Addatuang Sidenreng dengan raja-raja di luar Ajatappareng mulai dilakukan dengan Datu Soppeng. Terdapat banyak perkawinan di luar Ajatappateng yang dilakukan dengan kerajaan-kerajaan yang mempunyai pengaruh politik besar di Sulawesi Selatan. Pada mulanya perkawinan itu dilakukan dengan Soppeng, Gowa, dan Wajo pada pertengahan abad ke-15. Setelah Perang Makassar yang dimenangi oleh Belanda yang bersekutu dengan Bone, banyak raja di wilayah Ajatappateng yang melakukan perkawinan dengan bangsawan tinggi Bone, Wajo, dan Tanete.

Perkawinan antara raja dilakukan dengan maksud memperkokoh status kebangsawanan generasi Tomanurung, karena hanya bangsawan maddara takku atau berdarah murni turunan Tomanurung yang boleh dilantik menjadi raja. Tujuan lainnya daripada perkawinan antara kerajaan adalah memperluas pengaruh politik melalui hubungan kekeluargaan antara raja. Hubungan kekeluargaan tidak dibedakan antara garis keturunan dari pihak ayah dengan garis keturunan dari pihak ibu, karena baik laki-laki maupun perempuan dapat dilantik menjadi raja dan tidak mesti anaknya yang menggantikan ayah atau ibunya. Raja yang berkuasa dapat mencalonkan siapa di antara bangasawan tinggi yang akan dilantik menggatikan dirinya.

Hubungan kekeluargaan antarkerajaan di wilayah Ajatappareng tersebut, melapangkan terbentuknya persekutuan Lima Ajatappareng dalam perkembangannya. Persekutuan yang terbentuk pada abad ke-16 tersebut, bukan hanya dimaksudkan untuk semakin mendekatkan hubungan kekeluargaan atau memperkokoh jalinan kekerabatan antarkerajaan, tetapi juga bertujuan untuk menjalin kerjasama dalam rangka mewujud-kan kesejahteraan dan ketenteraman bersama di wilayah Ajatappareng. Sejak terben-tuknya persekutuan ini bukan hanya semakin mengukuhkan kedudukan Suppa sebagai bandar niaga komoditi ekspor terutama beras di wilayah Ajatappareng, tetapi juga melapangkan terbangunnya kekuatan maririm yang tangguh dan berhasil menaklukkan sejumlah daerah pesisir di sepanjang pantai barat Sulawesi. Itulah sebabnya bandar niaga ini semakin ramai didatangi oleh para pedagang, termasuk pedagang Melayu sehingga wilayah Ajatappareng memiliki kedudukan penting dalam percaturan politik dan perdagangan maritim di Sulawesi Selatan pada abad ke-16.

Namun kemanjuan itu pula yang menjadi penyebab mereka berkonflik dengan Kerajaan Gowa yang senantiasa pula bergiat dalam memperluas pengaruh dan wilayah kekuasaan di Sulawesi Selatan sejak abad ke-16. Konflik dengan Kerajaan Gowa itu, mengantarkan seluruh wilayah Ajatappareng berada di bawah kekuasaan Gowa. Meskipun demikian, perjanjian yang mendasari terbentuknya persekutuan Lima Ajatappareng juga mengandung nilai persaudaraan, kesetaraan, kebersamaan, toleransi, persatuan dan kesatuan di antara kelima kerajaan di wilayah Ajatappareng. Bahkan lebih dari itu karena perjanjian itu mengandung sejumlah nilai-nilai luhur yang mencakup hampir seluruh aspek kehidupan masyarakat di dalam membangun kehidupan bersama di wilayah Ajatappareng. Hal inilah yang mendasari sehingga lahir sejumlah perjanjian antarkerajaan yang dikenang oleh masyarakat sebagai suatu konsensus dalam menata kehidupan bersama dan hubungan antarkerajaan yang memandang kerajaan lain sebagai bagian yang terpisahkan dari keberadaannya.

 

 

 

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Taufik. 1985. Sejarah Lokal di Indonesia. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Abidin, Andi Zainal Farid. 1985. Wajo Abad XV-XVI: Suatu Penggalian Sejarah Terpendam Sulawesi Selatan dari Lontarak. Bandung: Alumni.

Amier, Sjariffudin, 1989. Perjanian Antarkerajaan Menurut Lontarak: Mengungkap Salah Satu Aspek Hukum Internasioanl Adat Abad XV-XVIII di Sulawesi Selatan. Ujung Pandang: Disertasi Doktor Fakultas Pascasarjana Universitas Hasanuddin.

Amir, Muhammad, 2011. Konflik Balanipa-Belanda di Mandar 1862-1872. Makassar: Tesis Pascasarjana Unhas.

Amir, Muhammad dan Sahajuddin, 2011. Konfederasi Mandar: Sejarah Terbentuknya Persekutuan Antarkerajaan di Sulawesi Barat. Makassar: de la macca.

Andaya, Leonard Y. 2004. Warisan Arung Palakka: Sejarah Sulawesi Selatan Abad ke-17. Makassar: Ininnawa.

Caldwell, Ian. 1988. “South Sulawesi a.d. 1300-1600: Ten Bugis Texts”. Tesis Ph.D. Australian National University.

Caldwell, Ian. 2005. “Kronologi Raja-Raja Luwu’ Hingga Tahun 1611”. Dalam Kathryn Robinson dan Mukhlis Paeni. Tapak-Tapak Waktu. Kebudayaan, Sejarah, dan Kehidupan Sosial di Sulawesi Selatan. Makassar: Ininnawa.

Druce, Stephen C. 2009. The Lands West of the Lakes: A History of the Ajatappareng Kongdoms of South Sulawesi 1200 to 1600 CE. Leiden: KITLV.

Abidin, Andi Zainal Farid. 1985. Wajo Abad XV-XVI: Suatu Penggalian Sejarah Terpendam Sulawesi Selatan dari Lontarak. Bandung: Alumni.

Kartodirdjo, Sartono. 1992. Pendekatan Ilmu Sosial Dalam Metodologi Sejarah. Jakarta: Gramedia

Micro Film Lontarak, Rol. 30/16. Badan Arsip dan Perpustakaan Provinsi Sulawesi Selatan.

Microfilm Lontarak, Rol. 50/10. Badan Arsip dan Perpustakaan Provinsi Sulawesi Selatan.

Microfilm Lontarak, Rol. 60/7. Badan Arsip dan Perpustakaan Provinsi Sulawesi Selatan.

Microfilm Lontarak, Rol. 76/19. Badan Arsip dan Perpustakaan Provinsi Sulawesi Selatan.

Latif, Abd. 2011. Konfederasi Ajatappareng 1812-1906, Sejarah Sosiopolitik Orang Bugis di Sulawesi Selatan. Bangi: Disertasi Fakulti Sosial dan Kemanusian Universiti Kebangsaan Malaysia.

Lontarak Akkarungeng Alitta. Koleksi Yayasan Kebudayaan Sulawesi Selatan.

Lontarak Akkarungeng Bone. Koleksi Yayasan Kebudayaan Sulawesi Selatan.

Lontarak Akkarungeng Sawitto. Koleksi Yayasan Kebudayaan Sulawesi Selatan.

Lontarak Addatuang Sidenreng. Koleksi Yayasan Kebudayaan Sulawesi Selatan.

Lontarak Akkarungeng Suppa. Koleksi Yayasan Kebudayaan Sulawesi Selatan.

 

Lontarak Attoriolong Suppa dan Sawitto, Microfilm Lontarak: Rol. 30. Koleksi Badan Arsip dan Perpustakaan Provinsi Sulawesi Selatan.

Lontarak We Lampeweluwa,  Microfilm Lontarak: Rol. 76. Koleksi Badan Arsip dan Perpustakaan Provinsi Sulawesi Selatan.

Mattulada, 1982. Menelusuri Jejak Kehadiran Makassar Dalam Sejarah. Ujung Pandang: Bhakti Baru-Berita Utama.

Mattulada, 1989. Sejarah, Masyarakat, dan Kebudayaan Sulawesi Selatan. Makassar: Hasanuddin University Press.

Mattulada, 2011. Menelusuri Jejak Kehadiran Makassar Dalam Sejarah. Yogyakarta: Ombak.

Morris,D.F. van Braam1890.Nota van Toelichting op het Contract, Gesloten met het Landschap Soeppa (Adjatapparang) op den 18Ten Juli 1890, dalam Tijdschrift voor Indische Taal-, Land-en Volkenkunde (TBG), Tahun 1893, Jilid XXXVI.

Morris, D.F. van Braam. 1890. Nota van Toelichting op het Contract Gesloten met het Landschap Sawietto (Adjatapparang) op den 30Sten October 1890, dalam Tijdschrift voor Indische Taal-, Land-en Volkenkunde (TBG), Tahun 1893, Jilid XXXVI.

Morris, D.F. van Braam, 1890.Nota van Toelichting op het Contract Gesloten met het Landschap Alietta (Adjatapparang) op den 20Ten Juli 1890, dalam Tijdschrift voor Indische Taal-, Land-en Volkenkunde (TBG), Tahun 1893, Jilid XXXVI.

Pabitjara, 2006. Persekutuan Limae Ajatappareng Abad XVI. Makassar: Tesis Pascasarjana Universitas Negeri Makassar.

PaEni, Mukhlis, dkk., 1985. Sejarah Kabupaten Daerah Tk. II Sidenreng Rappang. Ujung Pandang: Laporan Hasil Penelitian.

PaEni, Mukhlis. 1986. “Landasan Kulutural dalam Pranata Sosial Bugis Makassar”, dalam Dinamika Bugis-Makassar. Ujung Padang: Pusat Latihan Penelitian Ilmu-Ilmu Sosial.

PaEni, Mukhlis, dkk., 2002. Batara Gowa, Messianisme Dalam Gerakan Sosial di Makassar. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Patunru, Abd. Razak Daeng, 1983. Sejarah Gowa. Ujung Pandang: Yayasan Kebudayaan Sulawesi Selatan.

Patunru, Abd. Razak Daeng, 1989. Sejarah Bone. Ujung Pandang: Yayasan Kebudayaan Sulawesi Selatan.

Patunru, Abd. Razak Daeng. 2004. Bingkisan Patunru, Sejarah Lokal Sulawesi Selatan. Makassar: Puskit dan Lephas Universitas Hasanuddin.

Pelras, Christian. 2006. Manusia Bugis. Jakarta: Forum Jakarta-Paris EFEO.

Pelras, Christian, 1973. “Sumber Kepustakaan Eropa Barat Mengenai Sulawesi Selatan”, dalam Buku Peringatan; Dies Natalis Ke-XXI, Fakulatas Hukum, Universitas Hasanuddin (3 Maret 1952 – 3 Maret 1973), Ujung Pandang: Unhas.

Pelras, Christian, 1977, “Les Premieres Donnees Occidentales Concernant Celebes-Sud”, dalam Bijdragen tot de Taal-, Land-en Volkenkunde (BKI), 133 (2-3), s. Gravenhage: Martinus Nijhoff, hlm. 227-260.

Pemda Sulawesi Selatan, 1991. Sejarah Perkembangan Pemerintahan Departemen Dalam Negeri Di Propinsi Daerah Tingkat I Sulawesi Selatan. Ujung Pandang: Pemerintah Propinsi Daerah Tk. I Sulawesi Selatan.

Poelinggomang, Edward L. 2002. Makassar Abad XIX, Studi Tentang Kebijakan Perdagangan Maritim. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia (KPG).

Poelinggomang, Edward L., 2003. Budaya Poliitik Lokal Dalam Membangun Integrasi Bangsa. Makalah pada Seminar “Integrasi Bangsa” dengan tema Mengenal Budaya Lokal dalam Membangun Integrasi Bangsa, yang diselenggarakan di Makassar oleh Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional Makassar pada tanggal 5 Juli 2003.

Poelinggomang, Edward L. 2004. Perubahan Politik dan Hubungan Kekuasaan Makassar 1906-1942. Yogyakarta: Ombak.

Poelinggomang, Edward L., dkk., 2005, Sejarah Sulawesi Selatan Jilid 1. Makassar: Balitbangda Provinsi Sulawesi Selatan.

Poelinggomang, Erdawrd L., 2005. Sejarah Bandar Makassar. Makalah pada Seminar “Bandar Lama Makassar”, yang dipresentasikan di Aula Pelindo IV, Makassar, tanggal 11 Juni 2005.

Rasyid, Darwas. 1985. Sejarah Kabupaten Daerah Tk. II Pinrang. Ujung Pandang: Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional.

Sagimun, 1986. Sultan Hasanuddin Menentang VOC. Jakarta: Depdikbud.

Wicki, Joseph, 1955. Documenta Indica, II – Documenta Indica: Monumenta Societatis Jesu a patribus eusdem Societatis editati, Vol. II: 1550-1553. Roma

Wolhoff, G. J., Sedjarah Gowa, “Bingkisan Seri A”. Makassar: Yayasan Kebudayaan Sulawesi Selatan.

Zuhdi, Susanto, 2003. Penelitian Bidang Sejarah di Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional: Masalah dan Prospeknya. Makalah pada Seminar Hasil Penelitian Staf Peneliti Bidang Sejarah BKSNT Se- Indonesia, yang diselenggarakan di Jakarta, 7 Juni 2003.

 

 

 

 

 

 

[1]Perjanjian antara Kerajaan Bone dengan Kerajaan Gowa misalnya, terdapat pada Perjanjian Tamalate dan Perjanjian Saleppa. Perjanjian Tamalate atau Uluadae ri Tamalate (Bugis) atau Ulukanaya ri Tamalate (Makassar), juga dekenal dengan “Sitettongenna Sudanga  na La Teariduni”. Ikrar yang sama juga dijumpai antara Kerajaan Bone dengan Kerajaan Suppa, Bone dengan Luwu, Bone dengan Wajo, Bone dengan Balanipa (Mandar), Gowa dengan Soppeng, Gowa dengan Luwu, Gowa dengan Balanipa (Mandar), dan antara kerajaan-kerajaan lainnya (Poelinggomang, 2003; Amir dan Sahajuddin, 2011).

[2] Dalam naskah-naskah lokal di Sulawesi Selatan yang disebut dengan lontarak (naskah yang semula ditulis pada daun lontar), Tomanurung sering dikisahkan orang yang turun dari kayangan. Namun ia juga disebutkan bahwa dikatakan Tomanurung karena tidak diketahui nama dan asal usulnya.

[3]Sebetulnya addatuang pertama Sawitto La Bangenge sampai addatuang ketujuh La Pancaitana bergelar addaowang. Istilah addatuang baru mulai digunakan oleh We Passulle Datu Bissue Addatuang Sawitto kedelapan, karena ia yang mula mengislamkan Sawitto.

[4]Sebetulnya addatuang pertama Sidenreng Tomanurung di Bulu Lowa sampai addatuang kelima La Pateddungi bergelar addaowang. Istilah addatuang mulai digunakan oleh La Patiroi Addatuang Sidenreng keenam, karena ia yang mula mengislamkan Sidenreng. La Patiroi/ maggangkani riyaseng addaowang/ apa’ iyana mulattamangngi selleng Sidenreng ri taung 1609 M.

[5]Nalele mabbaine Puwatta La Putebulu siyala massapposiseng riyasengnge We Tappattana Datu Mario Riwawo ana’na La Bottillangi/ najajiyang ana’ oroane riyaseng La Makkarawi/ La Makkarawina mana’i Addatungnge ri Suppa/ apa’ datu memettoi ri Suppa Puwatta La Putebulu. (Lontarak Akkarungeng Sawitto, 11; Lontarak Akkarungeng Suppa, 2).

[6]La Pasampoi tolai amma’na Addaoang ri Sidenreng/ iyana muttama mabbaine ri Soppeng Rilau pobainei inaure sapposisengna ambo’na riyasengnge We Tappatana Datu Mario Riwawo/ ana’na Puatta La Botinglangi/ silessuranna Puatta We Pawawoi.

[7]Iyanae Addaowang lao mabbaine ri Sawitto siyala sappowekkaduwa pole ri indo’na/ riyasengnge We Gimpo/ ana’na Addituang risompae ri Sawitto riyasengnge La Paleteang/ nangurusie We Wasse/ najajiangni La Patiroi/ najajiangni We Renritana. Baca (Lontarak Addatuang Sidenreng, 5; Lontarak Akkarungeng Sawitto, 11).

[8]We Tosappai Karaeng Pabbineya mattola Datu ri Suppa/ ana’na Karaengnge ri Gowa riyasengnge Tunipallangga Ulaweng (Lontarak Akkarungeng Suppa, 3).

[9]Nalelesi mabbaine Addaowangnge Sidenreng La Patiroi ri Mangkasa siyala ana’na Karaeng Sombae riyasengnge We Tosappai. Lihat Lontara’ Addituang Sidenreng, hlm. 6. Karaeng Pabbineya siyala La Patiroi Addituang Sidenreng/ najajiangni riyasengnge La Gojeng/ Tomalu’/ La Baeda. (Lontarak Akkarungeng Suppa, 3).

[10]Iyanae Puatta La Suni Karaeng Massepe lao mabbaine ri Timoreng/ siyala riyasengnge We Yempu/ ana’na Anangnge ri Timoreng riyasengnge Puatta We Gau/ najajiang seuwa ana’ makkunrai riyaseng We Bungabau/ iyanaewe Puatta We Bungabau mallakkai ri Bone siyala Ponggawa Bone riyasengnge Towaccalo Arung Amali/ selessurengngi riyasengnge Ponggawa Dinrue ri Bone/ ana’na Arung Pone La Maddarammang matinroe ri Bukaka nangurusie Arung Manajeng.

[11]Todani mattola addituang ri Sawitto sellei La Toraja/ iyanae makkarungi eppa’e Ajatappareng Addituang toni ri Sawitto Datu toi ri Suppa/ Addituang toni ri Sidenreng/ Aruttoi ri Alitta/ Datu toi ri Citta/ Karaengtoi ri Galingkang/ napobainei anadaranna Petta Torisompae riyasengnge We Kacimpurang nasompangi Citta/ sompa labui Citta ri Bone.

[12]Nariakka mancaji Mangkau ri Bone sellei amaurena taung 1698/ naripaenre’ ri katobba juma’ asenna Sultan Muhammad Rasyid Alimuddin/ naripasiala ri Puatta Petta Torisompae ana’na Pajungnge ri Luwu matinroe ri Tompotikka/ riyasengnge We Ummung Arung Larompong/ nasaba’ asitelliranna Puatta matinroe ri Bontoala sibawa matinroe ri Tompotikka/ iyanaritu ana’ rijajianna matti macowae nakadoiwi Datue ri Luwu.

[13]Ri lalenna taung 1687 naripabbainesi  Puatta Malaesanra ri amaurena Puatta Petta Torisompae ri Mangkasa/ naripasiala riyasengnge I Mariama Karaeng Pattukangang/ ana’na Karaengnge ri Gowa tuminanga ri Lakiung/ I Mappadulung Daeng Mattimung asenna/ naiya asitelliranna Puatta mationroe ri Bontoala sibawa tuminanga ri Lakiung/ iyanaritu ana’ rijajianna matti I Mariama nangurusue Puatta La Patau Matanna Tikka Walinonoe sellei ambo’na indo’na mancaji karaeng Sombaya ri Gowa.

 

[14] Sumber lainnya iaitu Lontrak Tosiwalu menceritakan bahawa sebenarnya ada beberapa wanua yang terletak antara Toraja, Sidenreng, Wajo dan Luwu yang dikuasai oleh seorang pangeran dari Sidenreng. Pangeran ini membuat perkumpulan perompak di wanua-wanua yang dikuasainya. Mereka sentiasa merompak di wilayah Luwu dan Wajo.

[15] Dalam Lontarak Akkarungeng Sidenreng, antara lain disebutkan bahwa La Pateddungi\mattola Addaoang ri Sidenreng sellei amma’na\iyanae Addaoang riranreng ri Tosulesanana Sidenreng riyasengnge La Pagala Nenek Mallomo pattelarenna\ iyanae Addaoang sawei ase ri Sidenreng\apa’ lempu natettongengi\nalai ade’tekke bicara\ iyatonae Addaoang mammusu’ Datue ri Luwu riayasengnge Tosengereng Dewaraja\apa’ massei wawatengenna Sidenreng\ rimakkuannanaro nariyaseng Karameng\ iyanae Addaoang llao mabbaine ri Sawitto siyala sappowek-kaduwa pole ri indo’na\riyasengnge We Gempo\ana’na Addatuang Risompae ri Sawitto riyasengnge La Paleteang\nangurusie We Sesse\najajiangni La Patiroi\najajiangni We Renrinana (Lontarak Akkarungeng Sidenreng,5).

[16]Pada tahun 1521,serombongan peninjau bangsa Portugis mengunjungi sejumlah negeri di pesisir pantai barat SulawesiSelatan. Mereka menemukan bahwa penduduk negeri-negeri pantai ini kurang senang dengan kedatangan mereka maupun orang asing pada umumnya. Sikap kurang senang itu disebabkan karena mereka mengetahui bahwa Portugis itu datang selain untuk mencari keuntungan dalam perniagaan, juga sangat memusuhi orang Islam maupun penduduk yang tidak menyukai agama yang mereka siarkan.

[17]Antonio de Paiva kembali ke Malaka pada tahun 1544, di saat angin muson timur bertiup dengan membawa titipan dari Don Joao (Datu Suppa), dan lainnya dari Don Luis (Karaeng Siang), bertujuan untuk meminta bantuan kepada pemerintah Portugis agar mengirimkan pendeta-pendeta yang ditugasi menjamin penyerapan ajaran-ajaran agama oleh para penganut Nasrani yang baru juga oleh para tentara.

[18] Seperti yang telah disebutkan sebelumnya tentang latar belakang pembentukan persekutuan, bahwa tidak berapa lama setelah Sidenreng ditaklukkan oleh Luwu (1508), Suppa memprakarsai pembentukan persekutuan Lima Ajatappareng. Oleh karena itu, dapat dipastikan bahwa persekutuan Lima Ajatappareng dibentuk sebelum Suppa, Sawitto, dan Alitta ditaklukkan oleh Raja Gowa Tunipalangga Ulaweng (1546-1565). Berdasarkan sumber Portugis bahwa ketika berita tentang Sulawesi Selatan sampai di Malaka pada tahun 1559, raja-raja di Suppa, Bacukiki, dan Alitta yang beragama Nasrani telah wafat, dan yang masih hidup adalah Tamalina (We Tappatana). Lebih lanjut Eradia berkata bahwa “sepeninggal raja-raja itu, orang-orang asing datang mengambil kekuasaan dan menghancurkan biara St. Raphael”. Datu Suppa La Makkarawi wafat sekitar tahun 1546 atau 1547  (Eradia; Description:56; Pelras, 1977:232-255).

[19] Para penulis tampaknya sepakat bahwa persekutuan Lima Ajatappareng diadakan atau dibentuk di Suppa pada masa kekuasaan Datu Suppa La Makkarawi. Meskipun waktu pembentukannya masih terdapat perbedaan di antara para penulis. Misalnya, Darwas Rasyid menyebutkan bahwa persekutuan Lima Ajatappareng dibentuk tahun 1582 (Rasyid, Darwas. 1985. Sejarah Kabupaten Daerah Tk. II Pinrang. Ujung Pandang: Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional, hlm. 88). Penulis lain menyebutkan bahwa Persekutuan Ajatappareng dibentuk pada tahun 1523.

[20]Misalnya Abd. Latif menyebutkan bahwa peserta pertemuan pembentukan persekutuan Lima Ajatappareng terdiri atas La Pancaitana sebagai Datu Suppa (1582-1603) yang juga merangkap sebagai Addatuang Sawitto dan Arung Rappang, La Pateddungi Addatuang Sidenreng (1523-1564), dan We Cella Arung Alitta. Sementara Burhanuddin Pabitajara dan Darwas Rasyid menyebutkan bahwa Kerajaan Suppa diwakili oleh  La Makkarawi (Datu Suppa), Kerajaan Sawitto diwakili oleh La Paleteang (Addatuang Sawitto), Kerajaan Sidenreng diwakili oleh La Pateddungi (Addatuang Sidenreng), Kerajaan Rappang diwakili oleh dibentuk La Pakallongi (Arung Rappang), dan Kerajaan Alitta juga diwakili oleh La Pakallongi yang merangkap sebagai Arung Alitta (Pabitjara,2006:125;Rasyid,1985:88).

[21]Iatona/ppi [n] rui/langkanaé/ri Sup-paq/riasengngé/lamalakka /iatona/ppi [n ] rui/salassaé/ri Sawitto/riasengngé/lama [n] capai/saworajaé/ri Alitta labéama/ri Rappeng/sawolocié/ri Side [n] reng/nai sabaqna nariaseng/langkanaé/ri Suppaq/lamalakka/alliri maliq/pole’ ri Malaka/nakua ssoré ri Ujung Lero/napannippiyangngi/Alena/nalaona/to Suppaqé/mmalai/nangka séngona/paleppéng/silaong paq/narialana posi langkanaé/ri Suppaq.

[22]Menurut pemberitaan Antonio de Paiva, seorang pedagang Portugis yang mengungjungi Siang, Suppa, dan Bacukiki pada 1542, bahwa banyak orang Melayu yang telah menetap di bandar niaga itu.

[23]Pada masa kekuasaan Tumapa’risi Kallonna, tercatat sejumlah negeri yang berhasil ditaklukkan oleh Kerajaan Gowa-Tallo, antara lain Garessik, Katingang, Parigi, Siang (Pangkajene), Sidenreng, Lembangan, Bulukumba, Selayar, Panaikang, Mandale, dan Cempaga. Di antara kerajaan-kerajaan itu, sebagian dipungut upeti atau pampasan perang (saqbukati), misalnya Bulukumba dan Selayar. Juga menaklukkan negeri-negeri, seperti Sanrobone, Jipang, Galesong, Agang-Nionjo’ (Tanete), Kahu, dan Pakombong, yang kemudian dijadikannya sebagai paliliq (daerah taklukan) Kerajaan Gowa.Sementara kerajaan-kerajaan bekas sekutu Tallo (Maros dan Polombangkeng), dan beberapa kerajaan yang kuat seperti Salomekko, Bone, dan Luwu dijalin perjanjian persahabatan.

[24]Pada bulan Februari 1544 Antonio de Paiva berangkat dari Maluku menuju Sulawesi Selatan dan terlebih dahulu singgah di Suppa. Setelah Paiva berbicara dengan Datu Suppa (La Makkarawi), ia melanjutkan perjalanan ke Siang. Beberapa hari kemudian Datu Suppa bersama rombongannya berangkat ke Siang, dan mereka tiba bersamaan waktunya ketika Karaeng Siang dibaptis dan diberi nama Don Luis oleh Paiva. Setelah itu mereka berangkat ke Gowa dan dalam perjalanan pulang dari Gowa Datu Suppa dibaptis yang diberi nama Don Joao oleh Paiva. Ketika angin muson timur bertiup pada tahun itu, Paiva berangkat ke Malaka pada tahun 1544.

[25]Passaleng panněssaéngngi/ attoriolongngé/ ri Suppaq/ ri Sawitto/ ri wěttu/ marajana patoha/ nalaona Puwattaq Makkarawi/ nasitana Karaéngngé ri Gowa/ riasěngngé/ Tunipalangga/ yina napoada Karaengnge/ aga muě(ng)kang siajing/ makkědani Makkarawi/ lao moaq  llolang siajing/ maitta-ittanaq/ marola ri tanamu ri Suppaq/ makkutanasi Karaéngngé/ ě(ng)kaga anaqmu makku(n)rai/ séajing/ yina napowada/ Makkarawi/ ě(ng)ka/ yina napowada Karaéngngé Tunipalangga/ madécéngngiq mabbaisěng/ sajing baraq kuamměng-ngi/ nassiajing tanae ri Suppae/ ri Ma(ng)kasa/ kadoni Makkarawi/ réwěqni ri wanuwanna/ ri Suppaq/ massuroni Karaéngngé/ (m)pawa pattuméya/ napasiotoq-i pangonrowang/ ritarimani/ nalani/ alě(m)-purěng nata(ng)kěq/ Puwattaq We Lampeweluwa.

[26]Berdasarkan lontarak yang mengisahkan tentang Datu Suppa We Lampeweluwa, antara lain disebutkan bahwa terdapat 80 orang Suppa dan Sawittoyang dibawa ke Makassar, dan mereka orang istana. We Lampeweluwa juga ditawan oleh Karaeng Gowa dan disiksa dengan segala macam siksaan (Mikrofilm Lontarak, Rol. 76/19:158).

[27]Misalnya, Abd. Latif menyebutkan bahwa pada masa kekuasaan La Paleteang Addituang Sawitto ke-4 (1526-1564) Gowa menaklukkan Suppa dan Sawitto pada tahun 1546. Sementara Christian Pelras tidak menyangsikan lagi bahwa Suppa, Bacukiki, Alitta, Sawitto, dan Sidenreng berada di bawah kekuasaan Gowa sejak tahun 1550.

[28]Terjemahan bebasnya, “Murkalah Karaeng, mangngaruklah (marahlah) para pasukannya. Di-datanginyalah Suppa dan Sawitto, akan tetapi tidak dapat mengalahkannya. Nanti pada serangan yang ke tujuh kalinya baru dapat dikalahkan Suppa dan Sawitto. Jika penyerangan terhadap Suppa dan Sawitto yang sebanyak tujuh kali itu, dihitung setiap tahun sebagai perantaraan jadwal penyerangan, dan dikaitkan dengan pengangkatan Tunipalangga Ulaweng menjadi Raja Gowa-Tallo pada tahun 1546, maka dapat diperkirakaan bahwa peristiwa itu terjadi pada tahun 1553 atau sekitar 7 tahun kemudian sejak Tunipalangga Ulaweng diangkat sebagai Raja Gowa-Tallo.

[29] Dalam lontarak tercatat negeri-negeri yang ditaklukkan Suppa dan Sawitto adalah Leworeng, Lemo-lemo, Bulu Kapa, Bonto-bonto, Bantaeng, Segeri, dan Passokkoreng (Mandar). Selain itu, mereka juga menaklukkan Baroko, Toraja, Mamuju, Kaili, Kali dan Toli-toli (Mikrofilm Lontarak, Rol. 60/7:40; Mikrofilm Lontarak , Rol. 50/10: 52).