Peran Komunitas dan Publikasi dalam Pelestarian Arkeologi

0
1353

Tulisan yang sangat menarik dari Djulianto Susantio sebagai Arkeolog, Penulis Lepas, Pegiat Komunitas, yang dimuat pada Buletin Kundungga Volume 8 Tahun 2019.

Pada paruh pertama 2019 ini, dunia arkeologi diisi oleh beberapa berita positif sekaligus negatif tentang pelestarian dan pembangunan fisik. Maret lalu di tengah pembangunan jalan tol Pandaan-Malang (Jawa Timur), terkuak sebuah situs purbakala di Desa Sekarpuro, Kabupaten Malang.

Segera instansi terkait melakukan ekskavasi (penggalian arkeologis) di situs tersebut. Ketika itu tim menemukan struktur bata yang merupakan bagian dari bangunan kuno. Namun bentuk struktur bangunan tersebut belum dapat dipastikan karena masih dalam kajian tim arkeologi penyelamatan, termasuk untuk mengetahui seberapa luas situs tersebut dan dari masa kerajaan siapa. Sebelumnya, di sekitar pembangunan jalan tol itu, masyarakat menemukan sejumlah benda purbakala yang berserakan akibat tergerus alat berat. Mereka saling berebut harta karun tersebut. Bahkan ada yang menjual ke sejumlah penadah dengan harga lumayan.

Pemerintah Kabupaten Malang sendiri berniat melestarikan Situs Sekaran,  yang diduga peninggalan pra-Majapahit. Diharapkan nantinya bisa menjadi destinasi wisata purbakala, seperti halnya situs Candi Kimpulan di tengah kampus UII Yogyakarta. Kompleks Candi Kimpulan juga ditemukan secara tidak disengaja ketika para pekerja sedang memperluas pembangunan kampus.

Masih dari Jawa Timur, (Mei 2019)lalu terjadi polemik perluasan pabrik tripleks. Para pegiat budaya setempat berpendapat keberadaan pabrik akan merusak situs purbakala. Pabrik tersebut berlokasi di Situs Pekauman, Bondowoso, yang dikenal memiliki peninggalan megalitik (batu besar). Karena ada keberatan sebagian warga, pembangunan tersebut dihentikan sementara oleh instansi berwenang, sambil menunggu kajian para pakar.

Namun penghentian tersebut ditolak oleh warga yang menjual tanahnya kepada investor. Mereka khawatir uang yang telah diterima akan diminta kembali oleh pihak pembeli. Sekali lagi, masalah duit atau ekonomi selalu bersinggungan dengan masalah pelestarian atau budaya.

Konflik kepentingan antara pelestarian dengan pembangunan fisik atau antara arkeologi dengan masyarakat, sebenarnya sudah terjadi sejak lama. Kalau kita membuka catatan-catatan lama, terlihat bagaimana Hotel Des Indes telah berubah menjadi pusat pertokoan, Situs Tugu nyaris hilang karena pembangunan jalan, Situs Kalibata telah tertutup perumahan mewah, dan Gedung Societeit de Harmonie tergerus halaman parkir. Begitulah yang terjadi di Jakarta sejak 1970-an tanpa bisa dicegah siapa pun, meskipun banyak kalangan sudah berteriak lantang.

Yang ironis terjadi di kawasan Trowulan, Mojokerto (Jawa Timur). Sejak 1960-an para pengrajin semen merah mengambili bata-bata kuno di kawasan itu. Sayang masalah relokasi terganjal dana. Hingga masa 2000-an konflik kepentingan masih terjadi di sana. Masalah ekonomi penduduk dan pelestarian cagar budaya tampak masih sulit berjalan sejajar.

Masyarakat

Beruntung kita masih memiliki sekelompok masyarakat yang peduli akan kelestarian cagar budaya. Protes mereka terhadap rencana pembangunan atau dampak negatif yang akan menimpa cagar budaya, kadang berhasil kadang gagal. Contoh keberhasilan adalah upaya menggagalkan pembangunan pabrik baja di kawasan Trowulan beberapa tahun lalu.

Ironis memang karena aktivitas masyarakat yang merusak bahkan menghancurkan sisa-sisa peradaban masa lampau, semakin menjadi-jadi. Pencurian arca dari situs arkeologi, penyelundupan artefak ke mancanegara, penggalian liar dengan dalih penyelamatan, dan pembongkaran bangunan bersejarah demi kepentingan ekonomi, merupakan contoh lain dari sederetan pelecehan yang kerap dialami dunia arkeologi Indonesia sejak lama.

Sebenarnya masyarakat yang mencintai tinggalan purbakala sudah muncul sejak lama. Mereka sering blusukan, sekaligus  mendokumentasikan tinggalan-tinggalan kuno yang mereka jumpai. Bahkan memberikan sosialisasi kepada masyarakat sekitar tentang pentingnya tinggalan purbakala. Umumnya mereka tergabung dalam komunitas pencinta sejarah dan budaya. 

Arkeologi itu unik. Dikatakan unik karena tinggalan arkeologi berasal dari masa yang amat jauh ke belakang. Selain itu, tinggalan arkeologi tersebar di mana-mana, baik di daratan maupun di perairan. Bahkan hingga sekarang banyak tinggalan budaya masih berada di dalam tanah, antara lain karena tertimbun tanah longsor atau tertutup abu gunung berapi. Sebagian lagi berupa kapal-kapal kargo yang tenggelam di sungai dan lautan. Tidak tertutup kemungkinan, tinggalan-tinggalan budaya itu berada di halaman warga, di tengah sawah, atau di areal milik negara.

Namun keberadaan tinggalan-tinggalan budaya yang belum terkuak ke permukaan itu tetap dilindungi UUD 1945. Dikatakan “bumi dan segala isinya dikuasai oleh negara”. Undang-undang Cagar Budaya 2010 menyebutkan lebih jelas, “Dikuasai oleh Negara adalah kewenangan tertinggi yang dimiliki oleh negara dalam menyelenggarakan pengaturan perbuatan hukum berkenaan dengan pelestarian Cagar Budaya” (halaman 5).

Karena ‘dikuasai oleh negara’ tentu masyarakat tidak diperkenankan melakukan penggalian tanpa izin. Hanya instansi berwenang yang boleh karena ekskavasi arkeologi menuntut metode dan teknik khusus. Arkeolog melihat konteks temuan dalam ruang dan waktu. Arkeolog melakukan pendokumentasian yang lengkap, seperti foto/video, catatan, dan gambar. Dalam arkeologi, setiap ekskavasi adalah pengrusakan. Kita tidak dapat mengembalikan kondisi benda dan tanah seperti keadaan semula.

Di sisi lain arkeologi mempertimbangkan kompensasi bagi masyarakat yang menemukan tinggalan purbakala. Kompensasi adalah imbalan berupa uang dan/atau bukan uang dari Pemerintah atau Pemerintah Daerah. Besarnya kompensasi tergantung tim penilai yang ditunjuk pemerintah.

Masyarakat Awam 

Tinggalan-tinggalan arkeologi gencar diburu karena memiliki nilai komersial atau investasi tinggi. Apalagi kolektor barang antik semakin tumbuh subur, seiring semakin tingginya status sosial mereka. Banyaknya pencurian dari sejumlah museum dan situs, jelas menunjukkan bahwa nilai benda-benda kuno amat fantastis.  Semakin banyak barang yang ditawarkan balai-balai lelang internasional, memberi gambaran pula bahwa bisnis benda-benda kuno selalu menggiurkan.

Sebenarnya masyarakat awam yang tidak berlatar arkeologi sangat antusias kepada arkeologi. Penulis pernah diundang oleh Kompasiana untuk menjadi narasumber tentang arkeologi dan museum. Ajang itu diikuti sekitar 20 peserta. Setelah kegiatan itu, mereka diwajibkan menulis. Saat dunia digital semakin ‘berkuasa’ jelas jurnalistik warga memegang peranan.

Antusiasme masyarakat awam juga ditunjukkan oleh peserta “Sinau Aksara dan Bedah Prasasti” serta “Sinau Keramik” yang selalu membludak. Dua kegiatan itu diselenggarakan secara gotong royong oleh Direktorat Pelestarian Cagar Budaya dan Permuseuman, Museum Nasional, dan Kelompok Pemerhati Budaya dan Museum Indonesia (KPBMI). Masyarakat (dalam hal ini diwakili komunitas) dan pemerintah telah hadir bersama-sama. Untuk itulah peran komunitas di seluruh Indonesia harus ditingkatkan, mengingat partisipasi publik dalam pelestarian arkeologi tidak diragukan lagi.

Arkeologi memang dunia misteri. Kita masih belum tahu apa saja yang masih tersimpan di dalam tanah. Apakah masih ada candi yang lebih besar daripada Borobudur? Apakah masih ada kerajaan besar selain Majapahit dan Sriwijaya? Apakah ada berton-ton harta karun di dalam gua?

Yang jelas arkeologi menarik karena misterinya itu. Maka pengarang cerita misteri terkenal dunia, Agatha Christie, sempat membuat guyonan. Kata dia, kalau mau hidup rukun carilah  suami seorang arkeolog. Soalnya, semakin tua umur kita, akan semakin disayang suami karena dianggap semakin antik. Agatha juga mengatakan segala pemecahan masalah dalam kisah novelnya terinspirasi dari metode arkeologi.  

Tinggalan-tinggalan arkeologi memang menarik, sebaliknya ilmunya masih kurang diperhatikan. Begitu pula lulusan arkeologi. Mereka justru lebih banyak bekerja di bidang non-arkeologi karena posisi yang tersedia di instansi-instansi arkeologi atau terkait masih amat terbatas. Sudah saatnya lulusan arkeologi perlu ‘diistimewakan’ karena persoalan yang digarap luar biasa luas dan banyak. Sudah saatnya pula komunitas diberi fasilitasi agar kegiatan mereka tetap berjalan. Apalagi sejak 1980-an berkembang subdisiplin Arkeologi Publik dan Sumberdaya Budaya.

Pada 14 Juni 2019 ini, lembaga purbakala kita berusia 106 tahun. Lembaga ini berawal dari pendirian Oudheidkundige Dienst (Dinas Purbakala) pada 14 Juni 1913. Semoga makin banyak yang bisa dilakukan arkeologi untuk memajukan kebudayaan nasional.

Metode Khusus

Dibandingkan disiplin lain, pekerjaan arkeologi yang disebut ekskavasi (penggalian) terbilang sangat khas. Ekskavasi dalam arkeologi bukanlah pekerjaan ringan macam menggali tanah untuk menanam pipa atau kabel, sebagaimana yang dilakukan PLN atau Telkom. Ekskavasi dalam arkeologi dilakukan dengan metode khusus, lengkap dengan pencatatan dan perekaman.

Sesuai dengan amanat undang-undang, ekskavasi hanya boleh dilakukan oleh instansi arkeologi atau dengan pengawasan arkeolog berkompeten. Karena kegiatan arkeologi dibiayai oleh pajak masyarakat melalui APBN/APBD, maka proses dan penelitian tersebut harus dipublikasikan. Selain itu, hasil-hasil penelitian harus dipamerkan; di dalam museum untuk benda-benda yang bisa dipindahkan atau dalam bentuk taman purbakala atau museum lapangan untuk benda-benda yang tidak bisa dipindahkan. Tujuan publikasi, termasuk pameran, adalah agar semua aktivitas arkeologi diketahui oleh masyarakat seluas-luasnya.

Pada 1970-an di dunia Barat berkembang ilmu Public Archaeology (Arkeologi Publik). Prinsip dasar ilmu ini adalah “masa lalu milik setiap orang”. Dengan demikian setiap orang berhak mengetahui masa lalunya. Namun begitu, bukan berarti setiap orang boleh merusak tinggalan-tinggalan masa lalu.

Nyatanya perusakan warisan-warisan masa lalu tetap terjadi hingga kini. Penghancuran bangunan lama, penggalian liar untuk mencari harta karun, dan corat-coret/gores-menggores (gravitisme/vandalisme) merupakan sebagian kecil dari tindakan negatif yang teridentifikasi. Tindakan negatif itu mungkin terjadi karena kurangnya informasi atau sosialisasi yang diberikan oleh pihak arkeologi. 

Sesungguhnya kita perlu tim publikasi untuk menangkal perbuatan negatif itu. Pada zaman modern ini, publikasi dan apa pun bentuk komunikasi tidak bisa dilepaskan dari internet. Internet bersifat cepat dan murah, bahkan bisa diakses kapan saja, oleh siapa saja, dan di mana saja.

Sejak beberapa tahun lalu, internet memang sudah dimanfaatkan oleh berbagai instansi arkeologi. Namun tampaknya belum didayagunakan secara maksimal. Padahal seharusnya arkeolog-arkeolog yang bekerja di instansi pemerintah, mempertanggungjawabkan apa yang selama ini dikerjakannya kepada publik secara langsung.

Masyarakat atau publik seharusnya berhak menuntut para arkeolog tersebut untuk menginformasikan apa yang telah dikerjakannya dan manfaat apa yang mereka dapatkan terhadap hasil penelitian tersebut (Tjahjono Prasodjo, 2004). Sebuah layanan informasi dalam dunia internet yang dikenal luas adalah website (laman) dan weblog (blog). Blog sendiri ada dua macam, yakni blog pribadi dan blog publik. Dalam blog publik, seperti Kompasiana dan Indonesiana siapa saja boleh menulis dengan terlebih dulu mendaftar pada akun yang dituju.

Arkeolog Defri Elias Simatupang (2008) mengatakan ada beberapa manfaat yang bisa diperoleh instansi pemerintah dengan memiliki laman, antara lain untuk memperkenalkan profil instansi sehingga memiliki “nilai jual” di mata masyarakat global, sebagai media untuk menginformasikan data atau berita dengan pihak luar, dan sebagai media untuk mengembangkan database berbagai data penelitian.

Pada masa kini jelas laman ataupun blog merupakan ujung tombak penyampaian informasi kepada khalayak. Hal itu pernah disampaikan oleh arkeolog Harry Octavianus Sofian dalam kegiatan Evaluasi Hasil Penelitian Arkeologi (2011). Ironis, keberadaan laman ataupun blog sering diabaikan oleh banyak instansi arkeologi. Mungkin karena pimpinan-pimpinan sekarang masih gagap teknologi atau menganggap laman/blog kurang penting. Atau bisa juga karena mereka tidak bisa menuangkan pemahaman atau informasi dalam bentuk tulisan.

Sebenarnya sejumlah instansi pernah dan masih punya laman arkeologi. Namun kelangsungan hidup laman sering kali terganggu ketidak-profesionalan pengelolanya. Biasanya laman instansi tertentu hanya muncul pada tahun anggaran tertentu. Setelah itu laman otomatis mati karena pengelola tidak memperpanjang (membayar) iuran tahunan. Ironisnya lagi, pengelolaan laman dilakukan oleh pihak ketiga melalui sistem tender (lelang), sehingga penyampaian informasi kurang bisa dipertanggungjawabkan.

Kalaupun ada laman yang hidup, biasanya jarang melakukan pembaruan (update) tulisan. Tidak heran jika sebuah laman milik instansi tertentu pernah bergonta-ganti domain karena sistem lelang itu. Pemborosan itu terjadi karena laman mati-hidup berkali-kali.

Sesungguhnya laman bisa dibangun oleh SDM setiap instansi yang memiliki kemampuan khusus. Pilihan lain adalah bekerja sama dengan penyedia jasa yang berkualitas, tentunya yang memiliki keterampilan penulisan arkeologi.

Dalam era serba instan ini, publikasi perlu dan penting. Bukankah arkeolog masa kini selalu bersemboyan “arkeologi untuk publik”? Kalau masih dalam situasi seperti sekarang, bagaimana masyarakat bisa mengetahui dan mengikuti perkembangan arkeologi? Ini tentu akan berdampak negatif pada kelangsungan hidup warisan-warisan arkeologi dan apresiasi masyarakat terhadap warisan-warisan itu.

Publikasi

Percuma saja ada penemuan-penemuan spektakuler atau kegiatan-kegiatan besar kalau tidak diinformasikan. Masyarakat bisa mengetahui hal-hal tersebut justru lewat publikasi, baik yang ditulis oleh wartawan maupun kalangan arkeologi. Tulisan semacam itu bisa dikategorikan tulisan populer.

Para arkeolog sendiri bisa menulis lebih mendalam lengkap dengan analisis lewat jurnal. Istilah jurnal mengacu pada tulisan ilmiah sehingga banyak mengandung istilah teknis yang terkadang sulit dimengerti masyarakat awam.

Tulisan ilmiah memang penting untuk mengetahui tingkat keilmuan seorang arkeolog. Namun tulisan populer jauh lebih penting karena sampai saat ini masih banyak temuan arkeologi oleh masyarakat secara tidak disengaja. Misalnya ketika mereka sedang menggali tanah untuk pembangunan pondasi atau sedang menggarap sawah.

Agar bersifat “dari arkeologi untuk masyarakat”, tentu saja dibutuhkan tulisan  populer dengan bahasa gaul, tidak dipenuhi istilah teknis, dan tulisan tidak panjang. Tulisan (semi ilmiah/ilmiah) populer sebaiknya dilakukan oleh para arkeolog sendiri, terutama yang bekerja di instansi-instansi arkeologi. Merekalah yang paling tahu setiap kegiatan atau persoalan.

Sayang semua ini masih sangat jarang dilakukan karena kekurangmampuan para arkeolog sendiri. Padahal, setiap instansi arkeologi umumnya sudah memiliki laman sendiri. Sebaliknya, kita sering lihat tulisan populer oleh para wartawan atau bloger.

Meskipun menulis di blog publik dan blog pribadi tidak berhonorarium, namun masyarakat awam kerap menulis tentang berbagai kepurbakalaan. Terus terang ini sangat membanggakan. Jadi sangat membantu pihak arkeologi. Sebaiknya publikator seperti itu harus menjadi mitra instansi-instansi arkeologi.

Jika masyarakat sudah berapresiasi terhadap tinggalan masa lalu, tugas arkeologi semakin ringan. Terutama dalam hal melestarikan tinggalan yang berada di wiayah-wilayah pelosok, yang sulit dijangkau instansi arkeologi.

Sudah saatnya masyarakat menjadi mitra instansi-instansi arkeologi. Meskipun berada pada urutan terakhir dari tugas arkeologi, yakni mempublikasikan hasil kegiatan arkeologi untuk kepentingan umum, peran masyarakat sangat penting. Publikasi memiliki beberapa jenis, yaitu tercetak (tulisan), terekam (video), dan terpampang (pameran). Bayangkan apa jadinya kalau tidak ada publikasi arkeologi.***