“Citarasa, Eksotisme dan Persilangan Budaya di Jalur Rempah Nusantara”

0
696

Citarasa dan aroma rempah yang eksotik serta reputasi sebagai pembangkit selera membuat para penjelajah, penguasa politik, saudagar dan pelaut dari berbagai penjuru dunia berlayar menuju Nusantara untuk mengumpulkan dan memperdagangkan komoditas utama tersebut. Komoditi rempah (seperti pala, lada, cengkeh dan kayu manis) seolah memberi status tertentu bagi pemiliknya yang di dunia Barat pada abad ke-16 bersifat mistis dan magis. Nafsu akan rempah  nyatanya dapat memunculkan energi yang tercurah secara luar biasa dan tak ada bandingannya baik pada saat kelahiran dunia modern maupun dalam beberapa abad sebelumnya. Demi rempah-rempah, kekayaan datang dan pergi, kekuasaan dibangun untuk kemudian dihancurkan dan bahkan sebuah dunia baru ditemukan (Jack Turner, 2011).

Pelayaran dan perdagangan yang dilakukan berbagai bangsa memungkinkan berlangsungnya persilangan budaya yang melahirkan berbagai aspek kehidupan. Interaksi antarkomunitas mengakibatkan terjadinya perjumpaan ide, pemikiran, bahkan tak jarang berlangsung hubungan yang sangat personal dengan membentuk keluarga baru lewat perkawinan sehingga menghasilkan golongan masyarakat campuran. Terdapat banyak kisah-kisah menakjubkan dalam sejarah Nusantara di mana banyak orang rela mempertaruhkan uang, tenaga dan bahkan nyawa demi rempah-rempah. Bagi kita yang mungkin memandangnya sebagai penyedap makanan belaka, akan terasa sangat mencengangkan mendapati betapa relevan dan luar biasanya fungsi rempah-rempah ratusan tahun silam itu (Jack Turner, 2011). Berangkat dari hal itu, maka kita mengerti akan permasalahan yang dihadapi sekarang. Sekarang kita hendak menghidupkan kembali narasi kejayaan Nusantara lewat peran sentral jalur rempah bagi sejarah dunia. Bagaimana sejarah rempah mesti kita maknai dalam perspektif situasi saat ini? Bagaimana memaknai sejarah rempah sehingga kita tidak terjebak pada glorifikasi masa lalu yang telah punah, melainkan mampu menemukan bunyi dan resonansi yang tepat bagi situasi kebangsaan kita sekarang? Pada akhirnya, semua pertanyaan itu mengerucut pada satu soal: apa sesungguhnya peran “jalur rempah” dalam historiografi Nusantara? Kini, seperti kata Hilar Farid (2018), kita mesti berani menafsirkan ulang “jalur rempah” keluar dari bingkai kolonial, keluar dari narasi ironis tentang kekayaan sekaligus kesengsaraan bangsa dihisap oleh kolonialisme. Memberi arti yang baru pada “jalur rempah” berarti menunjukkan jalur interaksi kultural antar masyarakat di Indonesia yang masih terus hidup dan ditandai oleh simpul-simpul praktik, pengetahuan dan teknologi tradisional dalam mengolah kekayaan bangsa. Membangun narasi “jalur rempah” yang relevan bagi situasi kekinian berarti mengidentifikasi dan membangun interaksi-interaksi kultural antar masyarakat yang mendorong tercapainya cita-cita kemerdekaan untuk “menentukan nasib sendiri”.