You are currently viewing Belajar Menjadi Bijaksana dari Situs di Lereng Barat Gunung Lawu

Belajar Menjadi Bijaksana dari Situs di Lereng Barat Gunung Lawu

Lereng Barat Gunung Lawu telah dijadikan tempat manusia untuk beraktivitas sejak masa Pra Sejarah, lokasi tersebut terus digunakan pada masa Klasik hingga sekarang. Pemilihan tempat untuk aktivitas manusia pada dasarnya harus memenuhi ketersediaan akan air dan lahan yang subur untuk sumber pangan serta kebutuhan lainnya.
Candi-candi di lereng barat Gunung Lawu yang menjadi bahasan dalam buku ini, menunjukkan bahwa letak bangunan di tempat yang tinggi atau lereng gunung sesuai dengan konsep pendirian candi. Sementara gunung juga menjadi tempat bersemayan roh nenek moyang sebagaimana salah satu kepercayaan pada budaya Megalitik, terlihat dari orientasi bangunan mengarah ke gunung. Gunung diyakini sebagai tempat sakral tempat bersemayam para dewa dan roh nenek moyang, kedua konsep tersebut berpadu dalam suatu bangunan dan menjadi salah satu bukti bahwa kepercayaan asli pra Hindu muncul kembali dengan memuat pesan moral yang tak lekang oleh waktu yang diilhami oleh unsur Hindu, yaitu relief cerita.
Pesan yang termuat di dalam pahatan relief pada candi-candi tersebut mengenai air kehidupan (amrta) yang dapat membantu seseorang untuk membersihkan diri. Selain itu, juga berhubungan dengan ruwatan, yaitu suatu usaha untuk membebaskan seseorang dari kesalahan-kesalahannya. Relief dan teras halaman yang terlihat jelas saling berkaitan adalah pada Candi Sukuh.
Samuderamanthana (pengadukan lautan susu untuk mendapatkan air amrta) dan Bima Suci atau Dewa Ruci (pencarian air suci atau air kehidupan oleh Bima) merupakan relief yang memuat air kehidupan. Tidak hanya di dalam agama Hindu yang menganggap air adalah sarana penting, di dalam semua agama dan kepercayaan, air memiliki peran penting untuk membersihkan. Sementara itu, relief yang terkait dengan pembebasan seseorang dari penderitaan adalah Garudeya (seorang anak yang membebaskan ibunya dari hukuman) dan Sudamala (seorang anggota Pandawa yang membebaskan Dewi Durga dari kutukan karena berkhianat kepada suaminya).
Kehidupan manusia pada umumnya melalui tiga tingkatan yang dapat dilambangkan dengan halaman I, sewaktu manusia hidup dengan segala keinginan yang menyebabkan penderitaan, halaman II, ketika manusia mulai melakukan ritual dengan membersihkan diri menggunakan air suci untuk mendapatkan kehidupan yang lebih baik, dan terakhir halaman III, ketika manusia terbebas dari penderitaan karena telah diruwat.
Melalui cerita-cerita bertema pembebasan atau ruwatan tersebut, diperoleh pesan moral bahwa di dalam hidup ini terdapat perbuatan baik dan buruk, jika manusia menginginkan hidup tenteram dan bahagia, mereka harus menghindari perbuatan-perbuatan negative yang dapat berakibat tidak menyenangkan pada kehidupannya. Meskipun candi tersebut dibangun sejak abad XV, pesan moral yang termuat pada candi-candi tersebut masih relevan dengan kehidupan saat ini.
Di samping itu, keseimbangan hubungan antara sesama manusia, manusia dengan lingkungannya juga harus dijaga. Kesuburan tanah di lereng Gunung Lawu yang menyediakan beragam kebutuhan manusia –air dan hasil bumi– harus dilestarikan untuk mendukung pelestarian potensi arkeologi di tempat tersebut. Pelestarian lingkungan dan potensi arkeologi yang ada bukanlah tanggung jawab pemerintah semata, masyarakat juga memiliki tanggung jawab yang sama. Ketika masyarakat telah mengenal dan memahami makna tinggalan arkeologi tersebut diharapkan pemanfaatannya sesuai dan tidak memberikan tafsiran tersendiri. (Buku Peninggalan Arkeologis di Lereng Barat Gunung Lawu)