Megawati Soekarnoputri dan Karir Politiknya

Megawati Soekarnoputri

Bogor (2/1) Perjalanan karier politik Megawati terbilang cepat, walau banyak rintangan yang menghadang. Pada tahun 1987 ia memutuskan masuk Partai Demokrasi Indonesia (PDI), satu dari dua partai, di samping Partai Persatuan Pembangunan, yang boleh mendampingi Golkar (Golongan Karya) ikut Pemilihan Umum (Pemilu). Di tahun itu pula ia terpilih menjadi anggota DPR RI dengan daerah pemilihan Jawa Tengah. Enam tahun kemudian ia menjadi ketua umum PDI.

Mega tidak belajar politik dari sekolah. Dia, seperti ayahnya di masa remaja, mendapatkan “ilmu politik” dari pengalaman hidup. Ia belajar politik ketika melihat sang ayahanda, Sukarno, dikunjungi tamu-tamunya dari segala bangsa dan tentu saja dari segala aliran politik. Ketika tamutamu sudah pulang, demikian Mega mengenangnya, Bapak mengajak berdiskusi tentang berbagai hal yang dibicarakan dengan tamu-tamu tadi.

Didorong oleh suaminya, Tastafvian Kiemas, atau lebih dikenal dengan Taufiq Kiemas, Megawati akhirnya keluar dari nota kesepakatan keluarga yang dibuat pada 1982. Nota yang berisi konsensus anak-anak Sukarno ini ialah menjauhkan diri dari keberpihakan pada kekuatan politik yang dibolehkan tampil. Mereka bersepakat berdiri di atas semua golongan. Guntur Soekarnoputra, Megawati Soekarnoputri, Rachmawati Soekarnoputri, Sukmawati Soekarnoputri, Guruh Soekarnoputra, serta Bayu dan Taufan yang merupakan putra Sukarno dari Hartini adalah para penandatangan konsensus keluarga ini.

Bagi Megawati, memasuki dunia politik mestilah total. Karena itulah ia selalu dengan matang mempertimbangkan segala risiko yang mesti ditanggungnya ketika memutuskan terjun ke gelanggang politik. Saudara-saudaranya pun kaget ketika Megawati, sang penari yang bersuara lembut dan halus gerak, memutuskan terjun ke politik praktis yang keras dan maskulin.

Pilihan memasuki gelanggang politik dari pintu PDI mengantarkan Megawati dan Taufiq Kiemas ke Senayan. Mereka terpilih sebagai anggota DPR untuk periode 1988– 1993. Megawati bukanlah ikon dalam ruang. Ia tetap saja bagian dari kehidupan masyarakat kecil di luar gedung sidang. Sebagaimana kata Kwik Kian Gie, Megawati tidak terlalu menonjol dalam ruang sidang DPR, tetapi kehadirannya tidak ubahnya kekuatan gravitasi yang memancarkan energi tarikan kuat saat PDI mengerahkan massa. Suaranya yang lembut, sorot matanya yang tajam, dan nama Sukarno yang menempel padanya berhasil menggugah massa dan kembali mengantarkannya maju di Pemilu 1992. Figur Mega dan keberhasilan PDI membangun citra sebagai partai wong cilik. Sumber: Buku Presiden RI 1945-2014 (Doni Fitra)